Samin tertunduk mendengarnya. Perkataan Dadang ditujukan kepada Tomiran dan Tole. Namun, seolah untuknya. Dia menyadari, dia tidak lebih bersih dibanding Tomiran dan Tole. Tangannya telah berlumur darah dari orang-orang yang tidak berdosa. Tangisan Samin mulai terdengar.
"Mas Samin ..., apakah Mas juga punya cerita seperti Pak Tomiran dan Tole?"
"Kalau ada sosok manusia yang tidak pantas dicontoh. Mungkin itulah aku, Dang.
"Sejak kecil aku suka berkelahi, suka mencari keributan, suka tawuran, bahkan mencuri.
"Lulus SMA aku tidak kuliah. Duit darimana untuk kuliah? Ayahku hanya petani. Aku jadi penagih utang. Sejak itulah aku berlaku kejam. Kelakuan nakalku sejak kecil membuatku tidak kenal rasa sakit, sedih, atau kehilangan dan itu terbawa saat menagih utang.
"Aku pernah menendang perut seorang ibu, karena menunggak dua bulan. Aku pernah menempeleng bapak penjual nasi goreng, menendang gerobaknya sampai terguling. Aku pernah memukul seorang anak yang menghalagiku saat akan menyita televisi di rumahnya. Aku masih ingat, mulutnya berdarah, giginya copot.
"Setiap hari aku melakukan itu. Sedikit pun tidak merasa kasihan kepada orang-orang yang kutagih. Dalam pikiranku mereka hanya berpura-pura. Aku tak pernah menghiraukan tangisan atau alasan mereka. Pokoknya mereka harus membayar utang.
"Sampai kemudian aku melakukan perbuatan keji. Aku menagih ke sebuah yayasan anak-anak yatim. Kepala Yayasan, seorang ibu berumur, memelas-melas minta penangguhan. Dia beralasan para donator yang biasa membantu belum memberikan bantuannya. Seperti biasa, aku menganggap itu hanya alasan. Aku mendorongnya hingga terjengkang. Kepalanya terbentur meja.
"Lalu aku menyita televisi, kulkas, sepeda, dan barang-barang lainnya. Aku tidak menghiraukan tangisannya. Aku pun mengabaikan tatapan sedih anak-anak yatim."
Samin menjeda ceritanya. Tangisnya menghalanginya melanjutkan kisah.
"Ya Allah .... Aku tidak pantas menerima ampunanmu. Tangan dan kakiku terlalu sering menyiksa orang. Dosaku terlalu banyak."