Diceritakan pada zaman dahulu, suatu ketika Harun-Ar-rasyid ingin bertawaf secara intim tanpa ada seorang pun yang dibolehkan tawaf bersamaan dengannya, anak buah diperintahkan untuk melarang masyarakat pada zaman itu agar tidak tawaf dulu, bisa dibilang yang demikian adalah suatu bentuk penghormatan terhadap raja pada zaman arab dahulu. Hari itu merupakan momen istimewa Sang Raja, ia pun memulai ritualnya...
Tiba-tiba seorang badui arab dengan santainya mendahuli Sang Khalifah bertawaf. Si Penjaga pun mengingatkannya, "Hai orang badui! Jangan tawaf dulu, apa kamu tidak lihat? tunggulah Sang Raja hingga selesai". Badui pun menjawab, "Hai penjaga yang budiman, Allah itu tidak memandang hambanya baik yang rakyat maupun yang raja, siapa pun boleh tawaf di tanah ini." Mendengar pertikaian singkat antara penjaga dan Si Badui, Sang Raja melerai.
"Sudah, sudah, biarkan saja"
Beliau pun melanjutkan ritual selanjutnya, yakni mengecup Hajar Aswad. Belum sampai mengecup lagi-lagi Si Badui mendahului, kemudian sang raja bepindah menuju Hijir Ismail untuk salat, namun tetap saja Si Badui tetap mendahuluinya lagi. Berani sekali orang itu sekelas raja pun dilangkahinya, andaikata di Indonesia, pasti sudah diseret-seret sama aparat kepolisian. Setelah salam dari salat, sang raja memerintahkan kepada penjaga untuk mencari Si Badui tadi agar menemui dan menghadap kepadanya. Si Penjaga pun bergegas mencari...
"Hai badui, Anda dipanggil sama raja !"
"Saya ini tidak ada butuh sama raja kenapa harus menemui? dimana-mana yang menemui itu yang butuh, wong saya ndak butuh kok saya yang disuruh datang. Bagaimana sampean ini !"
Sang Raja pun mengalah dan mendatangi Si Badui tadi...
"Assalamualaikum yaa Akhal Arab"
"Wa'alaikumsalam"
"Wahai saudaraku, bolehkah saya duduk di sini" Sang Raja memulai pembicaraan.
"Wahai raja, ini rumah bukan rumah saya, tanah haram ini juga bukan tanah haram saya, dan setiap kita di tanah ini berkedudukan sama. Kalau mau duduk ya duduklah. kalau ndak mau ya pergilah"
Sikap Si Badui terlihat sangat lancang terhadap raja, namun raja tak marah, ia pun memilih untuk duduk menghormati, karena pemikiran dan sikap badui yang unik Si Raja tertarik untuk bermain tebak-tebakan sejenak, ia pun bertanya:
"Wahai saudaraku, aku ingin bertanya kepadamu tentang kefardluan yang apabila kamu kuat menunaikannya, maka selain fardlu tadi kamu pasti kuat. Begitu pula sebaliknya, apabila kamu tidak kuat menunaikannya, maka selain fardlu tadi kamu pasti tidak kuat menunaikan. Apakah fardlu itu?"
Si badui menjawab,
"Sebentar-sebentar, Anda ini cuma ngetes saya apa beneran bertanya?"
"Saya beneran bertanya" sang raja membalas.
"Kalau begitu berdirilah! duduk yang sopan layaknya orang bertanya"
Si Raja pun berdiri, mengganti posisi duduk yang semula bersila menjadi duduk iftirasy. Fenomena ini sungguh ganjil, di mana kedudukan raja yang kita kenal adalah mereka yang dihormati dan disegani, namun mendapat perlakuan yang luar biasa absurd dari rakyatnya.
"Nah begitu, silakan bertanyalah"
"Baik, sekarang tolong ceritakan kepada saya tentang sesuatu yang diwajibkan Allah kepada Anda!"
"Sebentar.. yang Anda maksud ini wajib yang mana dulu? Wajib yang 1, wajib yang 5, wajib yang 17, wajib yang 34, wajib yang 94, wajib yang 1 dari 12, wajib 1 dari 40, wajib 5 dari 200, atau wajib satu dalam seumur hidup saya?"
Mendengar jawaban badui, Sang Raja tertawa terpingkal-pingkal seolah meremehkan suatu jawaban.
"Wahai saudaraku, saya tadi kan bertanya tentang kefardluan, kok malah jadi persoalan hitung-hitungan"
"Andaikata agama ini tidak ada perhitungan (hisab) maka di hari kiamat nanti, Tuhan tidak akan menyiksa hambanya dengan perhitungan pula!" timpal Si Badui.
Sang Raja marah mendengar lontaran jawaban Si Badui. Saat pertama kali bertemu, sikap dan gaya bicaranya seolah disengaja menjauhi batas kewajaran seorang rakyat di bawah kedudukan rajanya, namun harus diakui meskipun agak kurang ajar, logika berpikirnya memang masuk akal walaupun sedikit nyleneh.
"Hai badui, kalau kamu bisa menjelaskan omonganmu tadi maka kamu selamat, jika tidak bisa maka akan kupenggal lehermu dan kuletakkan di antara Shafa dan Marwa!"
Melihat kemarahan sang raja, Si Penjaga pun meredakan.
"Wahai tuanku, tolong ampuni Si Badui ini, maafkanlah dia semata-mata karena Allah, karena sikap memaafkan adalah maqam yang mulia"
Bentakan raja dan permohonan penjaga sama sekali tidak membuat mental Si Badui menjadi kerut, malah ia gantian yang tertawa terpingkal-pingkal.
"Hahahaha..."
"Kenapa kamu ketawa!? Apa yang lucu?" sentak Sang Raja.
"Saya ini heran, kira-kira mana yang paling bodoh di antara kalian berdua, kok bisa-bisanya mempercepat sesuatu yang sudah pasti akan terjadi atau malah memperlambat sesuatu yang sudah pasti terjadi. Kok bisa? Yang namanya mati itu ya hak prerogatifnya Allah, kok kalian yang ribut, memangnya kalian ini siapa?"
Sampai di sini, dialog antara mereka berdua terlihat sangat sengit. Sang Raja yang bersemangat ingin menuai jawaban di tegah medan perdiskusian, sementara Si Badui yang tetap gagah menyerang balik hempasan pertanyaan dengan pendirian logika berpikirnya yang eksentrik.
"Baiklah, akan saya jelaskan omongan tadi, tentang apa yang difardlukan Allah kepada saya, ya banyak sekali"
"Begini raja, adapun omongan saya tentang wajib 1 yang saya maksud itu adalah islam, lalu wajib yang 5 itu salat maktubah, dan wajib yang 17 adalah 17 raka'at sehari, terus wajib yang 34 adalah sujud saya sehari, dan wajib 94 juga takbir saya selama sehari.
Nah, terkhusus takbir yang 94 itu perinciannya seperti ini:
- Takbir pertama  : Takbiratul ihram itu sendiri
- Takbir kedua     : Membaca tasmi' dan tahmid saat bangkit dari rukuk
- Takbir ketiga     : Tasbih dalam rukuk
- Takbir keempat  : Sujud pertama dan kedua
- Takbir kelima    : Meminta ampunan di antara dua sujud
Yang apabila nanti dikalikan keseluruhannya dalam satu hari maka berjumlah 94 takbir, jika meninggalkan kelima perkara tersebut secara sengaja maka salatnya batal namun apabila lupa maka sujud sahwi sebagai gantinya, yang demikan itu adalah pendapat menurut imam Ahmad. Adapun pendapat lain mengatakan 5 takbir, yakni saat membaca takbiratul ihram saja selain itu hukumnya sunnah.
Masih belum selesai, Si Badui melanjutkan penjabaran.
"Adapun wajib yang 1 dari 12 itu adalah puasa Bulan Ramadan, lalu wajib 1 dari 40 adalah zakatnya emas dinar 1/40, lanjut wajib 5 dari 200 yaitu zakatnya emas dirham 5/200, dan yang terakhir wajib satu dalam seumur hidup saya adalah menunikan ibadah haji ke Baitul Makmur"
Hal yang sangat tidak disangka ternyata Si Badui adalah orang yang faqih (ahli fikih). Jawaban semula yang terkesan guyonan, dijabarkan sedemikian detail sampai ke akar-akarnya. Sang Raja pun tergeleng-geleng, semakin antusiaslah ia menyimak Sang Badui yang mulai memancar sorot ilmunya. Â Â
"Tadi kan sampeyan sudah bertanya, nah sekarang gantian saya yang bertanya" Sang Badui melanjutkan.
"ya bertanyalah" jawab Si Raja.
"Ada pemuda yang diharamkan melihat wanita pada waktu subuh, ketika masuk waktu zuhur hukumnya menjadi halal. Lalu ketika masuk waktu asar haram lagi, terus ketika masuk magrib, jadi halal. Masuk Isya', haram lagi. Lanjut masuk subuh, berubah halal. Ketika masuk zuhur haram lagi. Saat waktu asar tiba, berubah menjadi halal. Dan ketika masuk magrib berubah haram lagi, hingga saat isya' tiba, jadi halal lagi. Siapakah pemuda itu?"
"Demi Allah, Anda telah melempar saya ke dalam lautan ilmu, dan tiada seorang pun yang dapat menolong kecuali Anda belaka"
Si Raja diam tak berkutik mendengar pertanyaan Sang Badui. Ibarat main catur ia telah keok terperenyak terkena skakmat tiga langkah.
"Wah bagaimana sampean ini, katanya raja. Kok mendapat satu masalah saja sudah keok, seharusnya Anda ini lebih hebat menjawab persoalan dibanding saya yang badui ini"
Dengan sikap hormat Si Raja menjawab,
"Sungguh Anda adalah orang yang tinggi sekali derajat ilmunya, maka saya memohon jabarkanlah jawaban atas persoalan yang Anda berikan tadi"
Sang Badui pun menjawab,
"Saya akan menjabarkan jawaban, tapi ada syaratnya. Anda harus memperbaiki perkara yang pecah di negeri ini, mengasihi para fakir dan jangan berlaku sewenang wenang terhadap mereka"
"hubban wa karomatan" dengan takzim Sang Raja berucap, yang dalam bahasa jawa dapat diartikan "Inggih"/ "sendika dawuh"
Sang Badui menjabarkan,
"Pemuda itu adalah ia yang melihat budak perempuan yang bukan miliknya di waktu subuh, maka hukumnya haram, lalu di waktu duhur ia membelinya, maka hukumnya halal. Masuk waktu asar, budak itu dimerdekakan, maka hukumnya haram lagi. Waktu magrib tiba, ia menikahinya, maka hukumnya berubah halal. Masuk waktu Isya, ia menceraikannya, hukumnya ganti haram lagi. Masuk waktu subuh, ia merujuknya kembali, maka berganti halal lagi. Masuk waktu zuhur, ia mendziharnya maka hukumnya haram lagi. Masuk waktu asar, ia membayar kafarat dzihar maka hukumnya berubah halal. Ketika masuk waktu magrib, ia keluar dari islam (murtad) maka hukumya haram. Dan Ketika waktu Isya' tiba ia bertaubat, maka hukumnya berubah menjadi halal lagi.
Sang Raja pun merasa lega dan bahagia atas jawaban yang diuraikan serta memberikan kepada badui sekarung emas sebanyak 1000 dirham sebagai bentuk hadiah, namun ia menolak secara halus. Ia berkilah bahwa sekarung emas tidaklah berhak diterimanya, masih banyak di luar sana para fakir yang pantas untuk diberi. Padahal Sang Raja memberi semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya belaka, akan tetapi ia dengan santun menolaknya. Ia mengatakan bahwa apa yang diberikan sudah otomatis mendapat balasan, jadi tidak perlu diberi lagi.
"Wahai saudaraku, sebenarnya Anda ini siapa? darimana Anda berasal?"
"Namaku Musa Ar-ridlo"
Seketika itu, Sang Raja mengecup kening badui, seraya mengucap "Allahu a'lamu haitsu yaj'alu risalatahu"
ia terkaget, ternyata di hadapannya adalah manusia mulia yang masih mengalir dalam raganya darah Rasulullah SAW.
Musa Ar-ridlo adalah putra dari Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqir bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Ia memang sengaja menyamar menjadi orang biasa agar tak dikenal orang, hal itu dilakukan semata-mata karena zuhud dari godaan dunia yang penuh muslihat dan tipu daya.
Cerita ini disadur dari kitab Bahjatul Wasa'il halaman 5-7, Â karya Syaikh Muhammad Nawawi As-syafi'I Al-Qodiri yang merujuk pada kitab Lubab At-Thalibin karya As-Suhaimi.
Malang, 23-Januari-2023.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H