Mohon tunggu...
Vira Santisya Azahra
Vira Santisya Azahra Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - XII MIPA 2

It's an immpossibility to be perfect but it's possible to do the best

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sang Orator dari Tanah Pahlawan

21 November 2021   12:56 Diperbarui: 21 November 2021   13:46 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     

Orator Ulung.

     Begitulah julukan yang sering orang-orang berikan terhadapku, tidak tau siapa yang awalanya mempelopori dan juga entah darimana bakat sebagai orator ini aku dapatkan, mengingat kedua orang tuaku pun tidak memiliki bakat tersebut.

     Ayahku sendiri adalah seorang mantan pegawai pemerintah sekaligus pegawai ekspor impor Belanda sedangkan ibu adalah seorang ibu rumah tangga yang meneruskan usaha kedua orang tua nya sebagai distributor lokal mesin jahit.

     "Kau kenapa?" tanya Tri ketika mendapatiku melamun ketika ia sedang bercerita, Tri ini adalah salah satu teman sebayaku sejak kecil, nama aslinya adalah Soemantri tapi aku sering memanggil nya Tri karena kurasa itu lebih mudah untuk diucapkan, sejak dulu kami berdua sering bertukar cerita atau pun berdiskusi tentang hal-hal serius yang berhubungan dengan konflik penjajahan.

     "Sejujurnya aku sudah sangat muak dengan para penjajah yang menjajah negeri kita ini, aku gatal sekali ingin mengusir mereka tapi akupun tak bisa berbuat apapun." Aku menceritakan keluh kesahku selama ini, sudah lama sekali aku memikirkan cara yang paling bijak untuk dilakukan tapi tetap saja hasilnya buntu.

     Tri terdiam sejenak, terlihat serius berpikir mengenai hal yang aku utarakan barusan. "Menurutku kunci untuk mengatasi semua ini adalah pendidikan, Tomo" kali ini giliranku yang terdiam, yang diucapkan Tri memang benar bahwa kunci untuk mengatasi semua ini adalah pendidikan, mengingat di masa ini pendidikan masih sangat sulit untuk didapatkan terlebih untuk kalangan bawah.

     "Jika saja pendidikan bisa lebih diutamakan, mungkin saja kita semua bisa segera terlepas dari penjajah" lanjut Tri. Aku memijat keningku, menghela nafas sembari menyenderkan tubuhku pada kursi yang aku duduki sambil berkilas balik tentang apa yang terjadi selama ini.

     Pendidikan di zaman penjajahan ini memang sangat sulit untuk didapatkan, banyak anak muda yang seharusnya pergi ke sekolah untuk menempuh pendidikan tapi dipaksa keadaan yang mengharuskan mereka untuk bekerja, entah sebagai kuli pabrik atau berjualan di pasar.

     Faktor utama yang menyebabkan semua ini adalah mahal nya biaya pendidikan, walaupun pemerintah menyediakan sekolah rakyat atau disebut juga HIS (Hollandsch Inlandsche School) tapi tetap saja masih banyak orang yang memilih untuk bekerja alih-alih menempuh pendidikan.

     Tapi jujur saja, akupun kurang menyukai mata pelajaran yang aku pelajari di sekolah seperti berhitung, seni dan lain sebagainya. Aku lebih menyukai hal-hal yang berbau gerakan sosial kemasyarakatan, kepemudaan dan perjuangan. Bahkan saat aku menyelesaikan pendidikan di HBS pun dengan cara korespondensi, tidak pernah secara resmi dinyatakan lulus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun