Mohon tunggu...
Vira Santisya Azahra
Vira Santisya Azahra Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - XII MIPA 2

It's an immpossibility to be perfect but it's possible to do the best

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sang Orator dari Tanah Pahlawan

21 November 2021   12:56 Diperbarui: 21 November 2021   13:46 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Keluarga ku termasuk salah satu keluarga yang sangat memperhatikan pendidikan, mereka telah menanamkan rasa cinta terhadap pendidikan kepada ku dan ke-5 adik ku. Mereka tak hanya menekankan mengenai pendidikan secara formal, tapi juga dalam arti yang luas, mulai dari menanamkan sikap gotong royong, menghargai sesama, semangat perjuangan, kesederhanaan dalam kehidupan, bahkan agama sekalipun. Orang tua ku juga memberikan kebebasan terhadapku, baik itu dalam berorganisasi, beraktivitas, dan bercita-cita. Mereka tidak pernah mempermasalahkan hal itu, karena menurut mereka hal yang terpenting adalah dapat memberikan manfaat besar bagi kehidupan banyak orang terutama bangsa dan negara.

     Ibu dan ayah dikenal sebagai sosok muslim yang taat, wilayah tempat tinggal yang kutempati pun terkenal dengan santri dan pondok pesantren nya. Walaupun demikian, sejak kecil aku tak pernah bersekolah di pondok pesantren, orang tua ku pun membebaskan Aku untuk memilih sekolah. Akan tetapi, mereka tetap selalu menanamkan ketaatan dalam jiwa ku dan ke-5 adikku agar selalu mengingat Allah Swt dimana pun kami berada.

     Pernah suatu ketika Aku dan Ayah sedang duduk berdua di teras rumah sambil mengecap secangkir teh ditemani bakwan buatan ibu, beliau bertanya "Kamu tau nak, mengapa ayah selalu mengatakan kepada kamu dan adik-adik mu untuk selalu mementingkan pendidikan dan agama dalam satu kesatuan?" Aku yang saat itu sedang memakan potongan bakwan hanya bisa mengangkat kedua alisku dengan mulut yang penuh bakwan seolah -- olah berkata "apa". Ayah yang mengerti maksudku hanya terkekeh sambil menyeruput sedikit teh nya lalu berkata "Negeri kita ini belum terbebas dari penjajah, jika kita terus menerus diam tanpa bertindak kapan kita akan terbebas? Oleh karena itu, ayah selalu menekankan kepada kalian untuk jangan menyepelekan pendidikan, pendidikan itu adalah senjata utama dalam mengusir penjajah, termasuk juga untuk membangun bangsa dalam segala aspek, kita ini akan seperti anak ayam yang mengekori induknya jika terus-terusan seperti ini, negeri ini memang milik kita tapi kita sendiri tidak bebas melakukan apapun di dalam negeri kita sendiri.

     "Lalu apa hubungannya dengan agama?" tanyaku yang masih penasaran. "Segala hal di dunia ini tidak akan terjadi tanpa campur tangan dari Yang Maha Kuasa, walaupun kita sudah berusaha keras tetapi Allah. Swt belum berkehendak kita bisa apa?."

     Aku yang saat itu masih belia hanya menganggap itu sebagai cerita biasa yang ayah ceritakan, tapi sekarang aku paham mengapa selama ini orang tua ku selalu menekankan untuk selalu melibatkan Tuhan dalam hal apapun, karena terasa olehku bahwa kekuasaan Tuhan itu memang nyata adanya, ketika kita gagal dalam melakukan sesuatu, walaupun kita rapuh, tapi jika kita yakin ada Tuhan yang selalu bersama kita, meyakini bahwa semua yang terjadi atas kehendak Tuhan, maka kita akan cepat untuk bangkit kembali melawan rasa takut yang kita hadapi.

SURABAYA, 1937

     Semilir angin yang berhembus ringan membuat udara bekas hujan sore ini terasa semakin dingin. Surabaya yang biasanya sangat panas sudah mulai memasuki musim penghujan yang membuat kami harus bersiap dengan segala kemungkinan yang terjadi, mulai dari genteng yang bocor sampai cucian ibu yang akan lebih lama kering dari biasanya.

     Aku berjalan menyusuri jalanan pasar, setelah lelah seharian bekerja aku berencana untuk membeli beberapa makanan untuk menghangatkan tubuhku sebelum pulang ke rumah, udara dingin seperti sekarang ini membuatku mengidamkan Soto Bu Ngantuk yang terkenal akan cita rasanya yang akan membuat siapa pun yang mencicipi Soto buatan nya akan terkesima. Efek dari pekerjaan yang padat sangat mempengaruhi ku belakangan ini, jurnal -- jurnal yang menumpuk membuat kepala ku pening. Berbicara tentang pekerjaan, saat ini Aku bekerja sebagai wartawan lepas di Harian Soera Oemoem, walaupun pekerjaan sebagai wartawan lepas terkadang di hindari oleh sebagian orang tapi aku sangat menikmati pekerjaan ini. Pekerjaan sebagai wartawan lepas cocok untukku yang berjiwa bebas dan tertarik dalam hal-hal yang menyangkut dengan jurnalistik, kecintaanku terhadap junalistik dapat dikatakan tidak bisa dikalahkan oleh hal apapun.

     "Matur Nuwun" ucapku sambil mengambil sekantong plastik soto yang ia berikan seraya memberikan 1 lembar uang pecahan 1000 rupiah, kini di tanganku sudah penuh dengan beberapa kantong plastik yang berisi makanan, tadi ketika dalam perjalanan ke warung soto Bu Ngantuk kebetulan aku melihat pedagang kaki lima yang berjualan rawon dan sate klopo yang membuatku teringat dengan Ibu dan adik perempuanku yang sangat menyukai makanan tersebut. Kecintaan ibu terhadap rawon sama seperti kecintaan ku terhadap soto, bahkan pernah suatu ketika ia memasak rawon untuk kami semua sampai satu minggu lamanya, ia terus memasak rawon setiap hari sampai adik bungsu-ku berceletetuk ketika kami semua sedang makan malam bersama bahwa ia bosan memakan rawon setiap hari. Begitu pun dengan adik perempuan ku, ia dan sate klopo sudah seperti lem, dimana ada sate klopo disitu pasti ada adikku, setiap pulang dari sekolah ia pasti mampir ke tukang sate, sate klopo langganan nya adalah Sate Klopo Ondomohen yang terkenal akan rasa rempah nya yang kuat, bahkan Ayah terkadang heran dan sering bertanya kepada ku, apa ia tidak bosan memakan sate klopo hampir setiap hari? Aku yang mendengar pertanyaan Ayah hanya bisa tersenyum tipis, Ayah tidak tau saja bahwa aku pun hampir setiap hari memakan soto Bu Ngantuk, walau belakangan ini sudah jarang karena efek pekerjaan ku yang padat membuatku hanya ingin membaringkan tubuhku di atas kasur sepulang bekerja alih-alih menikmati soto yang cita rasa nya luar biasa.

     Ketika aku hendak meninggalkan pasar, Tepat beberapa meter di hadapanku terdapat anak kecil, mungkin usia nya baru sekitar 11 tahun sedang berjualan dengan menenteng beberapa keresek yang berisi barang dagangan nya. Seketika aku mengingat diriku dahulu ketika dampak depresi melanda dunia kala itu, yang membuatku harus melakukan pekerjaan kecil-kecilan demi memperbaiki keadaan hidup agar menjadi lebih baik. Akhirnya aku pun mendatangi anak tersebut dan membeli beberapa barang dagangannya, ia terlihat bahagia sekali ketika aku membeli barang dagangan nya tersebut dengan senyum yang tak pernah luntur dari bibir nya.

     "Kenapa kamu terlihat bahagia sekali?" tanyaku seraya mengambil posisi berjongkok dihadapan nya,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun