"Gempaaaaaaa!"
"Larriiiiiiiiii!"
Suasana penambangan heboh. Para penambang panik, dan berhamburan, berdesakan, berlomba keluar terowongan supaya tidak terkubur. Tak peduli ada yang jatuh lalu terinjak-injak. Hanya satu dalam benak mereka, keluar secepatnya.
Nahas bagi Samin dan kelompoknya. Mereka terkurung. Papan dan tiang kayu penyangga atap terowongan runtuh. Batu-batu pun berjatuhan menutupi jalan keluar
"Asu! Gempa sialan," Kusno membanting belencong seolah membuang kekesalan di dalam hati.
"Jangan panik," Samin menenangkan. "Kita tunggu tim penolong."
"Kita harus berusaha. Gus, Aksan, bantu aku menggeser batu-batu itu," Kusno melangkah menuju tumpukan batu, diikuti Agus dan Aksan.
"Jangan!" Tomiran berteriak. Terlambat.
Alih-alih berhasil menyingkirkan reruntuk yang menutup jalan ke luar, mereka malah tertimpa bebatuan yang berjatuhan. Nahas, Agus dan Aksan tidak sempat menghindar, beberapa batu sebesar kepala menimpa mereka. Mereka tidak tertolong. Sementara Kusno mengalami patah tulang. Dadang berlari menarik Kusno.
"Sebaiknya kita pindah. Papan dan kayu penyangga atap di sini sudah rapuh. Tidak akan kuat kalau terjadi gempa lagi." Tomiran menengadah, memeriksa atap terowongan.
Setahun di penambangan, Tomiran paham kondisi keamanan terowongan. Dia sering disuruh Bos untuk mengganti kayu penyangga atap terowongan. Samin sendiri baru sebulan di penambangan. Dua minggu lalu Bos menunjuknya menjadi pemimpin grup.
Semangat kerja dan tenaga yang dimiliki Samin alasan dijadikannya pemimpin. Padahal, sebelumnya Bos sempat ragu menerimanya bekerja.
Wajah samin berbentuk kotak dengan kedua pipi berisi, ditambah hidung yang lebih tepat disebut besar bukan mancung menunjukkannya seorang pendiam namun mudah marah dan berwatak keras. Rambutnya yang cepak membuat orang-orang mengira dia anggota TNI.
Bos khawatir, sifat mudah marah Samin akan mengganggu suasana kerja para penambang. Namun, tubuhnya yang tinggi besar, dengan otot-otot lengan yang kekar lebih dibutuhkan untuk menggali terowongan lebih dalam.
"Kita harus pindah!" Tomiran memecah keheningan.
Mereka berbalik dan menemukan terowongan yang membentuk ruangan yang cukup untuk mereka berlima. Samin menghampiri Kusno yang kondisinya sangat mengkhawatirkan. Kedua kakinya remuk, tangan kirinya fatah, dan kepalanya berdarah.
"Beruntung benar mereka," kata Tole tiba-tiba.
"Siapa maksudmu?" tanya Tomiran seraya melepas helmnya.
"Heri, Amran, dan Tedi!" jawab Tole.
"Ya, mereka memang beruntung." Samin memejamkan mata membayangkan ketiga wajah anak buahnya itu.
Ketiganya sedang membawa serpihan batu ke alat penggilingan di luar terowongan saat gempa terjadi.
Membayangkan rekan-rekannya, pikiran Samin pun melayang jauh. Perjalanan hidupnya, sampai tiba di penambangan ini, tergambar bagai film di benaknya. Samin tersenyum saat mengingat pertama tiba dan menghadap Si Bos untuk diterima bekerja.
Tidak ada prosedur yang rumit, Si Bos hanya bertanya, "Kau tidak takut bekerja di tempat gelap? Kau punya penyakit asma, sesak napas, jantung?"
Gelengan Samin cukup meyakinkannya. Apalagi melihat postur tubuhnya yang tinggi besar dan kekar.
Untuk menemukan emas hanya dibutuhkan keberuntungan dan tenaga yang kuat. Para penambang dalam satu grup berbagi peran. Sebagian bertugas memukul batu dengan belencong hingga sehalus pasir. Sebagian lagi mengumpulkan serpihan batu tersebut dan membawanya ke luar untuk digiling sampai berukuran pasir halus. Lalu merkuri ditumpahkan ke dalam mesin penggiling sebelum disaring.
Butiran emas yang menempel pada merkuri, akan terlihat bercahaya. Pada saat seperti itulah akan terdengar sorakan dari petugas penyaring. Sorakan kebahagiaan saat melihat cahaya dari butiran emas.
"Mas Samin ..., cepat ke sini!" Dadang membuyarkan lamunan Samin. Tomiran dan Tole pun terperanjat. Mereka segera menghampiri Dadang yang duduk di sebelah Kusno.
Samin tertegun. Mata Kusno melotot. Mulutnya terbuka. Seperti ingin berteriak, tetapi yang keluar suara erangan. Tubuhnya beberapa kali kelojotan, seperti tersengat aliran listrik.
Suara erangannya semakin nyaring. Tole sampai menutup kedua telinganya dan memejamkan mata. Rupanya erangan Kusno mengingatkannya pada peristiwa pahit dalam hidupnya.
Lalu tubuh Kusno terkulai lemas dan mendingin. Hidupnya berakhir dengan sangat menyedihkan. Samin mengusapkan tangannya berusaha menutup mata Kusno yang membelalak.
"Mas Tole ..., sudah, Mas." Dadang menggoyang bahu Tole, yang masih menutup kedua kupingnya dan menelungkup di lantai terowongan.
Tole bergeming. Dadang menggoyangnya lebih keras. Tole pun bangkit, wajahnya kotor penuh tanah. Airmatanya yang mengucur membuat tanah terowongan melekat di wajahnya.
"Mas Tole kenapa?"
Tole menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras, lalu dengan lirih berkata, "Aku teringat .... Aku teringat ...."
"Teringat apa, Mas?" Dadang makin penasaran. Tole diam beberapa jenak.
"Kejadian dua puluh tahun lalu. Kejadian yang membuatku masuk penjara." Tole menatap atap terowongan, menerawang. Menembus ruang waktu untuk sampai ke masa peristiwa itu terjadi.
"Ibuku sakit keras. Butuh biaya banyak untuk operasi. Ayahku tidak bekerja, lumpuh karena kecelakaan. Aku, anak tertua, menjadi tumpuan keluargaku.
"Untuk kebutuhan sehari-hari aku menjadi tukang parkir, ngojek, atau buruh angkut, tetapi untuk operasi ibuku yang jutaan, aku panik. Sampai kemudian aku tergoda ajakan Mas Bowo untuk merampok.
"Aku gelap mata saat kepergok pemilik rumah. Pisau yang kupegang kutusukkan ke perutnya. Lalu kusabetkan ke lehernya. Darahnya muncrat. Dan ... dia kemudian mengerang. Suara erangannya ... suara erangannya seperti erangan Kusno tadi." Tole mulai terisak.
"Aku jadi teringat ibuku. Dia sangat bersedih mendengar aku dipenjara. Kesehatannya memburuk. Dia meninggal saat aku baru dua minggu di penjara. Aku ... aku menjadi penyebab ibuku mati." Isak Tole makin keras. "Aku manusia yang penuh dengan dosa. Aku anak yang durhaka."
Semua terkesima. Tidak mengira Tole memiliki kisah yang sangat tragis. Mereka tahu, selepas dari penjara Tole tidak diterima oleh warga kampungnya. Dia dianggap sampah, yang akan mengotori kampung mereka.
"Ibu ... ibu ...." Terdengar lirih suara Tole. Menambah haru suasana terowongan.
"Aku kira hanya aku yang punya cerita menyedihkan, yang selalu menghantui hidupku." Tomiran berkata pelan.
"Memangnya Pak Tomiran punya cerita sedih juga?" tanya Dadang.
"Dua tahun yang lalu aku diajak saudaraku kerja di proyeknya. Saat itu aku nganggur karena di-PHK. Dia memintaku memegang uang proyek.
"Aku tentu senang. Enam bulan menganggur membuat hidupku sengsara karena uang pesanggon habis. Pertolongan saudaraku ini membuat kehidupanku kembali normal, tidak harus pinjam kesana-kemari.
"Proyek saudaraku itu membangun sebuah hotel di Jogja. Proyeknya senilai 2 miliar, dipercayakan setengahnya padaku."
Tomiran menunduk, menahan tangis.
"Aku orang tidak tahu berterimakasih. Tergiur uang yang banyak, aku membawa kabur uangnya.
"Aku tergoda seorang wanita, aku pakai untuk berfoya-foya. Aku tinggalkan keluargaku sehingga mereka terlantar dan terhina. Aku khianati saudaraku. Ooohh ...." Tomiran menutup kisahnya dengan tangisan.
"Lalu, bagaimana bisa sampai di sini?" Samin bertanya pelan. Tomiran mendesah sebelum menjawab. Ada sedikit rona marah di wajahnya.
"Perempuan jalang! Dia kabur membawa uangnya. Aku tidak punya apa-apa lagi. Aku tidak mungkin pulang ke Jogja. Kudengar polisi sedang mencariku. Aku terus mencari perempuan sundal itu. Apes. Pencarianku malah berhenti di sini.
"Dua tahun aku meninggalkan istri dan anak-anakku. Lelaki macam apa aku ini ...." Tangisnya meledak mengiris hati bagi yang mendengarnya. Samin dan Dadang saling tatap. Tole masih menangis, pelan.
"Semoga dengan musibah ini Allah mengampuni dosa-dosa kita," Dadang berkata pelan.
Samin tertunduk mendengarnya. Perkataan Dadang ditujukan kepada Tomiran dan Tole. Namun, seolah untuknya. Dia menyadari, dia tidak lebih bersih dibanding Tomiran dan Tole. Tangannya telah berlumur darah dari orang-orang yang tidak berdosa. Tangisan Samin mulai terdengar.
"Mas Samin ..., apakah Mas juga punya cerita seperti Pak Tomiran dan Tole?"
"Kalau ada sosok manusia yang tidak pantas dicontoh. Mungkin itulah aku, Dang.
"Sejak kecil aku suka berkelahi, suka mencari keributan, suka tawuran, bahkan mencuri.
"Lulus SMA aku tidak kuliah. Duit darimana untuk kuliah? Ayahku hanya petani. Aku jadi penagih utang. Sejak itulah aku berlaku kejam. Kelakuan nakalku sejak kecil membuatku tidak kenal rasa sakit, sedih, atau kehilangan dan itu terbawa saat menagih utang.
"Aku pernah menendang perut seorang ibu, karena menunggak dua bulan. Aku pernah menempeleng bapak penjual nasi goreng, menendang gerobaknya sampai terguling. Aku pernah memukul seorang anak yang menghalagiku saat akan menyita televisi di rumahnya. Aku masih ingat, mulutnya berdarah, giginya copot.
"Setiap hari aku melakukan itu. Sedikit pun tidak merasa kasihan kepada orang-orang yang kutagih. Dalam pikiranku mereka hanya berpura-pura. Aku tak pernah menghiraukan tangisan atau alasan mereka. Pokoknya mereka harus membayar utang.
"Sampai kemudian aku melakukan perbuatan keji. Aku menagih ke sebuah yayasan anak-anak yatim. Kepala Yayasan, seorang ibu berumur, memelas-melas minta penangguhan. Dia beralasan para donator yang biasa membantu belum memberikan bantuannya. Seperti biasa, aku menganggap itu hanya alasan. Aku mendorongnya hingga terjengkang. Kepalanya terbentur meja.
"Lalu aku menyita televisi, kulkas, sepeda, dan barang-barang lainnya. Aku tidak menghiraukan tangisannya. Aku pun mengabaikan tatapan sedih anak-anak yatim."
Samin menjeda ceritanya. Tangisnya menghalanginya melanjutkan kisah.
"Ya Allah .... Aku tidak pantas menerima ampunanmu. Tangan dan kakiku terlalu sering menyiksa orang. Dosaku terlalu banyak."
"Mas ..., sebanyak apa pun dosa. Bahkan sebanyak buih di lautan, Allah pasti mengampuninya. Asal kita benar-benar menyesalinya." Dadang memegang bahu Samin.
Samin menutup muka dengan kedua tangannya, dengan terisak-isak berkata, "Ya Allah ..., kalau aku harus mati di terowongan ini. Aku rela, asal Kau ampuni dosa-dosaku."
Samin mengatakan kalimat itu pelan. Namun, sampai ke telinga Tomiran dan Tole. Tangisan keduanya semakin kencang.
Ruang terowongan dipenuhi tangisan. Air mata ketiganya membasahi tanah. Tanah milik Allah Yang Maha Pengampun. Allah Yang Maha Mendengar.
Tiba-tiba seberkas cahaya menerobos masuk. Cahaya yang semakin lama semakin terang, bersamaan dengan digesernya batu-batu yang menutupi terowongan oleh tim penolong.
Dadang yang pertama melihat. "Mas ... Mas Samin, lihat! Pintu terowongan terbuka."
Ketiganya seketika mendongak. Serentak mereka mengucap, "Alhamdulillah .... Ya Allah."
Mereka masih terisak, juga tersenyum. Tersenyum bukan hanya karena bisa keluar. Namun, karena merasa Allah telah mengampuni mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H