" Kalau tidak patuh sama emak kamu boleh minggat!"
Mak Juminah menyesali kata-katanya yang terlanjur terucap. Ingin rasanya dia meralat ucapannya, tapi tak berdaya. Suasana rumah kian muram. Selanjutnya, tak sepatah kata pun keluar dari mulutya. Â Malam turut mengekalkan kekesalannya.
***
Subuh masih pias. Â Kemarau masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir dalam waktu dekat. Mak Juminah mendadak geger begitu menyadari bahwa ternyata anaknya raib sejak semalam. Teriakannya mengundang perhatian para tetangga, sehingga mereka berdatangan.
Mak Juminah panik. "Bagaimana kalau dia bunuh diri. Siapa tahu dia nyemplung ke sumur. Tolong lihat sumur-sumur warga!"
"Mak, sekarang sudah tidak ada sumur yang bisa dicemplungi. Â Semua sudah pakai sumur bor, pakai sanyo. Tinggal cetrek!" Marsani, sepupunya dengan ketus menimpali.
"Atau siapa tahu ada yang menculik."
"Tidak bakalan Mak. Siapa yang mau menculik anak gituan. Dijual juga tidak laku. Paling-paling digondol kelong wewe!"
"Semabarangan ngomong! Kamu gak ngerti bagaimana perasaan ibu yang melahirkannya ini!" Mak Juminah mewek. "Duh, Piyu... Piyu, anakku. Jangan tinggalkan emak Nak. Maksud emak menjodohkan kamu, supaya kamu ada yang mengurusi kalau emak tutup usia."
"Itu sih. Sudah tahu anak begitu, mau dikawinkan! Kalau nanti keturunannya kayak begitu lagi, siapa yang tanggung? Kawinkan saja tuh dengan pohon pisang!"
"Cukup Marsani, cukup!"