"Mas Tole kenapa?"
Tole menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras, lalu dengan lirih berkata, "Aku teringat .... Aku teringat ...."
"Teringat apa, Mas?" Dadang makin penasaran. Tole diam beberapa jenak.
"Kejadian dua puluh tahun lalu. Kejadian yang membuatku masuk penjara." Tole menatap atap terowongan, menerawang. Menembus ruang waktu untuk sampai ke masa peristiwa itu terjadi.
"Ibuku sakit keras. Butuh biaya banyak untuk operasi. Ayahku tidak bekerja, lumpuh karena kecelakaan. Aku, anak tertua, menjadi tumpuan keluargaku.
"Untuk kebutuhan sehari-hari aku menjadi tukang parkir, ngojek, atau buruh angkut, tetapi untuk operasi ibuku yang jutaan, aku panik. Sampai kemudian aku tergoda ajakan Mas Bowo untuk merampok.
"Aku gelap mata saat kepergok pemilik rumah. Pisau yang kupegang kutusukkan ke perutnya. Lalu kusabetkan ke lehernya. Darahnya muncrat. Dan ... dia kemudian mengerang. Suara erangannya ... suara erangannya seperti erangan Kusno tadi." Tole mulai terisak.
"Aku jadi teringat ibuku. Dia sangat bersedih mendengar aku dipenjara. Kesehatannya memburuk. Dia meninggal saat aku baru dua minggu di penjara. Aku ... aku menjadi penyebab ibuku mati." Isak Tole makin keras. "Aku manusia yang penuh dengan dosa. Aku anak yang durhaka."
Semua terkesima. Tidak mengira Tole memiliki kisah yang sangat tragis. Mereka tahu, selepas dari penjara Tole tidak diterima oleh warga kampungnya. Dia dianggap sampah, yang akan mengotori kampung mereka.
"Ibu ... ibu ...." Terdengar lirih suara Tole. Menambah haru suasana terowongan.
"Aku kira hanya aku yang punya cerita menyedihkan, yang selalu menghantui hidupku." Tomiran berkata pelan.