3. Hierarki Daya-daya Jiwa Manusia Â
        Bahasan psikologi Al-Farabi terutama dalam Risalat fi'l-'aq, yang sepenuhnya dicurahkan pada pembahasan tentang intelek, Al-Farabi menjelaskan tentang berbagai tahap yang kemungkinan dialami oleh perkembangan intelek manusia dalam proses aktualisasi potensi-potensi tersembunyi.  Â
        Urutan perkembangan kemampuan pengindraan jiwa manusia dengan demikian terdiri dari lima tahap yaitu: pertumbuhan, mengindra, bernafsu,mengkhayal dan berpikir. Kelima-limanya membentuk hierarki, setiap tahap pengindraan hadir demi tahap diatasnya. Anggota tertinggi hierarki ini adalah daya berpikir, karena ia mengatur atau memerintahkan yang lain.Â
a. Daya Mengindra Kemampuan mengindra adalah daya mengetahui yang terendah karena hadir demi dua kemampuan lainnya yaitu mengkhayal dan berpikir. Alfarabi seperti banyak filososf muslim lainnya percaya bahwa daya mengindra mendahului daya mengkhayal dalam proses perkembangan manusia.
b. Daya Mengkhayal  Dalam teorinya tentang daya mengkhayal Al-Farabi menyingung apa yang disebutnya sebagai lima indra internal, meliputi:4 (1) daya representasi atau penggambaran (2) daya estimasi  atau duga (3) daya memori atau ingat (4) daya imajinasi kompositif manusia (5) daya imajinasi kompositif binatang. c. Daya Berpikir   Â
c. Kemampuan berpikir adalah kekuatan yang dimanfaatkan manusia untuk memahami. Kemampuan berpikir sebagian bersifat praktis sebagian lagi bersifat teoretis. Kemampuan berpikir praktis adalah sesuatu yang dimanfaatkan untuk membedakan sedemikian rupa satu sama lain sehingga kita dapat menciptakannya atau mengubahnya  dari satu kondisi ke kondisi lainnya. Sedangkan daya berpikir teoretis berfungsi menerima bentukbentuk objek intelektual. Dia menyebut objek-objek intelektual pengetahuan yang dipahami.
Basis Metodologis IlmuÂ
1. Wahyu. Intelek, dan Akal Â
        Salah satu pilar dasar keimanan Islam adalah percaya pada wahyu ilahi. Manusia penerima wahyu dikenal sebagai nabi atau utusan/rasul Tuhan. kaum muslim percaya bahwa para nabi dan rasul adalh makhluk Tuhan yang terbaik dan termulia. Al-Farabi juga menerima sepenuhnya ajaran agama ini.  Penjelasan filosofis Al-Farabi tentang wahyu merujuk pada peran serta tiga jenis intelek.  Pertama adalah intelek aktif, entitas kosmik yang bertindak sebagai perentara transenden antara Tuhan dan manusia. Kedua dalah intelek perolehan yang diperoleh Nabi hanya jika jiwannya bersatu dengan intelek aktif. Ketiga adalah intelek pasif, merujuk pada intelek penerimaan aktual nabi secara umum.  Â
         Al-Farabi menegaskan bahwa wahyu hanya dapat ditangkap jika intelek perolehan telah tercapai. Penjelasan tersebut tidak bertentangan dengan pernyataan sebelumnya tentang pikiran nabi yang tidak membutuhkan instruksi luar Pentingnya pandangan Al-Farabi mengenai peran akal dalam hubungannya dengan intelek (dilukiskan oleh Schuon sebagai fungsi turunan atau fungsi berkomunikasi akal), menjadi jelas ketika peranan tersebut mengarahkan kebenaran sebuah wacana suprarasional menjadi salah satu kriteria utama nilai kebenaran seorang filosof. Filosof yang sempurna  adalah filosof yang bukan hanya memiliki kebenaran-kebenaran atau kebijaksanaan tertinggi tetapi juga kemampuan untuk melakukan percakapan rasional berkenaan dengan kebenarankebenaran ini demi kepentingan orang lain.
         Pandangan Al-Farabi tentang sifat hubungan antara wahyu,intelek dam akal dapat diikhtisarkan sebagai berikut: Akal tidak bertentangan dengan intelek atau wahyu jika digunakan secara benar. Akal, sesungguhnya, harus melayani intelek maupun wahyu. Al-Farabi adalah contoh pemikir muslim yang menekankan aspek positif  akal sebagai anak tangga yang membimbing seseorang menuju kebenar-kebenaran wahyu.
2. Agama, Filsafat dan Ilmu Â