Mohon tunggu...
Vira Santisya Azahra
Vira Santisya Azahra Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - XII MIPA 2

It's an immpossibility to be perfect but it's possible to do the best

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sang Orator dari Tanah Pahlawan

21 November 2021   12:56 Diperbarui: 21 November 2021   13:46 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     

Orator Ulung.

     Begitulah julukan yang sering orang-orang berikan terhadapku, tidak tau siapa yang awalanya mempelopori dan juga entah darimana bakat sebagai orator ini aku dapatkan, mengingat kedua orang tuaku pun tidak memiliki bakat tersebut.

     Ayahku sendiri adalah seorang mantan pegawai pemerintah sekaligus pegawai ekspor impor Belanda sedangkan ibu adalah seorang ibu rumah tangga yang meneruskan usaha kedua orang tua nya sebagai distributor lokal mesin jahit.

     "Kau kenapa?" tanya Tri ketika mendapatiku melamun ketika ia sedang bercerita, Tri ini adalah salah satu teman sebayaku sejak kecil, nama aslinya adalah Soemantri tapi aku sering memanggil nya Tri karena kurasa itu lebih mudah untuk diucapkan, sejak dulu kami berdua sering bertukar cerita atau pun berdiskusi tentang hal-hal serius yang berhubungan dengan konflik penjajahan.

     "Sejujurnya aku sudah sangat muak dengan para penjajah yang menjajah negeri kita ini, aku gatal sekali ingin mengusir mereka tapi akupun tak bisa berbuat apapun." Aku menceritakan keluh kesahku selama ini, sudah lama sekali aku memikirkan cara yang paling bijak untuk dilakukan tapi tetap saja hasilnya buntu.

     Tri terdiam sejenak, terlihat serius berpikir mengenai hal yang aku utarakan barusan. "Menurutku kunci untuk mengatasi semua ini adalah pendidikan, Tomo" kali ini giliranku yang terdiam, yang diucapkan Tri memang benar bahwa kunci untuk mengatasi semua ini adalah pendidikan, mengingat di masa ini pendidikan masih sangat sulit untuk didapatkan terlebih untuk kalangan bawah.

     "Jika saja pendidikan bisa lebih diutamakan, mungkin saja kita semua bisa segera terlepas dari penjajah" lanjut Tri. Aku memijat keningku, menghela nafas sembari menyenderkan tubuhku pada kursi yang aku duduki sambil berkilas balik tentang apa yang terjadi selama ini.

     Pendidikan di zaman penjajahan ini memang sangat sulit untuk didapatkan, banyak anak muda yang seharusnya pergi ke sekolah untuk menempuh pendidikan tapi dipaksa keadaan yang mengharuskan mereka untuk bekerja, entah sebagai kuli pabrik atau berjualan di pasar.

     Faktor utama yang menyebabkan semua ini adalah mahal nya biaya pendidikan, walaupun pemerintah menyediakan sekolah rakyat atau disebut juga HIS (Hollandsch Inlandsche School) tapi tetap saja masih banyak orang yang memilih untuk bekerja alih-alih menempuh pendidikan.

     Tapi jujur saja, akupun kurang menyukai mata pelajaran yang aku pelajari di sekolah seperti berhitung, seni dan lain sebagainya. Aku lebih menyukai hal-hal yang berbau gerakan sosial kemasyarakatan, kepemudaan dan perjuangan. Bahkan saat aku menyelesaikan pendidikan di HBS pun dengan cara korespondensi, tidak pernah secara resmi dinyatakan lulus.

     Keluarga ku termasuk salah satu keluarga yang sangat memperhatikan pendidikan, mereka telah menanamkan rasa cinta terhadap pendidikan kepada ku dan ke-5 adik ku. Mereka tak hanya menekankan mengenai pendidikan secara formal, tapi juga dalam arti yang luas, mulai dari menanamkan sikap gotong royong, menghargai sesama, semangat perjuangan, kesederhanaan dalam kehidupan, bahkan agama sekalipun. Orang tua ku juga memberikan kebebasan terhadapku, baik itu dalam berorganisasi, beraktivitas, dan bercita-cita. Mereka tidak pernah mempermasalahkan hal itu, karena menurut mereka hal yang terpenting adalah dapat memberikan manfaat besar bagi kehidupan banyak orang terutama bangsa dan negara.

     Ibu dan ayah dikenal sebagai sosok muslim yang taat, wilayah tempat tinggal yang kutempati pun terkenal dengan santri dan pondok pesantren nya. Walaupun demikian, sejak kecil aku tak pernah bersekolah di pondok pesantren, orang tua ku pun membebaskan Aku untuk memilih sekolah. Akan tetapi, mereka tetap selalu menanamkan ketaatan dalam jiwa ku dan ke-5 adikku agar selalu mengingat Allah Swt dimana pun kami berada.

     Pernah suatu ketika Aku dan Ayah sedang duduk berdua di teras rumah sambil mengecap secangkir teh ditemani bakwan buatan ibu, beliau bertanya "Kamu tau nak, mengapa ayah selalu mengatakan kepada kamu dan adik-adik mu untuk selalu mementingkan pendidikan dan agama dalam satu kesatuan?" Aku yang saat itu sedang memakan potongan bakwan hanya bisa mengangkat kedua alisku dengan mulut yang penuh bakwan seolah -- olah berkata "apa". Ayah yang mengerti maksudku hanya terkekeh sambil menyeruput sedikit teh nya lalu berkata "Negeri kita ini belum terbebas dari penjajah, jika kita terus menerus diam tanpa bertindak kapan kita akan terbebas? Oleh karena itu, ayah selalu menekankan kepada kalian untuk jangan menyepelekan pendidikan, pendidikan itu adalah senjata utama dalam mengusir penjajah, termasuk juga untuk membangun bangsa dalam segala aspek, kita ini akan seperti anak ayam yang mengekori induknya jika terus-terusan seperti ini, negeri ini memang milik kita tapi kita sendiri tidak bebas melakukan apapun di dalam negeri kita sendiri.

     "Lalu apa hubungannya dengan agama?" tanyaku yang masih penasaran. "Segala hal di dunia ini tidak akan terjadi tanpa campur tangan dari Yang Maha Kuasa, walaupun kita sudah berusaha keras tetapi Allah. Swt belum berkehendak kita bisa apa?."

     Aku yang saat itu masih belia hanya menganggap itu sebagai cerita biasa yang ayah ceritakan, tapi sekarang aku paham mengapa selama ini orang tua ku selalu menekankan untuk selalu melibatkan Tuhan dalam hal apapun, karena terasa olehku bahwa kekuasaan Tuhan itu memang nyata adanya, ketika kita gagal dalam melakukan sesuatu, walaupun kita rapuh, tapi jika kita yakin ada Tuhan yang selalu bersama kita, meyakini bahwa semua yang terjadi atas kehendak Tuhan, maka kita akan cepat untuk bangkit kembali melawan rasa takut yang kita hadapi.

SURABAYA, 1937

     Semilir angin yang berhembus ringan membuat udara bekas hujan sore ini terasa semakin dingin. Surabaya yang biasanya sangat panas sudah mulai memasuki musim penghujan yang membuat kami harus bersiap dengan segala kemungkinan yang terjadi, mulai dari genteng yang bocor sampai cucian ibu yang akan lebih lama kering dari biasanya.

     Aku berjalan menyusuri jalanan pasar, setelah lelah seharian bekerja aku berencana untuk membeli beberapa makanan untuk menghangatkan tubuhku sebelum pulang ke rumah, udara dingin seperti sekarang ini membuatku mengidamkan Soto Bu Ngantuk yang terkenal akan cita rasanya yang akan membuat siapa pun yang mencicipi Soto buatan nya akan terkesima. Efek dari pekerjaan yang padat sangat mempengaruhi ku belakangan ini, jurnal -- jurnal yang menumpuk membuat kepala ku pening. Berbicara tentang pekerjaan, saat ini Aku bekerja sebagai wartawan lepas di Harian Soera Oemoem, walaupun pekerjaan sebagai wartawan lepas terkadang di hindari oleh sebagian orang tapi aku sangat menikmati pekerjaan ini. Pekerjaan sebagai wartawan lepas cocok untukku yang berjiwa bebas dan tertarik dalam hal-hal yang menyangkut dengan jurnalistik, kecintaanku terhadap junalistik dapat dikatakan tidak bisa dikalahkan oleh hal apapun.

     "Matur Nuwun" ucapku sambil mengambil sekantong plastik soto yang ia berikan seraya memberikan 1 lembar uang pecahan 1000 rupiah, kini di tanganku sudah penuh dengan beberapa kantong plastik yang berisi makanan, tadi ketika dalam perjalanan ke warung soto Bu Ngantuk kebetulan aku melihat pedagang kaki lima yang berjualan rawon dan sate klopo yang membuatku teringat dengan Ibu dan adik perempuanku yang sangat menyukai makanan tersebut. Kecintaan ibu terhadap rawon sama seperti kecintaan ku terhadap soto, bahkan pernah suatu ketika ia memasak rawon untuk kami semua sampai satu minggu lamanya, ia terus memasak rawon setiap hari sampai adik bungsu-ku berceletetuk ketika kami semua sedang makan malam bersama bahwa ia bosan memakan rawon setiap hari. Begitu pun dengan adik perempuan ku, ia dan sate klopo sudah seperti lem, dimana ada sate klopo disitu pasti ada adikku, setiap pulang dari sekolah ia pasti mampir ke tukang sate, sate klopo langganan nya adalah Sate Klopo Ondomohen yang terkenal akan rasa rempah nya yang kuat, bahkan Ayah terkadang heran dan sering bertanya kepada ku, apa ia tidak bosan memakan sate klopo hampir setiap hari? Aku yang mendengar pertanyaan Ayah hanya bisa tersenyum tipis, Ayah tidak tau saja bahwa aku pun hampir setiap hari memakan soto Bu Ngantuk, walau belakangan ini sudah jarang karena efek pekerjaan ku yang padat membuatku hanya ingin membaringkan tubuhku di atas kasur sepulang bekerja alih-alih menikmati soto yang cita rasa nya luar biasa.

     Ketika aku hendak meninggalkan pasar, Tepat beberapa meter di hadapanku terdapat anak kecil, mungkin usia nya baru sekitar 11 tahun sedang berjualan dengan menenteng beberapa keresek yang berisi barang dagangan nya. Seketika aku mengingat diriku dahulu ketika dampak depresi melanda dunia kala itu, yang membuatku harus melakukan pekerjaan kecil-kecilan demi memperbaiki keadaan hidup agar menjadi lebih baik. Akhirnya aku pun mendatangi anak tersebut dan membeli beberapa barang dagangannya, ia terlihat bahagia sekali ketika aku membeli barang dagangan nya tersebut dengan senyum yang tak pernah luntur dari bibir nya.

     "Kenapa kamu terlihat bahagia sekali?" tanyaku seraya mengambil posisi berjongkok dihadapan nya,

     "Aku sangat senang dagangan ku habis hari ini, jadi aku bisa pulang lebih cepat" jawabnya tanpa memudarkan senyumnya sedari tadi.

     Anak laki-laki itu terlihat sangat manis dengan dua lesung pipi yang menghiasi wajah nya, bola mata hitam legam dengan bulu mata yang lentik ditambah alis nya yang tebal membuat anak tersebut terlihat sangat tampan. Sayang sekali anak di usia belia sepertinya sudah harus bekerja keras demi menghadapi kerasnya hidup, usia yang seharusnya ia nikmati dengan bermain bersama teman-teman nya sudah harus ia gunakan untuk bekerja keras.

     "Kalau begitu cepatlah pulang, ibumu mungkin sudah menunggu mu pulang sedari tadi" ucapku sambil mengusap kepalanya.

     Anak itu kemudian mengangguk bersiap meninggalkanku sesudah berkali-kali mengucapkan kata terima kasih. Tapi sebelum ia beranjak aku menahan lengannya dan memberikan soto yang tadi aku beli, biarlah hari ini aku merelakan soto yang sejak lama aku idam-idamkan, Aku rasa anak ini lebih bahagia jika bisa membawa pulang makanan yang bisa ia santap bersama keluarganya.

     Dalam perjalanan pulang aku berharap bahwa kelak anak tersebut bisa menjadi anak yang menjadi kebanggan kedua orang tua nya, dilihat dari kerja kerasnya sejak dini tidak dapat diragukan lagi bahwa ia adalah tipe anak yang akan mengerahkan segala kemampuannya demi menggapai apa yang ia cita-citakan.

     Semoga saja.

 

SURABAYA, 1939

  Menjadi Redaktur mingguan pembela rakyat sekaligus Wartawan dan penulis pojok harian berbahasa Jawa membuat ku bertambah sibuk setiap harinya, bahkan tak jarang aku harus menghabiskan banyak waktu di kantor untuk lembur karena pekerjaan yang menumpuk. Belum lagi sebagai wartawan aku harus mendatangi narasumber secara langsung, bahkan terkadang setelah lembur sampai hampir dini hari, paginya aku harus pergi ke tkp untuk mencari tau lebih dalam apa yang sedang terjadi saat itu. Untungnya dari melakukan pekerjaan ini adalah aku dapat mengetahui lebih jelas tentang situasi yang terjadi saat itu, karena terkadang apa yang disiarkan kepada media hanya garis besarnya saja, tidak sampai ke akar-akarnya.

     Tumpukan kertas dan beberapa cangkir kopi yang sudah tandas tak bersisa memenuhi meja kerjaku, Aku memijat kepala yang mulai terasa pening akibat terlalu dipaksakan untuk bekerja. Waktu yang seharusnya dipakai untuk beristirahat malah kupakai untuk menyelesaikan pekerjaan ku yang menumpuk ini, belum lagi jika Aku pulang ke rumah besok ibu pasti akan mengomeli ku dengan sapu lidi yang bertengger di tangan nya, ia akan berceramah tentang Aku yang seharusnya jangan bekerja terlalu keras, jangan ini, jangan itu. Aku mengerti tujuan ibu baik, ia tidak ingin anaknya sakit karena kelelahan bekerja seperti yang sudah terjadi beberapa waktu yang lalu tapi mau bagaimana lagi, pekerjaan tetaplah pekerjaan tidak bisa diganggu gugat, mau dibayar apa aku nanti jika pekerjaan ku saja tidak selesai. Tapi pada akhirnya Aku tetaplah menuruti perkataan ibu walaupun beberapa hari kemudian pasti mengulang kesalahan yang sama. Dasar bebal.

SURABAYA, 1945

  Menikmati teh hangat sambil melihat indahnya langit malam di tengah dingin nya udara seperti sekarang ini benar-benar perpaduan yang sempurna. Teras belakang rumah benar-benar menjadi tempat favorit ku ketika memiliki waktu senggang, menghindari kesibukan selama beberapa hari membuat tubuh dan pikiranku kembali segar, jika tau efeknya bisa sebesar ini sudah dari jauh-jauh hari aku akan meminta cuti kepada atasanku. Di tengah-tengah keheningan yang melanda tiba-tiba aku mendengar suara pintu yang di ketuk secara terburu-buru bersamaan dengan ayah yang tergesa-gesa bangun dari kursi untuk membuka pintu utama.

     Terlihat sosok jangkung dengan badan yang sedikit berisi beserta rambutnya yang kelimis berada di depan pintu rumahku dengan kedua tangan yang bertumpu pada kedua lutut nya, dia adalah Romo Bintari wartawan senior di tempat ku bekerja. Ayah mempersilahkan nya untuk masuk dan dengan cekatan ibu memberikan nya segelas air putih, ia langsung menenggak nya sampai habis kemudian menatapku.

     "Ada kabar bagus Tomo" ucapnya kepadaku, masih dengan nafas yang sedikit tersengal.

     "Kabar apa?"

     "Kita sudah resmi merdeka tadi siang!" katanya dengan mata yang berbinar.

     Aku yang masih tidak mengerti hanya bisa mengerutkan keningku, "Merdeka? Maksudmu?"

     "Bung Karno dan Bung Hatta sudah memproklamasikan kemerdekaan kita tadi siang! Sekarang Indonesia sudah merdeka!" Romo menjawab dengan semangat yang menggebu.

     Akses informasi di zaman ini memang masih lambat, sehingga wajar saja baru sampai saat tengah malam begini. Apalagi jarak antara Jakarta -- Surabaya yang lumayan jauh serta kendala transportasi yang menjadi alasan mengapa informasi didapat selambat ini.

     "Kita harus menyiarkan berita ini kepada rakyat Surabaya" lanjutnya masih dengan senyum yang merekah di kedua sudut bibirnya.

     Aku yang mendengar usul Romo terdiam sejenak, aku tidak mau gegabah, bukannya aku tidak mau memberitahukan kabar baik ini kepada rakyat, aku hanya takut tentara Jepang bisa mendeteksi jika kami menyiarkan ini lewat radio.

     "Tapi Romo, apa tidak berbahaya jika kita menyiarkan ini? maksudku walaupun sekarang tidak ada tentara Jepang di negara kita, aku khawatir mereka bisa mendeteksi nya"

     Romo yang mendengar ucapan ku menganggukan kepala nya pelan, mungkin ia juga setuju dengan pendapatku barusan. Terjadi keheningan beberapa saat sampai akhirnya ayah yang duduk di sebelahku berdehem pelan membuka suara.

     "Kenapa kalian tidak menyiarkan nya menggunakan bahasa Jawa? Seolah-olah sedang menyiarkan radio biasa? Jikalau tentara Jepang mendeteksinya pun mereka pasti akan mengira itu siaran biasa"

     Aku dan Romo yang mendengar saran ayah reflek bertatapan, ya ampun kenapa kami tidak kepikiran cara yang satu ini. Dengan sigap Romo buru-buru bangkit dari kursi sambil menenteng tas yang ia bawa.

     "Ayo Tomo! Kita beritahukan ini sekarang kepada rakyat. Paman, terima kasih atas saran mu" ucapnya seraya menatap ayahku sambil tersenyum, mungkin bangga dengan ide cemerlang yang ayahku lontarkan.

     Kami tiba di lokasi siaran, degup jantung yang berpacu cepat tidak bisa kami hindari. Kami sangat senang sekaligus tegang akan menyampaikan berita ini kepada rakyat, semoga ini adalah awal yang baik untuk membebaskan negeri ini sepenuhnya dari para penjajah.

                                                                                                                        ~~~

     Merdeka bukan berarti kami bebas dari ancaman musuh, beberapa bulan setelah proklamasi resmi dibacakan, Inggris kembali berulah, mereka awalnya membuat kesepakatan dengan bangsa kami, oleh karena itu kami memperkenankan tentara inggris  memasuki kota Surabaya, tapi dengan syarat hanya objek yang sesuai dengan tugasnya yang boleh di duduki, seperti kamp-kamp tawanan. Tetapi pada akhirnya mereka mengingkari kesepakatan yang telah kami buat.

     26 Oktober 1945, tepat satu hari setelahnya, satu pleton field security section di bawah pimpinan Kapten Shawa bersama teman -- temannya melakukan penyerangan ke Penjara Kalisosok untuk membebaskan kolonel Huiyer yang merupakan seorang Kolonel Angkatan Laut Belanda. Tidak hanya itu, tindakan yang dilakukan Inggris selanjutnya adalah dengan menduduki Pangkalan Udara Morokrembangan, Pelabuhan Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Bank Internasional dan objek vital lainnya.

     Keesokan harinya tepat pukul 11 siang pesawat terbang milik Inggris menyebarkan pamflet yang berisi perintah agar kami, rakyat Surabaya menyerahkan senjata yang dirampasnya dari tangan Jepang, karena sebelumnya kami memang melucuti senjata para tentara Jepang. Hal ini menghilangkan kepercayaan kami terhadap Inggris dan hari itu juga terjadi kontak senjata yang pertama antara kami sebagai para pemuda dengan pihak Inggris, kontak senjata itu akhirnya meluas sehingga terjadi pertempuran dengan Inggris selama 3 hari yaitu pada tanggal 28 sampai 30 Oktober 1945, dalam pertempuran itu pasukan sekutu dapat dipukul mundur dan bahkan hampir dapat dihancurkan oleh pasukan kami.

     Beberapa objek vital yang sebelumnya diduduki oleh pemerintah Inggris berhasil direbut kembali oleh kami, bahkan pemimpin pasukan sekutu yaitu Brigadir Jendral A.W.S Mallaby berhasil ditawan oleh kami para pemuda. Melihat kenyataan bahwa pemimpin nya berhasil ditawan oleh kami, komandan pasukan sekutu menghubungi Presiden Soekarno untuk mendamaikan perselisihan antara kami dengan pasukan Inggris. Hari itu juga, Presiden Soekarno, Hatta, dan Amir Syarifuddin datang ke Surabaya untuk mendamaikan perselisihan. Perdamaian memang berhasil dicapai, tapi sekembalinya Presiden Soekarno dan rombongan ke Jakarta, pertempuran kembali terjadi dan menewaskan pemimpin mereka yaitu Jendral A.W. S Mallaby, kejadian itu memancing amarah pemerintah Inggris yang kemudian meminta bantuan kepada Devisi V yang dipimpin oleh Mayor Jendral Mansergh.

     Maka pada tanggal 9 November 1945 Inggris dibawah pimpinan Jendral Mansergh mengeluarkan ultimatum yang berisi ancaman akan menggempur kota Surabaya dari darat, laut, dan udara apabila orang-orang Surabaya tidak menaati perintah mereka. Inggris juga mengeluarkan instruksi yang isinya menyatakan bahwa semua pimpinan bangsa Indonesia dan para pemuda Surabaya harus datang selambat-lambatnya tanggal 10 November 1945 pukul 6 pagi di tempat yang telah ditentukan, kami juga harus datang dengan tangan kosong diatas kepala dan kemudian menandatangani dokumen sebagai tanda bahwa kami menyerah tanpa syarat.

     Aku yang mendengar ultimatum tersebut sangat marah mendengar apa yang dilakukan oleh Inggris, Sungkono yang saat itu sedang bersama ku pun sama geram nya, terlihat dari rahangnya yang mulai mengeras dan tangannya yang mengepal kuat.

     "Apa-apaan mereka!" ucapku dengan amarah yang tertahan. "Mereka pikir kita akan menyerah semudah itu?"

     "Kita tidak boleh sampai mematuhi mereka, kita harus membakar semangat rakyat agar mereka tidak terpengaruh dengan apa yang sudah dilakukan para sekutu." Sungkono menambahkan dengan amarah yang sudah memuncak.

     "Aku akan pergi ke studio siaran untuk memberi orasi kepada rakyat, aku akan membakar semangat mereka! Kau pergilah, kumpulkan para pejuang untuk persiapan esok hari"

     Aku duduk di kursi yang biasa aku gunakan untuk siaran, menarik nafas pelan kemudian mendekatkan mulut ku di depan pengeras suara. Diluar sana, para arek-arek Suroboyo mendekatkan telinga nya ke tepi radio, mendengarkan dengan seksama.

     Bismillahirrohmanirrohim..Merdeka!!! 

     Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya. 

     Kita semuanya telah mengetahui. Bahwa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua. Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan, menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara Jepang. 

     Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan. Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka.

     Suara senapan dan riak kecil pengepungan sudah dilakukan sekutu sejak dini hari ini. Arek-arek Surabayo pun sudah berkumpul, membunuh dinginnya malam sambil menunggu seruan untuk bergerak. Berbagai pasang mata tetap terjaga, menunggu tank lewat dan menyergapnya dengan kilat  

     Arek-arek Surabaya bersandar di puing-puing bangunan yang sudah hancur terkena mortir. Darah mereka semakin mendidik, menciptakan api dalam sekam yang membara tanpa ada arah. Mereka tak mau pergi, masih duduk dengan kepala panas yang siap menumpahkan lahar Gunung Semeru pada kolonial. Arek-arek Suroboyo memilih untuk berperang bersama Sungkono.

     Sedangkan di dalam radio aku kembali menyajikan seruan.

     Saudara-saudara. 

     Di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya. Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, Pemuda-pemuda yang berawal dari Sulawesi, Pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali, Pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan, Pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera, Pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini.

     Di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing. Dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung. Telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol. Telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana. 

     Hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara. Dengan mendatangkan Presiden dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini. Maka kita ini tunduk untuk memberhentikan pertempuran.

     Tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri. Dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya.

     Aku kembali mengingatkan para pemuda bahwa sebelum merdeka, rakyat Indonesia pun sudah memenangkan berbagai pertempuran melawan penjajah. Untuk itu, aku terus memberikan suntikan motivasi agar para pemuda percaya diri bahwa mereka bisa membuat Inggris terjepit, sama seperti pada perang-perang sebelumnya.

     Kemudian aku melanjutkan.

     Saudara-saudara,

     Kita semuanya, kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini, akan menerima tantangan tentara Inggris itu, dan kalau pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya, ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia, ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini, dengarkanlah ini tentara Inggris! 

     Ini jawaban kita! Ini jawaban rakyat Surabaya! Ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian!

     Hai tentara Inggris! Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu. Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu. Kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kita rampas dari tentara jepang untuk diserahkan kepadamu!

      Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita, untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita: 

     Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah, yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih. Maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga.

     Aku menyerukan kepada pemuda Surabaya untuk menerima tantangan perang Inggris. Aku menyampaikan bahwa selama rakyat Indonesia masih punya nyawa untuk dikorbankan, mereka tidak akan menyerah menghadapi penjajah manapun.

      Menarik nafas sejenak, kemudian aku melanjutkan dengan nafas yang memburu bercampur amarah yang sudah memuncak.

     Saudara-saudara rakyat Surabaya, 

     Siaplah, keadaan genting! Tetapi saya peringatkan sekali lagi, jangan mulai menembak. Baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka itu.

     Kita tunjukkan, bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka. Dan untuk kita saudara-saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap, MERDEKA ATAU MATI.

     Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya, pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. 

     Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

     Di bagian terakhir, aku meminta rakyat agar bersiap untuk perang. Aku juga berpesan kepada mereka agar jangan menyerang terlebih dahulu sebelum diserang, aku juga mengajak kepada rakyat agar mereka bertawakal kepada Tuhan. Pekik takbir yang aku lontarkan barusan merupakan saran dari KH. Hasyim Asyari saat aku datang ke kediamannya di Tebuireng. Diluar semua itu, tujuan dari ucapanku tetap sama yaitu mematik keberanian melawan tentara asing yang jauh lebih kuat.

     Diluar sana Sungkono begitu dominan dalam memimpin arek-arek Suroboyo yang sedang mendidih dalam perang mempertahankan Surabaya. Ketika melihat para pasukannya mulai kendor ia naik ke mimbar untuk membangkitkan semangat para pejuang dengan berkata :

     "Aku akan melawan tentara sekutu meski sendirian" ucapnya.

     Perkataan itulah yang membuat rakyat kembali dibakar oleh semangat yang membara, perlawanan yang tadinya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, semakin hari semakin teratur. Di pusat kota pertempuran terjadi lebih dahsyat, banyak mayat yang bergelimangan di selokan, suara peperangan menggema di tengah gedung kantor yang kosong. Inggris tidak hanya menyerang kota kami dari satu sisi, mereka membombardir kami dengan meriam dari laut dan darat yang lantas melibatkan penduduk kami untuk ikut andil dalam peperangan sehingga menyebabkan ribuan warga sipil menjadi korban dalam serangan itu. Melihat rakyat yang mulai putus asa, sembari melawan para bala tentara, aku terus mempelopori serta memotivasi mereka sampai pertempuran berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.

     Pertempuran ini berlangsung selama 3 minggu sebelum kami akhirnya kalah dan seluruh kota Surabaya jatuh ke tangan Inggris. Aku dan para pejuang lainnya yang masih hidup mengekor ribuan pengungsi untuk meninggalkan Surabaya dan selanjutnya menciptakan garis pertahanan baru dari Mojokerto di Barat sampai ke arah Sidoarjo di Timur.

                                                                                                                                      ~~~

     Setibanya kami di kamp pengungsian, dengan sigap anggota palang merah membantu para pasukan yang gugur dan terluka, tidak sedikit dari mereka yang mendapatkan luka yang lumayan parah dan banyak juga yang mendapat luka ringan sepertiku. Seorang wanita yang merupakan anggota palang merah membantuku untuk menyembuhkan luka, ia terlihat begitu cantik dengan bulu mata lentik, bibir tipis serta pipi yang merona alami, tapi dia terlihat begitu cuek, tidak seperti kebanyakan wanita pada umumnya. Biasanya wanita yang berada di dekat ku akan mencoba untuk menarik perhatianku atau semacamnya. Perlahan secara tidak sadar aku selalu memperhatikan kebiasannya dari mulai dia yang selalu menyisihkan telur putih untuk dimakan terakhir ketika ia sedang makan sampai da yang baru aku tau ternyata merupakan salah seorang pecinta sastra.

     Melihat kecintaannya terhadap sastra, aku memiliki sebuah ide untuk mendekatinya. Aku menulis surat untuknya dan menitipkan surat tersebut lewat temannya, aku pikir dia akan bereaksi seperti yang aku harapkan ketika membaca suratku, tetapi ternyata tidak. Aku yang disitu sudah merasa kecewa pada akhirnya memilih untuk mundur.

     Berhari-hari aku mencoba mengalihkan pikiranku, dan disinilah aku sekarang, berjalan tanpa arah di sekitar kamp, ditemani semilir angin yang berpaduan dengan suara air sungai yang mengalir deras. Aku duduk di pinggiran sungai menatap langit senja yang mulai kehilangan sinarnya, cukup lama aku terduduk melamun sampai akhirnya ada seseorang yang duduk di sebelahku.

     Dia adalah Sulistina, gadis yang aku dekati belakangan ini. Oh Tuhan, kenapa disaat aku sudah merelakan perasaan ku dia malah datang kepadaku, lantas dia memberikan segelas teh hangat untukku.

     "Terima Kasih" ucapku.

     "Maaf aku sudah mengacuhkan mu selama ini" katanya tiba-tiba.

     "Ah soal itu, tidak apa-apa. Sepertinya aku yang terlalu agresif" kata ku sedikit gugup. Aduh mengapa aku harus gugup ketika berdekatan dengan dia, melawan sekutu saja aku berani, kenapa ketika berada di dekatnya nyali ku merasa ciut.

     "Bukan salahmu, sebenarnya selama ini memang jarang ada lelaki yang berani mendekatiku, mungkin karena sifatku yang terlalu acuh yang membuat mereka mundur, seperti yang kau lakukan"

     Aku kaget, tidak menyangka dia akan menyadari itu, kupikir dia tidak akan memperhatikanku sejauh itu.

     Sejak hari itu hubungan kami perlahan menjadi akrab, dia perlahan luluh, sampai akhirnya kami resmi menjalani hubungan pada Januari, 1946. Namun karena Surabaya masih dikuasai sekutu, kami hanya bisa bertemu secara sembunyi-sembunyi. Aku yang saat itu dikenal sebagai pemimpin pasukan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) merupakan salah satu yang paling diincar tentara sekutu. Bahkan usai menikah pun, Aku dan Sulistina harus pindah ke Yogyakarta.

     Pernikahan kami dikelilingi oleh kebahagiaan, walau terkadang terhalang kesibukan kami berdua sebagai seorang aktvitis. Dibalik semua itu kita tetaplah pasangan suami istri yang berlaku seperti biasanya, sampai akhirnya kami dikaruniai 4 orang anak yang terdiri dari 3 orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Yang diberi nama Tin Sulistami, Bambang Sulistomo, Sri Sulistami dan yang paling bungsu adalah Ratna Sulistami.

     Perjalanan hidup Bung Tomo terhenti di usia 61 tahun. Dia wafat di Padang Arafah pada 7 Oktober 1981 ketika ia sedang melaksanakan ibadah haji, meninggalkan sang istri terkasih, anak-anaknya, dan semua orang yang ia sayangi.

Selamat Jalan Sang Kebanggan Negeri.

    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun