"Itu tidak penting. Tapi sepertinya bapakmu tidak setuju. Itu sebabnya dia memintamu datang ke ladang."
"Tidak. Aku ingin kita membicarkannya di rumah saja. Aku bersedia mengantar makanan, tapi tidak untuk membicarakan hal itu."
"Baiklah. Segeralah kauantar, setelah itu pulang."
Setibanya di ladang, Suradin tak memberikan kesempatan bapaknya untuk bicara lebih banyak. "Kita bicarakan di rumah saja, Pak. Aku terburu-buru, mau mengurus KTP ke kantor desa." Suradin segera tancap gas. Bapaknya kesal.
***
"Tidak bisa, Din! Kami sudah sepakat untuk menjodohkan kamu dengan Rodiah. Dia baru lulus sekolah kebidanan." Ayah Suradin serius. Rodiah adalah saudara misan Suradin dari garis ibunya. Berjodoh dengan saudara yang agak dekat telah menjadi kelaziman di lingkungannya.
"Ibu juga setuju Din. Kau pasti cocok. Tengoklah, dia cantik sekarang. Dulu memang masih anak-anak." Ibunya ikut merayu.
Suradin membatin. Biasanya kehendak ayahnya tak bisa dibantah. Bagi ayahnya itu cara satu-satunya jalan agar tidak berbesan dengan orang yang pernah jadi lawan politiknya. Suradin menahan diri untuk tidak bertemu Salma. Barulah sebulan kemudian Suradin berkunjung menemui Salma. Salma menyambut baik obrolannya tentang masa depan. Suradin menyembunyikan keraguannya. Penyebabnya adalah keberatan ayahnya.
Setelah pertemuan itu Suradin tak juga muncul. Salma merasakannya cukup lama. Ada semacam firasat dalam diri Salma yang mengisyaratkan bahwa kesungguhan Suradin perlu dipertanyakan. Â Barulah, terhitung empat bulan kemudian Suradin mengutus seseorang untuk menemuinya dan mengabarkan bahwa rencananya terkendala restu orang tuanya. Katanya, Suradin tidak kuasa menentangnya. Kabar itu sangat memukul perasaan Salma.
"Barangkali dendam politik penyebabnya," ujar ibunya kesal. Â Â Â Â Â
 "Dendam apakah itu? Ayah pernah punya musuh?"