Tak ada penolakan kedua orang tua Salma jika Suradin nanti memperistri Salma. Mereka menyerahkan sepenuhnya kepada Salma.
Hati Salma berbunga-bunga. Dia juga kian mencintai pekerjaannya. Kemahirannya menenun terus meningkat. Sejumlah kain tenun songket berhasil diselesaikannya dan terjual dengan harga standar, setara dengan hasil penenun yang berpengalaman.
Salma juga mulai mengerjakan tenun songket yang nantinya akan dibuat pakaian adat setempat. Terbayang dia duduk berdua di pelaminan bersama orang yang dicintainya, Suradin. "Ah, mungkinkah?" desah batinnya penuh harap.
***
Kampung Punti, musim angin selatan. Udara dingin. Sesungguhnya Suradin enggan ke ladang, meskipun diminta ibunya mengantarkan sedikit makanan untuk bapaknya yang sedang menanam kacang kedelai. Walau kurang dari setahun di Jakarta, tidak mudah baginya beradaptasi dengan dunia tani, terlebih kerjanya di Jakarta sebagai petugas keamanan yang minim aktivitas fisik yang menguras tenaga.
"Din, ada yang ingin bapakmu katakan, temui sana!" pinta ibunya.
"Bu, aku juga ingin mengatakan sesuatu pada ibu. Aku ingin melamar Salma."
"Ibu sudah tahu itu."
"Dari mana ibu tahu?"
"Ada seseorang yang mengatakannya."
"Siapa?"