Mohon tunggu...
Wachid Hamdan
Wachid Hamdan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah, Kadang Gemar Berimajinasi

Hanya orang biasa yang menekuni dan menikmati hidup dengan santai. Hobi menulis dan bermain musik. Menulis adalah melepaskan lelah dan penat, bermusik adalah pemanis saat menulis kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu, Kartini Keluargaku

22 April 2024   17:13 Diperbarui: 25 April 2024   12:40 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Oalah, kalau begitu lekas istirahat ya, Kak," tukas Ibu Lili sambil beranjak ke kamar, menghindari tatapan curiga anaknya. Tidak sadar, tiba-tiba ada satu kertas yang tercecer jatuh ke lantai, saat ibu berjalan cepat menuju kamar. Takut kalau itu kertas penting, Ara lantas mengambil dan membaca tulisan di atas kertas itu. Air matanya langsung banjir saat mengetahui isinya. Ia langsung jatuh terduduk sambil terisak kecil. Tidak mau ketahuan ibu, Ara lantas berlari memasuki kamarnya.

***

Suasana subuh pekat menyelimuti Dusun Sumberingin. Kabut, kokok ayam, dan sesekali klebat kelelawar yang kembali ke sarang menghiasi rumah Ara dan keluarga. Disalah satu ruangan, nampak Ibu Lili dan kedua anaknya tengah membaca Al Qur'an dengan khusyu. Terlihat sekali kerukunan keluarga kecil tersebut.

"Alya, kamu lekas mandi dahulu! Biar nanti tidak terburu-buru," perintah ibu seusai membaca Al Qur'an bersama. Saat Ibu menoleh ke Ara, nampak sekali anaknya itu tengah menahan sesuatu.

"Ada apa kak? Skripsinya lancar kan?"

Mendengar pertanyaan ibu, Ara langsung menghambur dan memeluk pahlawan hidupnya itu. Di tangannya terselip kertas malam tadi yang isinya membuatnya bangga memiliki orang tua seperti ibunya. Saat membalas rengkuhan anaknya, ibu tersadar kalau Ara tengah menangis.

"Kenapa menangis, Kak?"

"Ibu bisa jelaskan semua ini?" balas Ara sambil menyodorkan selembar kertas. Melihat kertas yang disodorkan Ara, ibu diam sejenak.

"Sebelumnya mohon maaf, Kak. Ibu hanya tidak ingin membebani kalian dengan masalah yang belum saatnya kalian tahu," jelas ibu perlahan.

Sekuat tenaga Ibu berusaha menahan air mata. Ia pun melanjutkan penjelasan tentang dirinya yang tidak dihargai saudara-saudaranya, selalu direndahkan keluarga dari pihak suami, bahkan rumah yang kini ditempati keluarga kecilnya itu ingin dikuasai kakaknya setelah meninggalnya ayah mereka. Ibu pun harus banting tulang tanpa kenal lelah memenuhi kebutuhan keluarga kecil mereka karena Ayah yang di luar kota ternyata jarang mengirim uang. Bertani, berjualan kue, dan menjadi tenaga pengajar sangat menguras tenaganya. Suasana ruangan itu mendadak sunyi. Hanya terdengar isakan Ara yang makin menjadi.

"Kenapa ibu tidak bilang sejak awal? Bila Ara tahu itu, Ara tidak akan memaksa kuliah. Lebih baik Ara membantu mencari uang," isak Ara sambil menciumi tangan ibunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun