Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Belajar untuk menjadi bagian dari penyebar kebaikan

BEKAS ORANG GANTENG, Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Sang Penenun

28 Juli 2018   23:11 Diperbarui: 28 Juli 2018   23:40 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salma ingin melupakan segala hal yang berkaitan dengan Hamid, lelaki yang telah mengingkari janjinya. Dia ingin meraih kebahagiaan-kebahagiaan kecil demi kelangsungan hidupnya ke depan. Dia sadar betul bahwa hidupnya harus terus berlangsung dan tak ada artinya meratapi penderitaan. Kali ini dia ingin ke luar rumah, salah satu pilihan adalah pergi ke pasar Sila, sebuah pasar kecamatan yang ramai setiap hari. Di sana ada beberapa rekannya yang berjualan. Namun tujuannya bukan untuk menemui mereka. Dia hanya ingin sekadar berjalan-jalan hitung-hitung berekreasi, sekalian membeli pangahabunga kesukaan ibunya. Belakangan dia baru ingat bahwa dia harus membeli benang merah untuk menyelesaikan tenunan tembe nggoli. Setelah mengaspal di jalan lintas provinsi benhur yang ditumpanginya berhenti di depan pasar. Keadaan pasar begitu ramai.  Maklumlah, ini tanggal merah.  

"Salma!" Seseorang memanggilnya dari belakang. Laki-laki.

Salma spontan menoleh. Ternyata Suradin baru saja tiba dengan hondanya. Seperti halnya Salma, Suradin pun tak menyangka dirinya akan bertemu di keramaian seperti itu.  Dua pasang mata beradu pandang. Kaduanya tak dapat menyembunyikan kegugupan sekaligus rasa rindu, rindu yang masih dikungkungi rasa tak enak hati dan malu-malu. Tentu saja ada cinta yang belum terkatakan di antara keduanya. Salma berusaha bersikap sewajarnya meski tak sepenuhnya berhasil. Baginya, perempuan tak elok berinisiatif memulai membicarakan hal yang menjurus kepada urusan perasaan.

"Kalau boleh, dalam waktu dekat, sebelum kembali berangkat ke Jakarta aku akan ke rumahmu. Orang tuamu ada di rumah, bukan?"

"Oh, Kalau mau ketemu pagi ini, mereka di sawah, nanti sore baru pulang. Ibuku ada di rumah. Untuk apa?"

"Ada yang ingin aku katakan kepada mereka."

"Soal apa?"

"Aku mau minta izin."

"Izin apa?"

"Izin agar aku diperkenankan menjadi pendamping hidup putrinya nanti."

Muka Salma seketika memerah. "Maksudmu?"

"Juga ada yang ingin aku jelaskan kepadamu, tapi tidak di sini. Sudahlah, sampai nanti yah, aku harus segera membeli sesuatu pesanan bapakku. Dia bisa marah jika pesanannya tak segera aku belikan."

"Apa itu?"

"Pupuk urea."

Pertemuan tak terduga itu menyisakan berbagai perasaan pada diri Salma. Ketertarikannya terhadap Suradin kembali menguat, tapi bayang-bayang kegagalan juga membuatnya merasa was-was. Andai Suradin menyatakan kesunguhannya, dia tidak sanggup menolaknya. Memang, pada kepolosan Suradin tak tampak sifat pengkhianat, tapi bukankah pada diri Hamid pun dulu begitu?  Menyadari bahwa Suradin belakangan lebih dari setahun berada di Jakarta Salma merasa minder. Pikirnya, banyak perempuan lain yang lebih menarik karena penampilan dan pendidikan yang memadai. "Apalah artinya aku bagi Suradin. Aku hanya gadis penenun, sedangkan menenun adalah pekerjaan yang telah ditingalkan banyak orang, terlebih para perempuan muda zaman kini." Salma juga berusaha meneguhkan keyakinannya bahwa apa pun yang akan terjadi adalah atas kuasa-Nya. Dia berharap Suradin menjadi jodoh terbaiknya.

Meskipun pada mulanyanya sebagai keisengan tapi lama-lama kesukaannya menenun menjadi kian tak tergantikan. Dia mendapat kepuasan dan tentu saja penghasilan. Tabungannya bertambah sedikit-sedikit. Dia ingin menekuni tenun sampai nanti, kecuali jika kelak suaminya melarangnya.

Tak tak tak! bunyi kayu beradu saat Salma menenun di beranda rumah panggung seolah berpacu bersama denyut nadi dan debaran jantungnya yang teraliri kimia cinta. Suradin menjadi pemantik semangat hidupnya untuk terus bersemangat bekerja. Seorang perempuan penjual minasarua menawarkan dagangannya. Salma menyambutnya antusias. Serasa sudah lama dia tidak menyeruput minuman yang menghangatkan badan itu, juga kadodo yang legit. Karena menikmatinya jarang-jarang, tidak setiap hari dan tidak tentu, sehingga sensasinya lebih terasa. Hangatnya bersinergi dengan rasa kangen.  Ayahnya biasa memanfaatkan minasarua unuk mengusir batuk akibat hawa dingin.

***

Kahadiran Suradin dibahasakan dengan baik oleh kedua orang tua Salma. Suradin menyampaikan niatnya untuk tidak kembali ke Jakarta. Dia ingin mencari nafkah di daerah sendiri, sesuai saran ibunya. Diyakininya hal itu akan berdampak pada hubungannya dengan Salma. Salma senang. Hatinya berdentang-dentang menerima kehadiran Suradin, pemuda yang disukainya sejak lama. Malam itu menjadi malam yang amat berarti baginya.

Ayah Salma menghargai niat baik Suradin untuk menjadi bagian dari keluarga mereka. "Sampaikanlah juga niat baikmu kepada kedua orang tuamu. Mohonlah restu mereka," imbuhnya.

Sesunguhnya ayah Salma mengenal ayah Suradin, tapi dia tidak mengatakannya. Di masa lalu, ketika sama-sama sedesa, keduanya bisa disebut sebagai lawan politik. Mereka pernah saling berselisih dan bersitegang gara-gara perbedaan pilihan calon kepala desa. Ayah Salma tidak tahu, apakah ayah Suradin masih menyimpan dendam atau tidak.

"Baiklah, Pak. Saya akan segera menyampaikannya. Semoga mereka setuju."

Tak ada penolakan kedua orang tua Salma jika Suradin nanti memperistri Salma. Mereka menyerahkan sepenuhnya kepada Salma.

Hati Salma berbunga-bunga. Dia juga kian mencintai pekerjaannya. Kemahirannya menenun terus meningkat. Sejumlah kain tenun songket berhasil diselesaikannya dan terjual dengan harga standar, setara dengan hasil penenun yang berpengalaman.

Salma juga mulai mengerjakan tenun songket yang nantinya akan dibuat pakaian adat setempat. Terbayang dia duduk berdua di pelaminan bersama orang yang dicintainya, Suradin. "Ah, mungkinkah?" desah batinnya penuh harap.

***

Kampung Punti, musim angin selatan. Udara dingin. Sesungguhnya Suradin enggan ke ladang, meskipun diminta ibunya mengantarkan sedikit makanan untuk bapaknya yang sedang menanam kacang kedelai. Walau kurang dari setahun di Jakarta, tidak mudah baginya beradaptasi dengan dunia tani, terlebih kerjanya di Jakarta sebagai petugas keamanan yang minim aktivitas fisik yang menguras tenaga.

"Din, ada yang ingin bapakmu katakan, temui sana!" pinta ibunya.

"Bu, aku juga ingin mengatakan sesuatu pada ibu. Aku ingin melamar Salma."

"Ibu sudah tahu itu."

"Dari mana ibu tahu?"

"Ada seseorang yang mengatakannya."

"Siapa?"

"Itu tidak penting. Tapi sepertinya bapakmu tidak setuju. Itu sebabnya dia memintamu datang ke ladang."

"Tidak. Aku ingin kita membicarkannya di rumah saja. Aku bersedia mengantar makanan, tapi tidak untuk membicarakan hal itu."

"Baiklah. Segeralah kauantar, setelah itu pulang."

Setibanya di ladang, Suradin tak memberikan kesempatan bapaknya untuk bicara lebih banyak. "Kita bicarakan di rumah saja, Pak. Aku terburu-buru, mau mengurus KTP ke kantor desa." Suradin segera tancap gas. Bapaknya kesal.

***

"Tidak bisa, Din! Kami sudah sepakat untuk menjodohkan kamu dengan Rodiah. Dia baru lulus sekolah kebidanan." Ayah Suradin serius. Rodiah adalah saudara misan Suradin dari garis ibunya. Berjodoh dengan saudara yang agak dekat telah menjadi kelaziman di lingkungannya.

"Ibu juga setuju Din. Kau pasti cocok. Tengoklah, dia cantik sekarang. Dulu memang masih anak-anak." Ibunya ikut merayu.

Suradin membatin. Biasanya kehendak ayahnya tak bisa dibantah. Bagi ayahnya itu cara satu-satunya jalan agar tidak berbesan dengan orang yang pernah jadi lawan politiknya. Suradin menahan diri untuk tidak bertemu Salma. Barulah sebulan kemudian Suradin berkunjung menemui Salma. Salma menyambut baik obrolannya tentang masa depan. Suradin menyembunyikan keraguannya. Penyebabnya adalah keberatan ayahnya.

Setelah pertemuan itu Suradin tak juga muncul. Salma merasakannya cukup lama. Ada semacam firasat dalam diri Salma yang mengisyaratkan bahwa kesungguhan Suradin perlu dipertanyakan.  Barulah, terhitung empat bulan kemudian Suradin mengutus seseorang untuk menemuinya dan mengabarkan bahwa rencananya terkendala restu orang tuanya. Katanya, Suradin tidak kuasa menentangnya. Kabar itu sangat memukul perasaan Salma.

"Barangkali dendam politik penyebabnya," ujar ibunya kesal.         

 "Dendam apakah itu? Ayah pernah punya musuh?"

"Bukan musuh, tepatnya lawan politik."

"Ayah pernah bermain politik? Partai apa yang ayah masuki?"

"Bukan partai, cuma soal pilkades."

Salma enggan menelisik.

Ayahnya menukas. "Sekarang bergantung pada pendirian dan kemandirian sikap Suradin. Kita dari pihak perempuan, tidak bisa menuntut apa-apa. Jika kemudian tidak berjodoh bersabarlah, Salma. Lembo ade. Relakan pemuda itu."

Ayah dan ibunya memahami kekecewaan Salma. Menyusul kabar burung bahwa Suradin pergi ke Jakarta membawa serta Rodiah yang telah menjadi istrinya. Putuslah harapan Salma untuk bisa bersanding dengannya.  Salma tak bisa melupakan masalah cintanya dengan begitu saja. Sesak dadanya saat teringat pesona Suradin yang hampir saja dapat dimilikinya. Namun dia juga sadar, apalah arti dirinya yang hanya perempuan penenun, perempuan dengan selera masa lalu dan kampungan.     

***

Tak tak tak! Bunyi kayu alat tenun beradu. Salma 'tancap gas'. Dia harus segera menyelesaikan tenun songket. Dia akan menjualnya jika selesai nanti, kira-kira satu setengah hari lagi. Ponselnya berbunyi. Ada pesan yang masuk. Dia mengabaikannya. Berselang beberapa menit dibukanya. Seseorang mengenalkan diri. Namun Salma tidak percaya. "Paling-paling ujung-ujungnya penipuan  seperti biasa," gumamnya.    

Rencananya, setelah menyelesaikan tenun songket, Salma akan mengerjakan tembe nggoli pesanan seorang pengepul di Rasabou. Katanya beliau itu memerlukan ratusan potong tembe nggoli, tapi agar lebih cepat sehingga pemesanannya dibagi-bagi ke sejumlah penenun lainnya. Pemesanan yang terbilang jumlah besar itu kabarnya untuk keperluan ekspor ke negara tetangga, terutama Malaysia. Salma merasa bangga jika kain tenun hasil pekerjaannya dipakai orang di luar negeri.

"Salma," Ibunya tiba-tiba mendekat, "ada kabar baik untukmu."

"Kabar apa itu, Bu?" Salma menghentikan kegiatannya. Tangannya memegang lira.

"Ibu dan bapakmu akan setuju jika kamu bersedia menerima lamaran seseorang yang dikenalkan Masroh. Sepertinya dia pemuda baik-baik."

Salma heran. "Kapan ibu bertemu Masroh? Dia tidak pernah menghubungiku."

"Sebelum nanti menghubungimu, dia menghubungi ibu dulu untuk meminta persetujuan. Mudah-mudahan kamu cocok. Semula dia menanya apakah kamu bisa datang ke Jawa, ke Semarang. Katanya, pemuda itu sibuk kerja, belum ada waktu jika harus ke sini untuk bertemu kamu. Ayah dan ibu keberatan jika begitu. Kasihan kamu juga, jauh, nanti bisa mabuk di perjalanan."

Salma terdian.

"Katanya dia tertarik sama kamu."

"Mana mungkin Bu, lelaki tidak mau membeli kucing dalam karung. Bertemu juga belum pernah, bagaimana bisa dia tertarik."

"Foto-foto kamu, sudah dilihatnya."

"Hah! Jangan-jangan ..."

 "Ya, ibu yang menyuruh adikmu untuk memoto kamu dan mengirimkannya kepada Masroh."

"Duh, ibuuuuuu! Aku maluuuuu!"

"Katanya, Masroh yakin kamu bakal menyukainya. Pemuda itu ganteng dan baik. Dia punya mobil."

"Ah, ibu jangan matre begitu."

"Bukan, tapi ...."

"Tapi siapa tahu ......" Salma penasaran.

Masroh adalah sepupu ayah Salma yang menetap di Semarang sejak delapan tahun lalu. Begitu lulus kuliah di UNDIP dia menikah dengan seorang dosen perguruan tinggi swasta asal Semarang juga. Ibu Salma percaya, Masroh akan memilihkan calon terbaik bagi Salma. Katanya, Masroh masih harus bernegosiasi  agar pemuda yang dimaksudkannya itu bisa diajaknya berkunjung. Pemuda itu telah menyatakan ketertarikannya atas foto-foto yang diperihatkan kepadanya.

***

Ternyata benar, pemuda itu membuktikan kesunguhannya. Dia datang sendiri. Pagi yang hening di rumah Salma dikejutkan oleh kedatangannya. Dia memperkenalkan diri. Namanya Sulistyo. Dia tampak santun dengan karakter kejawaannya. Dia juga menyampaikan maksud kedatangannya. Ayah dan ibu Salma menyambutnya dengan ramah. Setelah mereka undur diri dari beranda, keduanya berbincang empat mata.  

Dia agak kikuk. "Sekali lagi mohon maaf, kalau kedatangan saya mengganggu ketenangan di rumah ini."

"O, sama sekali tidak. Justru aku bersyukur kau bisa tiba di sini. Harap maklum keadaannya begini, berantakan. Ini pekerjaanku." Salma menunjuk ke alat menenunnya.

"Ya, saya sudah tahu."

"Oh. Pasti sudah mencari tahu yah?"

"Betul. Untuk tujuan baik semoga saja tak ada salahnya."

Percakapan mereka kian cair, seperti telah saling kenal. Salma tidak menduga ternyata pemuda itu kemudian menyerahkan cincin sebagai tanda kesunguhannya.

"Pakailah!"

"Kau yakin?"

"Sejak awal aku sudah yakin. Kita sudah sama-sama dewasa, tak perlu menunda hal yang tak semestinya ditunda."

"Sekali lagi, ini aku terima dengan senang hati."

"Aku minta waktu untuk menentukan hari lamaran dengan orang tuaku, hasilnya akan kukabarkan segera. Insyaallah tidak lebih dari tiga hari. Semoga mendapat kemudahan."

Sepulangnya pemuda itu, dengan hati berbunga-bunga Salma melakukan sujud syukur. Kegembiraan juga tersirat di wajah ayah dan ibunya. Seketika terbersit dalam pikiran Salma untuk segera menenun tembe nggoli sebagai hadiah istimewa untuk Sulistyo saat  resmi menjadi suaminya nanti.[]

 

Keterangan:

pangahabunga: makanan kering terbuat dari tepung beras ketan menyerupai bunga

tembe nggoli  : kain teunan yang biasa digunakan untuk sarung

benhur : delman

minasarua : minumah khas terbuat dari ketan hitam dan rempah-rempah

lembo ade : sabar

lira : stik yang digunakan untuk menenun

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun