HIERARKI ILMU MENURUT FILOSOFIS AL-FARABIÂ
Dr.Husin Bafadhal,Lc.,MA1, Alim Erdiansah2,Veranita3
Magister Perbankan Lembaga Keuangan Syariah Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi Jurusan Ekonomi Syariah.
Abstrak
Al-Farabi adalah seorang ilmuwan dan filsuf muslim terkemuka, pemikirannya banyak dirujuk oleh berbagai kalangan, terutama di lingkup akademik dengan berbagi disiplin. Pemikiran filsafat Al-Farabi saat ini dikaji adalah tentang Psikologi Al-Farabi dalam Hubungannya dengan Hierrki Ilmu, Â Basis Metodologis Ilmu, Basis Ontologis dan Etis Hierarki Ilmu, Â Klasifikasi dan Deskripsi Ilmu Kebahasaan dan Logika, serta Klasifikasi dan Deskripsi Ilmu-ilmu Filosofis.
Kata Kunci: Hierarki Ilmu, Filosofis Al-Farabi
PENDAHULUAN
      Salah satu tema yang terus menerus muncul dalam keilmuan islam tradisioanal adalah klasifikasi dan deskripsi ilmu-ilmu (al-ulum). Sebagian dari klasifkasi itu berpengaruh besar dan asli. Sebagian lainnya hanyalah pengulangan dari klasifikasi-klasifikasi sebelumnya dan dikemudian dilupakan begitu saja. Penyusun klasifikasi-klasifikasi ini adalah para sarjana yang mempunyai keyakinan filosofis dan religius yang berbeda-beda, mewakili hampir seluruh jangkauan tradisi intelektual islam. Filosof-ilmuwan.teolog-fuqaha dan Sufi,Sunni dan Syi'ah, semua terwakili dalam upaya klasifikasi ilmu ini. Motif utama di balik semua usaha intelektual ini tampaknya berkaitan dengan niat untuk melestarikan hierarki ilmu dan penentuan ruang lingkup dan posisi setiap ilmu dan skema total pengetahuan.
      Klasifikasi yang di tulis oleh Al-Farabi, pemikir tersebut adalah pendiri atau wakil terkemuka aliran (mazhab) intelektual utama dalam islam. Gagasan filosofis yang mendominasi pemikiran mereka merupakan perspektif intelektual tertentu yang dimiliki dan dianut oleh oleh banyak pemikir. Al-Farabi umumnya dianggap sebagai pendiri dan salah seorang wakil paling terkemuka aliran utama filsafat islam, yaitu aliran asy syafi'i (Peripatetik) filososf-ilmuwan. Al-Farabi mewakili periode penting saat kegiatan intensif dalam studi ilmu-ilmu filosofis diawali, termasuk matematika dan ilmu-ilmu kealaman.Dia memainkan peran penting dalam meredakan sebagian ketegangan- ketegangan ini.
      Al-Farabi lahir di desa Wasij, dekat atau dalam negeri Farab, di selatan samarkand, Asia tengah, menurut suatu informasi, ia pada masanya telah hijrah bersama orang tuanya ke Bagdad, tapi menurut informasi lain, ia telah bekerja sebagai hakim dan kemudian baru berada di Bagdad pada usia 50 tahun atau pada usia 40 tahun.
Biografi singkat Al-Farabi
      Nama aslinya Abu Nasr Muhammad Bin Muhammad Bin Lharkhan ibn Uzalagh Al Farabi, lahir dikota wesij tahun 259/872, selisih satu tahun setelah wafatya filosog muslim pertama yaitu al-Kindi. Ayahnya dari Iran menikah dengan wanita Turki kemudian ia menjadi perwira Turki. Atas dasar itulah al-Farabi dinasabkan sebagai orang Turki. Karir pemikiran filsafatnya dalam menjembatani pemikiran Yunani dan Islam terutama dalam ilmu logika (manthiq) dan filsafat sangant gemilang, sehingga gelar sebagai guru kedua layak disematkan.
Psikologi Al-Farabi dalam Hubungannya dengan Hierrki Ilmu
1. Gagasan Kesatuan dan Hierarki Ilmu
         Gagasan ide paling mendasar berkaitan dengan epistemologi tradisional Al-Farabi adalah gagasan kesatuan dan hierarki ilmu. Hubungannya mendalam antara gagasan ini epistemologi tradisional dapat diungkapkan dalam dua pengertian. Pertama, gagasan itu adalah hasil berakar pada wahyu Islam dari ajaran-ajaran Al-Quran dan Hadits.
         Penyelidikan tradisional terhadap epistemologi. Kedua, gagasan tersebut merupakan basis bagi penyelidikan itu. Pengertian pertama benar, karena gagasan ini dihasilkan  dari penerapan doktrin tauhid (Kesatuan Prinsip Ilahi) pada seluruh wilayah kecerdasan (inteligensi) manusia dan aktivitasnya dalam berpikir serta mengetahui. Dengan oerkataan lain, kita berhadapan dengan hierarki panca indra dan kekuatan-kekuatan untuk mengetahui dalam diri subjek yang diketahui manusia dan dalam dunia wujud yang diketahui ataupun yang dapat diketahui.Â
        Gagasan hierrki ilmu menurut Al-Farabi, berakar pada sifat hal-hal atau benda-benda,karena ilmu merupakan satu kesatuan. Gagasan keasatuan dan hierarki ilmu juga dapat dianggap sebagai dasar bagi epistemologi tradisional. Ini berlaku dalam suatu masyarakat yang masih terkait erat dengan wahyu, seperti masyarakt saat al-Farabi hidup dan berpikir. Pada masa itu gagasan hierarki realitas masih hidup dan subur. Berkat  sistem pengajaran wahyu Allah yang tepat, gagasan tersebut diterima sebagai suatu kebenaran filosofis aksiomatik ini merupakan bukti bahwa gagasan hierarki.
 2. Dasar-dasar Hierarki Ilmu
         Bicara mengenai hierarki ilmu sama saja dengan bicara tentang alasan mengapa satu ilmu diberi peringkat lebih tinggi atau lebih diutamakan daripada ilmu-ilmu lainnya. Al-Farabi meneyitir tiga kriteria yang menyusun hierarki ilmu.
a. Kemuliaan materi subjek (syaraf al-maudhu'), berasal dari prinsip fundamental ontologi, yaitu bahwa dunia wujud tersusun secara hierarkis. Karena itu, dapat kita katakan kriteria pertama berfungsi untuk menetapkan dasar ontologis hierarki ilmu.
b. Kedalaman bukti-bukti (istiqsha' al-barahin), Didasarkan atas pandangan tentang sistematika pernyataan kebenaran dalam berbagai ilmu yang ditandai oleh perbedaan derajat kejelasan dan keyakinan.
c. Besarnya manfaat ('izham al-jadwa), dari ilmu yang bersangkutan, didasarkan pada fakta bahwa kebutuhan praktis dan spiritual yang berkaitan dengan aspek kehendak jiwa juga tersusun secara hierarkis.
3. Hierarki Daya-daya Jiwa Manusia Â
        Bahasan psikologi Al-Farabi terutama dalam Risalat fi'l-'aq, yang sepenuhnya dicurahkan pada pembahasan tentang intelek, Al-Farabi menjelaskan tentang berbagai tahap yang kemungkinan dialami oleh perkembangan intelek manusia dalam proses aktualisasi potensi-potensi tersembunyi.  Â
        Urutan perkembangan kemampuan pengindraan jiwa manusia dengan demikian terdiri dari lima tahap yaitu: pertumbuhan, mengindra, bernafsu,mengkhayal dan berpikir. Kelima-limanya membentuk hierarki, setiap tahap pengindraan hadir demi tahap diatasnya. Anggota tertinggi hierarki ini adalah daya berpikir, karena ia mengatur atau memerintahkan yang lain.Â
a. Daya Mengindra Kemampuan mengindra adalah daya mengetahui yang terendah karena hadir demi dua kemampuan lainnya yaitu mengkhayal dan berpikir. Alfarabi seperti banyak filososf muslim lainnya percaya bahwa daya mengindra mendahului daya mengkhayal dalam proses perkembangan manusia.
b. Daya Mengkhayal  Dalam teorinya tentang daya mengkhayal Al-Farabi menyingung apa yang disebutnya sebagai lima indra internal, meliputi:4 (1) daya representasi atau penggambaran (2) daya estimasi  atau duga (3) daya memori atau ingat (4) daya imajinasi kompositif manusia (5) daya imajinasi kompositif binatang. c. Daya Berpikir   Â
c. Kemampuan berpikir adalah kekuatan yang dimanfaatkan manusia untuk memahami. Kemampuan berpikir sebagian bersifat praktis sebagian lagi bersifat teoretis. Kemampuan berpikir praktis adalah sesuatu yang dimanfaatkan untuk membedakan sedemikian rupa satu sama lain sehingga kita dapat menciptakannya atau mengubahnya  dari satu kondisi ke kondisi lainnya. Sedangkan daya berpikir teoretis berfungsi menerima bentukbentuk objek intelektual. Dia menyebut objek-objek intelektual pengetahuan yang dipahami.
Basis Metodologis IlmuÂ
1. Wahyu. Intelek, dan Akal Â
        Salah satu pilar dasar keimanan Islam adalah percaya pada wahyu ilahi. Manusia penerima wahyu dikenal sebagai nabi atau utusan/rasul Tuhan. kaum muslim percaya bahwa para nabi dan rasul adalh makhluk Tuhan yang terbaik dan termulia. Al-Farabi juga menerima sepenuhnya ajaran agama ini.  Penjelasan filosofis Al-Farabi tentang wahyu merujuk pada peran serta tiga jenis intelek.  Pertama adalah intelek aktif, entitas kosmik yang bertindak sebagai perentara transenden antara Tuhan dan manusia. Kedua dalah intelek perolehan yang diperoleh Nabi hanya jika jiwannya bersatu dengan intelek aktif. Ketiga adalah intelek pasif, merujuk pada intelek penerimaan aktual nabi secara umum.  Â
         Al-Farabi menegaskan bahwa wahyu hanya dapat ditangkap jika intelek perolehan telah tercapai. Penjelasan tersebut tidak bertentangan dengan pernyataan sebelumnya tentang pikiran nabi yang tidak membutuhkan instruksi luar Pentingnya pandangan Al-Farabi mengenai peran akal dalam hubungannya dengan intelek (dilukiskan oleh Schuon sebagai fungsi turunan atau fungsi berkomunikasi akal), menjadi jelas ketika peranan tersebut mengarahkan kebenaran sebuah wacana suprarasional menjadi salah satu kriteria utama nilai kebenaran seorang filosof. Filosof yang sempurna  adalah filosof yang bukan hanya memiliki kebenaran-kebenaran atau kebijaksanaan tertinggi tetapi juga kemampuan untuk melakukan percakapan rasional berkenaan dengan kebenarankebenaran ini demi kepentingan orang lain.
         Pandangan Al-Farabi tentang sifat hubungan antara wahyu,intelek dam akal dapat diikhtisarkan sebagai berikut: Akal tidak bertentangan dengan intelek atau wahyu jika digunakan secara benar. Akal, sesungguhnya, harus melayani intelek maupun wahyu. Al-Farabi adalah contoh pemikir muslim yang menekankan aspek positif  akal sebagai anak tangga yang membimbing seseorang menuju kebenar-kebenaran wahyu.
2. Agama, Filsafat dan Ilmu Â
         Dalam Tahshal al-sa'adah Al-Farabi dengan jelas menyatakan pandangan tentang sifat agama dan filsafat serta hubungan antara keduannya: Ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini di sebut filsafat. Tetapi jika gagasan-gagasan- itu diketahui dengan membayangkannya lewat kemiripan-kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran terhadap apa yang dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka orang-orang terdahulu menyebut sesuatu yang membentuk pengetahuanpengetahuan ini agama.  Jika pengetahuan-pengetahuan itu sendiri diadopsi, dan metode-metode persuasif digunakan, maka agama yang memuat mereka disebut filsafat populer, yang diterima secara umum, dan bersifat eksternal.
3. Teori Pengetahuan Al-Farabi Â
         Persoalan derajat kedalaman bukti merupakan tema besar dalam filsafat ilmu Al-Farabi, dia mempertahankan pendapat bahwa sebagian ilmu lebih utama daripada ilmu lainnya karena untuk sampai pada klaim-klaim kebenaran sekaligus membuktikannya digunakan metode-metode yang lebih sempurna. Konsepsi Al-Farabi tentang metode pembuktian dijumpai dalam teori logisnya yang terutama sekali berkaitan dengan silogisme.  Dalam beberapa risalah Al-Farabi istilah "silogisme" digunakan untuk pengertian lebih umum yang memasukkan argumen-argumen retoris dan puitik. Tujuan utama argumen-argumen retoris adalah untuk meyakinkan pendengar agar mempercayai apa pun dengan membuat jiwanya merasa puas dan sependapat dengan argumen-argumen itu, kendati tanpa mencapai keyakinan. Tentang argumen puitik hanya mencoba meniru objek melalui ucapan dan menghasilkan imajinasi dalam jiwa manusia sedemikian rupa sehingga mereka menginginkan atau menghindari suatu objek tertentuÂ
Basis Ontologis dan Etis Hierarki IlmuÂ
1. Basis ontologis Â
        Gagasan hierarki wujud yang diistilahkan Al-Farabi sebagai muratib al-maujudat, memperoleh rumusan penjelasan yang kaya dalam tulisan banyak pemikir besar sepanjang masa. Sebagaimana dinyatakan oleh Arthur O.Lovejoy, gagasan ini adalah "salah satu dari setengah lusin  praanggapan yang paling kuat dan paling bertahan dalam pemikiran Barat". Al-Farabi membahas doktrin hierarki wujud terutama dalam dua karya besarnya, yaitu al-Siyasat al-madaniyah dan al-Madinat al fadhilah. Istilah yang digunakan untuk wujud (maujudat) dan wujud-wujud itu mempunyai keutamaan yang bervariasi. Dalam salah satu skemanya, hierarki dengan urutan derajat kesempurnaan yang menurun di kemukakan sebagai berikut: a) Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya b) Para malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali imaterial c) Benda-benda langit atau benda-benda angkasa d) Benda-benda bumi.
Atas dasar tiga skema klasifikasi wujud yang berkaitan erat ini basis ontologis hierarki ilmu Al-Farabi dapat disusun sebagai berikut:
a) Materi Subjek Metafisika Ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika karena materi subjeknya berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi dalam hierarki wujud. Dalam terminologi religius, wujud non fisik mengacu pada Tuhan dan Malaikat.
b) Materi Subjek IlmuÂ
Kealaman Posisi terendah dalam ilmu-ilmu filososfis ditempati ilmu alam karena materin subjeknya terdiri dari benda-benda bumi, yang menduduki derajat terendah dalam hierarki wujud. Al-Farabi membagi benda-benda alami, benda-benda bumi, kedalam tingkat-tingkat berikut: (1) binatang rasional, (2) binatang tak rasional, (3) tumbuhan, (4) mineral, dan (5) gabungan keempat unsur. Dari materi ini muncul benda-benda alami, yanitu empat unsur: Api, Udara, Air dan Tanah.Â
c) Materi Subjek MatematikaÂ
Ilmu-ilmu matematis dan ilmu politik agaknya menduduki sejenis posisi antara yang berada di tengah metafisika dan ilmu alam. Umtuk memahami alasannya, perlu diidentifikasi materi subjek masing-masing ilmu ini dan ditunjukkan bahwa materi subjek itu berupa wujud-wujud yang secara ontologis berada diantara wujud-wujud yang dikaji oleh metafisika dan benda-benda alami yang dikaji oleh ilmu alam. Â Â
 Menurut Al-Farabi, materi subjek matematika berupa bilangan dan besaran. Besaran menurut Al-Farabi adalah garis, bidang,dan bentuk-betuk padatan, yang dikatakanya sebagai kuantitas-kuatitas kontinu. Bilangan adalah kuantitas diskrit. Bilangan dan Besaran bisa hadir sebagai kuantitas abstrak atau konkret. Sebagai kuantitas konkret, ia ada dalam objek-objek material dalam bentuk --bentuk seperti berat, bentuk,warna, dan gerak. Sebagai kuantitas abstrak, yakni, sebagai bilangan dan besaran murni, mereka ada dalam pikiran manusia sebagai pengetahuan-pengetahuan yang telah dilepaskan dari atribut-atribut aksidental (tak terduga) dan ikatan-ikatan materialnya.
d) Materi Subjek Ilmu Politik  Â
Menurut Al-Farabi, ilmu politik menyelidiki berbagai jenis tindakan dan cara hidup; kecenderungan manusia, moral, dan keadaan karakter yang menuntun tindakan dan cara hidup ini; tujuan yang mengarah pada tindakan dan cara hidup itu dilakukan, dan bagaimana seharusnya keberadaan mereka pada manusia. Ilmu politik Al-Farabi rupanya merupakan suatu disiplin yang sangat komperhensif. Pendeknya, ilmu ini berhubungan dengan ruang lingkup yang sangat luas mencakup manusia dan masyarakat manusia.
2. Basis Etis  Â
         Mengurutkan ilmu secara hierarkis atas dasar etis berarti menyusun peringkat menurut derajat kegunaan atau derajat manfaatnya. Tetapi kegunaan mempunyai makna hanya dalam hubungannya dengan beberapa tujuan final. Bagi Al-Farabi dalam hal ini dia tidak melihat perbedaan antara  Plato dan Aristoteles tujuan puncak keberadaan manusia adalah mencapai kebahagian tertinggi.  Al-Farabi menyamakan kebahagian tertinggi dengan kebaikan mutlak yaitu: yang dipilih dan didambakan demi dirinya sendiri, dan dipilih bukan demi sesuatu yang lain. Semua yang lain dipilih demi manfaat dalam mencapai kebahagiaan. Jika manuasia ingin mencapai kebahagiaan tertinggi, maka diisyaratkan agar setiap bagian jiwanya berada dalam keadaan sehat sempurna. Dengan perkataan lain, manusia diharapkan senantiasa menjalankan setiap kebajikan dan selalu bersih dari kejahatan. Teori Al-Farabi tentang Kebajikan sebagai berikut:Â
a) Klasifikasi Kebajikan Al-Farabi membagi kebajikan menjadi dua kategori mendasar yaitu: Rasional dan Etis. Kebajikan Rasional terbagi tiga jenis yakni, teoritis, pertimbangan, dan artistik. Â
b) Kebajikan dan Pengetahuan yang Berkesesuaian Erat kaitannya dengan kesesuaian antara bagian-bagian mendasar jiwa manusia dan kebajikan-kebajikan utama adalah kesesuaian antara kebajikan rasional dan ilmu. Kebajikan daya rasional terbagi dua yaitu: intelek teoretis dan intelek praktis. Sedangkan kebajikan pengetahuan yang sesuai yaitu: pengetahuan teoretis dan kebijaksanaan praktis.Â
c) Hierarki Kebajikan Menurut Al-Farabi, kebajikan-kebajikan yang paling utama adalah kebajikan-kebajikan teoritis. Kebajikan-kebajikan teoritis diklasifikasikannya menjadi tiga macam: (1) keutamaan intelek teoritis, (2) pengetahuan, dan (3) kebijaksanaan. Selanjutnya kebajikan pertimbangan Al-Farabi terdiri dari: (1) keutamaan intelek praktis, dan (2) kebijaksanaan praktis.
Klasifikasi dan Deskripsi Ilmu Kebahasaan dan LogikaÂ
1. Klasifikasi dan Perincian Ilmu  Â
Dalam Ihsha al-ulum Al-Farabi mengemukakan klasifikasi dan Perincian berikut ini: Â a) Ilmu Bahasa b) Logika c) Ilmu-ilmu matematis atau propaedetik d) Fisika atau ilmu kealaman e) Metafisika f) Ilmu politik
2. Karakteristik Klasifikasi Al-Farabi  Â
         Menurut Al-Farabi, dia telah menyusun klasifikasi di atas dengan sub-subbagian terincinya dan dengan beberapa sasaran masing-masing. Pertama, klasifikasi itu dimaksudkan sebagai petunjuk umum ke arah berbagai ilmu, sedemikian rupa hingga para pengkaji hanya memilih mempelajari subjek-subjek yang benar-benar membawa manfaat bagi dirinya. Kedua, klasifikasi tersebut memungkinkan seseorang belajar tentang hierarki ilmu. Ketiga, berbagai bagian dan subbagiannya memberikan sarana yang bermanfaat dalam menentukan sejauh mana spesialisasi dapat ditentukan secara sah. Keempat, klasifikasi itu menginformasikan kepada para pengkaji tentang apa yang seharusnya dipelajari sebelum seseorang dapat mengklaim diri ahli dalam suatu ilmu tertentu.
3. Pembagian Ilmu Kebahasaan dan LogikaÂ
a) Ilmu Bahasa b) Ilmu Logika
Klasifikasi dan Deskripsi Ilmu-ilmu FilosofisÂ
1. Ilmu-ilmu Matematis  Â
       Menurut Al-farabi wilayah matematika meluas hingga ke luar ruang lingkup Quadrivium Latin ( aritmetika, geometri, astronomi, dan musik) dan meliputi pula optika, ilmu tentang barat, dan ilmu tentang "alatalat mekanik",11 yang didalam ilmu modern merupakan bagian dari fisika. Ketujuh bagian tersebut menyususn keseluruhan dunia bilangan dan bentuk, termasuk sifat-sifat atau atribut-atribut mereka, inheren dalam berbagai kelas wujud.
2. Ilmu Alam Â
       Al-Farabi memperkenalkan pembagian ilmu alamnya dengan suatu definisi tentang disiplin itu, ilmu alam adalah ilmu yang "menyelidiki bendabenda alami dan aksiden-akseden yang inheren di dalamnya" dan berkenaan dengan sebab-sebab mereka dalam kerangkap empat sebab Aristotelian. Untuk menggambarkan secara efektif materi subjek ilmu ini. Â
       Al-Farabi membagi ilmu alam menjadi delapan bagian. Seperti halnya logika, setiap bagian dari ilmu alam bersesuaian dengan satu buku Aristoteles atau beberapa bagian darinya. Bagian pertama dari ilmu alam, yang dikatakan Al-Farabi mengkaji "apa yang dimiliki secara bersama oleh setiap benda alami, sederhana maupun kompisit, dalam hal prinsip-prinsip dan aksiden-aksiden yang mengikuti langsung prinsip-prinsip tersebut. Bagian kedua ilmu alam berhubungan dengan benda-benda sederhana yaitu,  mengkaji eksistensi berbagai jenis benda sederhana dan sifat umumnya, mengkaji benda-benda sederhana sejauh mereka merupakan unsur-unsur dari benda tersusun, dan menguji sifat-sifat umum benda sederhana yang membentuk bagian-bagian dari benda tersusun. Bagian Ketiga dari ilmu alam secara umum berhubungan dengan penciptaan dan penghancuran bendabenda alami dari materi penyusun. Bagian Keempat ilmu alam berhubungan dengan prinsip-prinsip reaksi yang dipakai oleh keempat unsur itu dalam rangka membentuk senyawa,senyawa, tidak jadi soal dari benda-benda apa ia tersusun. Bagian Kelima dari ilmu alam berkaitan dengan berbagai jenis benda yang tersusun dari keempat unsur itu. Bagian Keenam ilmu alam mempelajari benda homogen yang bukan merupakan bagian dari benda heterogen. Bagian Ketujuh berhubungan dengan seluruh spesies tumbuhan. Bagian Kedelapan ilmu alam berhubungan dengan berbagai spesies bintang yang berbeda, sifat-sifat umumnya dan juga sifat-sifat yang khas dari masingmasing spesies.
3. Metafisika Â
        Al-Farabi membagi metafisika menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah ontologi, yakni ilmu yang berhubungan dengan "wujud" dan sifat-sifatnya, sepanjang berupa wujud-wujud. Bagian kedua dari metafisika mengklasifikasikan berbagai jenis wujud dengan maksud untuk menetapkan materi subjek ilmu-ilmu teoritis. Dan bagian ketiga dari metafisiska berhubungan dengan wujud-wujud yang bukan merupakan benda tidak dan tidak berada dalam benda.Â
4. Ilmu Politik   Â
       Tema sentral ilmu Politik Al-Farabi, sebagaimana kita lihat, adalah kebahagian. Tema ini menentukan sifat, ruang lingkup, fungsi dan tujuan dari ilmu politiknya. Al-Farabi membagi ilmu ini menjadi dua bagian. Bagian yang pertama berhubungan dengan berbagai jenis tindakan manusia dan jalan hidupnya dengan maksud untuk memahami tujuan dan karakter moral manusia. Bagian yang kedua ilmu politik Al-farabi meliputi cara menata keadaan-keadaan karakter dan cara-cara hidup yang luhur di kota-kota dan dalam bangsa-bangsa serta mengenalkan fungsi-fungsi kerajaan yang digunakan untuk menata dan menegakkan cara-cara hidup serta tindakantindakan luhur dikalangan warga kota, dan warga negara, dan memelihara aktivitas-aktivitas yang menata dan membangun di tengah-tengah mereka.Â
5. Yurisprudensi dan Teologi Dialektis  Â
       Pandangan Al-Farabi tentang yurisprudensi menurutnya, yurisprudensi adalah seni yang memungkinkan manusia menyimpulkan aturan atau ketetapan dari apa yang tidak secara eksplisit ditentukan oleh pemberian hukum berdasarkan hal-hal yang secara eksplisit ditentukan dan ditetapkan olehNya.
Penutup
       Penjelasan Klasifikasi diatas, pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan mengenai Tuhan. demi pengetahuan tentang Tuhanlah setiap bentuk pengetahuan lainnya dicari. Selanjutnya pengetahuan tentang segala sesuatu selain Tuhan harus dikaitkan secara konseptual atau organik dengan pengetahuan tentang Tuhan. gagasan ini, bersama-sama dengan pandangan bahwa setiap pengetahuan itu berpangkal pada sumber yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Osman, Bakar. 1992. Hierarki Ilmu  Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu  Menurut Al-Farabi Al-Ghazali Quthb Al-Din Al-Syirazi. Malaysia : Mizan.
M. Wiyono. Pemikiran Filsafat Al-Farabi, Â Subtansia, Volume 18 Nomor 1, Â April 2016.
Andri Ardiansyah, Pemikiran Filsafat Al- Farabi dan Ibn Sina, Jurnal  Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan, Vol 4 No. 2 Oktober 2020.
Ranu Suntoro, Konsep Akal Bertingkat  Al-Farabi Dalam Perspektif  Neurosains dan Relevansinya dengan Pembelajaran Sains di Madrasah,  Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, Vol. 6, No.2, September 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H