Mohon tunggu...
Silvi Novitasari
Silvi Novitasari Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis Lepas

Penyuka kamu, buku, senja, dan keindahan. Sempat jadi orang yang ansos, tapi akhirnya jadi orang sosial lewat tulisan. Bahkan menjadi sarjana sosial :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kenanga

27 November 2017   22:38 Diperbarui: 27 November 2017   23:31 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Lupakan semua kisah ibu tiri kejam. Ibu tiriku bukan. Dia wanita penyayang. Mengenangnya adalah mengenang pulau penuh kedamaian. Dia sekuntum mawar di sudut halaman, terdiam tenang, hanya sesekali angin mengusiknya bergoyang, mengedarkan wangi, memancarkan cerah. Dan cerah ibu tiriku dia pancarkan untukku, untuk ayah, untuk rumah, kemudian mendamaikan perasaan dan hati kami setiap hari dengan wanginya.

Berwajah eksotis kulit sawo matang, gadis usia dua puluh enam, asal pulau Kalimantan. Ayah menikahinya dua tahun setelah ibu meninggal, dan aku baru masuk kelas tiga Sekolah Dasar.

"Ayo salim sama Tante!" pinta ayah di teras depan rumah.

Kucium tangannya.

"Panggil saja Bunda, ya." pintanya sambil berlutut, mengusap kepala, memelukku erat pada hari pertama dia menjadi bagian dari keluargaku di rumah. Maka dari hari ke hari, adalah prosesku mengenalinya.

Ternyata istri yang taat. Tak pernah membantah. Sebab lupa melicin safari, pernah ayah membentaknya keras. Di kamar sendirian mataku berkaca-kaca tak tega. Kudengar Bunda hanya meminta maaf dan setelah itu diam. Mungkin segera menyetrika tanpa banyak bicara. Sampai kemudian kembali terdengar ayah minta maaf. Penasaran aku keluar kamar, kulihat ayah sedang memeluknya erat, meminta maaf, mengurai kata-kata penyesalan. Air mataku berjatuhan deras. Haru bukan kepalang. Setelah itu, kejadian sama tak pernah terulang.

Kesenangannya adalah membaca. Koleksi bukunya melimpah ruah, terbaris pada rak di kamar, dan karena tidak muat, sebagian buku itu menyesaki lemari ruang tengah. Jika tugas rumah selesai, lantai sudah dipel, cucian rapi terjemur, Bunda akan pergi ke teras belakang, duduk pada kursi rotan, membuka buku dan mulai membaca. Duduk tegak , buku tersimpan di meja, dengan anggun membukanya, dari lembar ke lembar, seperti mahasiswa disiplin sedang mengerjakan ulangan. Khusyuk dan tengelam ke dalam halaman yang sedang dibacanya.

Maka tak mengherankan jika Bunda menjadi wanita yang pandai berkisah. Kosa katanya kaya, pandai memilih diksi, tahu kata paling tepat. Jika berkisah, perhatian orang terpusat. Cicak absen berburu, kecoa menunda makan, laba-laba terpana, nyamuk diam, lalat bengong, mendengarkan Bunda hingga selesai cerita. Sering di pengajian aku tak sabar, ingin cepat bubar. Bukan sebab ingin segera main layangan atau televisi, tapi ingin segera bertemu ibu dan mendengarkan lagi kelanjutan cerita yang sempat dia tunda.

Aku semangat bangun lebih pagi, rela membantunya di dapur, membersihkan wortel, memotong kentang, mengulek tomat dan mengiris bawang hanya karena ingin segera mendengar kisahnya. Cara dia bertutur sangat tertata. Kalimat per kalimat meluncur ringan. Merdu halus enak didengar. Sambil mengiris tempe, membelah tahu, menghaluskan rempah, untaian kata-katanya riuh berjatuhan mirip gerimis di bulan-bulan basah.

Tak pernah kehabisan, ada saja bahan ceritanya. Cerita rakyat, dongeng dunia, kisah seribu satu malam, kisah Abu Nawas, kisah Nasriuddin Hoja, kisah Ali Baba, kisah Qamaruzzaman. Dia yang mengenalkanku kepada Tom Sawyer sang petualang Amerika, Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriella, Di Bawah Lindungan Ka'bah novel Hamka, dan jangan tanya bagaimana kisah-kisah Nabi dan Para Sahabat, nyaris semuanya lengkap dia ceritakan, bahkan Nabi Muhammad dia kisahkan habis sejak lahir hingga wafat, lengkap begitu detail, bersama percakapan. Masih membekas dalam pikiran ini adegan ketakutan Abu Bakar saat sembunyi dalam Gua, masih sesak dada ini merasakan duka para sahabat saat Rasulullah meninggal.

Pernah saat Bunda sibuk menyampul buku, aku mendekatinya dan bertanya, apa kunci supaya kisah enak didengar, Bunda menjawab, "Setahu bunda, ada dua. Pertama, perdengarkanlah kisah pada orang yang ingin mendengarnya. Itulah makanya setiap kali mau bercerita, bertanya dulu padamu, maukah mendengar? Setelah kamu izinkan, baru Bunda memulai."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun