Tulisan ini merupakan Panduan materi Seminar Budaya bagi yang akan diselenggarakan pada Bulan Maret 2017. Semoga melalui tulisan ini para pembaca dapat menyumbangkan gagasan,
I. Latar Belakang :
Spirit Undang-undang Desa No 6 Tahun 2014 adalah bagaimana mewujudkan desa yang maju dan mandiri dengan berbasis pada budaya. Satu dari sekian asas dari UU Desa adalah Subsidiaritas. Menterjemahkan asas ini berarti Desa harus mampu menterjemahkan kewenangan lokal berskala desa dan menterjemahkan hak asal usul sebagai bagian utuh dalam menjiwai dinamika pembangunan di desa.
Warisan Budaya sebagai sebuah bagian pilar penting dalam pembangunan desa harus mampu direfleksikan secara kritis agar spirit dari warisan budaya mampu diterjemahkan sebagai bagian utuh dalam pembangunan desa. Kuntowijoyo dalam Anton Baker “Badan Manusia dan Budaya” menegaskan bahwa Budaya adalah sebuah sistim yang koherensi di mana bentuk-bentuk simbolis berkaitan erat dengan konsep epistemologis dari sistim pengetahuan masyarakat.
Sistim ini tidak terlepaskan dari Manusia sebagai bagian inti dalam pembentukan budaya[1]. Ruang refleksi warisan budaya selama ini belum dikemas secara terintegrasi sehingga roh pembangunan desa seolah-olah tanpa dilandasi asas berbasis budaya. Rendahnya ruang refleksi ini pun berpengaruh pada hilang atau punahnya warisan budaya. Untuk itu diperlukan upaya terobosan untuk melakukan refleksi sosial untuk menemukan nilai-nilai peradaban yang telah hilang.
Menyadari hal ini, Pemerintah Desa Birawan dalam tahun anggaran 2017 menempatkan Kegiatan Seminar Budaya sebagai sebuah prioritas dalam pembangunan desa. Hanya dengan kesadaran komunal dan didukung dalam sebuah sistim tata kelola pemerintahan yang baik maka spirit pembangunan bangsa ini di mana Desa sebagai Garda terdepan dapat menterjemahkan kehadiran Negara yang melindungi seluruh khasana kehidupan
II. Ruang Lingkup Pembahasan
Pembicaraan menyangkut Budaya meliputi sekian banyak aspek dan ruang untuk dipaparkan dalam seminar sehari tidak cukup. Untuk itu cakupan dalam seminar Budaya difokuskan pada beberapa poin dengan titik fokus Refleksi yakni Tahun Ekologi
Pilihan tema Ekologi sejalan dengan pesan Pastoral Keuskupan Larantuka. Kelestarian Alam merupakan sebuah keharusan karena setiap jejak peradaban dibangun di atas alam. Beberapa poin berkaitan dengan Ekologi disajikan dalam sepintas tentang Kearifan Lokal. Kearifan lokal dan warisan budaya yang masih ada maupun yang sudah hilang coba diangkat kembali untuk direfleksikan secara bersama. Warisan – warisan yang diulas berupa :
Kearifan Lokal dalam Konservasi Terumbu Karang dan Perlindungan Penyu
Kesatuan Relasi Kosmos, sebuah Refleksi atas Kearifan Lokal terhadap Due Date, Lela, Leba Kene’e dan Hode Nale
Memahami Situs- situs Budaya sebaga bagian utuh dalam Relasi Kosmos
Konservasi situs-situs Budaya
Topik-topik ini diulas secara singkat agar para narasumber dalam seminar dapat memahami khasana warisan lokal dan bagaimana menawakan sebuah refleksi yang lebih mendalam sesuai dengan Tema dari masing-masing Narasumber.
III. Tujuan Seminar Budaya
3.1. Tujuan Umum:
Melalui kegiatan Seminar Budaya , tujuan yang dihendak dicapai adalah :
Masyarakat mengetahui dan menyadari nilai-nilai dari warisan budaya dalam konteks Iman dan Pesan Pastoral Gereja Lokal
Masyarakat mengetahui dan menyadari adanya warisan budaya yang sudah hilang atau terancam hiang/punah
Terbangunnya sistim pembangunan Desa berbasis Budaya yang sistimatis dan terintegrasi dalam kemitraan yang berkelanjutan
Terbangunnya Sistim pembangunan Desa berbasis budaya yang tertuang dalam Peraturan Desa
3.2 Tujuan Khusus :
Masyarakat Mengetahui dan menyadari Pentingnya membangun dan meningkatkan kualitas Relasi Kosmos antara Terumbu Karang, Penyu, Ketersediaan Oksigen dan Keberlangsungan Ekositem laut dengan Kehidupan masyarakat.
Masyarakat sadar akan nilai-nilai luhur dari Tradisi Lela Kne’e, Hode Nale dan Hutan Terlarang
Masyarakat sadar akan nilai-nilai luhur dari situs-situs budaya
MEMAHAMI KEARIFAN LOKAL
SEBAGAI SEBUAH REFLEKSI MENUJU PEMBANGUNAN DESA BERBASIS BUDAYA
1. Kearifan Lokal dalam Konservasi Terumbu Karang dan Pelindungan Penyu.
Pada tahun 2003, penulis melakukan wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat berkaitan dengan Patung Wulu, Patung Dewi Hujan.[1] Satu dari sekian tokoh adalah Nikolaus Nani. Menurut beliau, masyarakat Lewotobi telah memiliki kearifan lokal dalam menjaga dan merawat kelestarian Terumbu Karang. Kearifan tersebut meliputi :
Kebiasaan membersihkan terumbu karang yang mati agar muncul terumbuh karang yang baru. Dari asepk ekonomi, terumbu karang yang mati diolah untuk menjadi kapur. Hasil olahan ini dipakai untuk dikonsumsi ( siri pinang, untuk pewarna sarung dan untuk pertanian). Kebiasaan pembersihan terumbu karang yang mati pun perlahan hilang sekita tahun 1980-an. Ketika sudah banyak pilihan untuk pewarnaan sarung, cat tembok rumah ( saat itu rumah-rumah tembok masih sangat sedikit) maka kebiasaan ini pun hilang
Suku Uran ditugaskan untuk mengawasi masyarakat saat melakukan penangkapan ikan waktu air surut. Jika ada masyarakat yang merusak terumbu karang maka akan ditegur dengan keras. Sanksi waktu itu sebatas “ mendapat kata-kata kasar”. Meskipun hanya sebatas teguran keras, masyarakat taat. Namun dalam perjalanan waktu , kearifan ini hilang karena sanksi sebatas kata-kata.
Pilihan suku uran karena suku uran identik dengan suku pelaut. Sejarah suku Uran adalah suku pelaut. Dalam konteks Patung Wulu, mereka berperan dalam mendatangkan Patung Gaja sebagai “ yang sepandan “ dengan patung Wulu.
2. Penamaan Lokasi Pantai.
2.1. Bese Wewe
Setiap Lokasi di pesisir Pantai diberi nama dan setiap nama memiliki makna. Sebuah Lokasi yang disebut “ Bese Wewe”. Secara etimologis Bese berarti Gemuk, hamil. Wewe berarti : mulut.
Lokasi Bese Wewe yang berhadapan dengan Wai Bele ( sumur pertama di Lewotobi), merupakan sebuah area yang mana saat air surut lokasi ini tidak kering alias tetap ada genangan seperti kolam. Dan lokasi sekitar Bese Wewe, sekitar tahun 1980-an saat air laut pasang, panorama air laut berwarna-warni karena terumbu karang yang berwarna-warni.
Dari data di atas, maka bagi penulis, Penamaan Lokasi Bese Wewe oleh nenek moyang memiliki sebuah landasan :
Berdasarkan arti Etimologis, tempat ini dapat diterjemahkan sebagai tempat ikan bertelur. Di tempat ini, ikan-ikan berkumpul di masa bertelur sampai menetas. Karena di tempat ini pula ada Karang Besar dengan lubang yang sangat besar. Namun kondisi sekarang lubang karang ini telah tertutup karena kebiasaan masyarakat menghancurkan terumbu karang waktu menangkap ikan.
Ketersediaan terumbu karang dengan aneka warna menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi ikan –ikan pada masa bertelur.
Dalam kaitan dengan keberadaan Wai Bele, sumur tua, sumur pertama dan Witi Wai, menegaskan sebuah relasi antara manusia dengan alam. Sebelum sumur ini ada, masyarakat mengambil air di Witi Wai saat air surut. Sebagai sumber mata air maka tempat ini menjadi saran publik, tempat masyarakat berkumpul. Witi Wai, Wai Bele menjadi ruang diskusi sosial. Di lokasi Bese Wewe ini juga dilakukan ritus Penjemputan dan Pengambilan “ Nale” oleh Suku Uran
Dari data ini, bagi penulis lokasi Bese Wewe merupakan sebuah tempat pertemuan dialog kosmos, dialog budaya, sosial antara manusia dan alam. Namun ruang pentas dialog ini hilang karena masyarakat berhenti melakukan refleksi atas relasi dengan alam. Ketika ruang dialog ini hilang maka ruang kesadaran pun hilang dan yang ada hanya ruang untuk proses eksploitasi alam. Alam dengan caranya menyediakan tempat untuk ikan. Namun karena keterbatasan refleksi dan didorong oleh nafsu serakah manusia maka bagian yang harus untuk alam menyediakan keberlangsungan kehidupan dirusak
Bese Wewe sebagai ruang untuk mengandung dan melahirkan kehidupan, juga merupakan ruang diskusi publik untuk merenung refleksi kehidupan, “mengandung” nilai-nilai kehidupan dan ketika waktunya nilai-nilai kehidupan itu dilahirkan, dituturkan, diwartakan dalam sukacita kesatuan kosmos sebagaimana tarian ikan meliuk di tengah-tengah warna-warni terumbu karang.
2.2. Blelawutun
Lokasi Blelawutun dikenal sebagai “kne’e” suku uran. Di lokasi Blelawutun ini juga sebagai tempat Penyu Bertelur selain di lokasi Nara dan di Pantai Waiotan dan Pede.
Blela Wutun berarti : Blela dari Kata : Lela artinya Menandai, Melarang. Wutun dari kata : Wutu : artinya Ujung. Secara etimologis, Blelawutun artinya Ujung yang ditandai, dimaterai, dilarang. Dikatakan ujung karena lokasi pantai yang berpasir berakhir disini.
Makna pantai yang dimateraikan ( dilela) berarti ada hal yang dilarang, yang tidak boleh dieksploitasi. Hal-hal yang dilarang adalah :
Dimateraikan berarti ia menjadi milik suku uran dan tidak diklaim menjadi milik suku lain. Secara luas, tempat ini menjadi saran publik dan tidak boleh digunakan orang perorangan untuk kepentingan pribadi.
Pengambilan Pasir pantai (ada bagian pasir yang mana dapat digunakan untuk pembangunan)
Sebagai lokasi Penyu bertelur. Sebagai pantai yang dimateraikan maka ia menjadi tempat khusus bagi penyu untuk bertelur. Karena seekor penyu hanya kembali bertelur di tempat ia menetas. Kearifan lain di Lewotobi, adalah ketika seekor penyu ditangkap waktu bertelur maka harus ada bagian yang diserahkan ke Tuan Tana.
Sedangkan di Lewouran, penyu tersebut harus dibunuh dan dibela di kampung lama di lokasi “ Pete Ke’a” dan pihak yang menangkap hanya mendapat bagian kecil yakni ekor penyu.
Dari data di atas ini bagi penulis, tradisi pemotongan Penyu di kampung lama dan mendapat bagian yang kecil, nenek moyang menyampaikan pesan tersurat yakni :
1. Penyu harus dihargai. Pemotongan Penyu di tempat khusus menunjukkan bahwa Penyu di masyarakat memiliki nilai kesakralan tersendiri yang harus perlakukan juga secara istimewa
2. Nenek Moyang tidak dapat melarang masyarakat untuk menangkap Penyu yang bertelur juga tidak mengijinkan masyarakat melakukan eksploitasi terhadap penyu Tradisi larangan secara tersurat menegaskan bahwa lebih baik penyu dilindungi. Membunuh penyu dan hanya mendapat bagian kecil merupakan tindakan sia-sia.[2]
Pesan yang disampaikan biasanya tersirat dalam kata-kata sastra ( koda kenake) dan tradisi-tradisi. Pesan-pesan tersebut tidak berhenti di generasi mereka tetapi pesan tersebut harus mampu direfleksikan oleh generasi dalam konteks kekinian. Pesan “tidak membatasi” harus diterjemahkan sebagai sebuah bentuk keharusan “Melarang” menangkap Penyu dan Mengambil Telur Penyu”
2.3. Nara
Lokasi di depan Lapangan Bola Kaki. Lokasi Pantai Nara berkaitan erat dengan Nuba di samping pantai Nara. Sehingga dulu disebut Nuba Nara. Fungsi Nuba ini sebagai “ Nuba Awe Lape” untuk pemulihan roh dan relasi bagi masyarakat yang mengalami musibahh di laut dengan alam laut. Ritus dilakukan di Nuba oleh Suku Witi Leri Dore Tana ( dalam hal ini Keturunan Bapak Zakarias Gelang Witi ). Sedangkan keluarga dan masyarakat berkumpul di pantai Nara, di samping Nuba.
Dari data ini, bagi penulis Pantai Nara sebagai ruang publik untuk memperbaiki relasi yang rusak antara manusia dan alam laut. Sebagai ruang publik, ruang pemulihan relasi maka eksistensi pantai ini pun harus pandang sebagai sebuah ruang “yang dikuduskan”. Sekitar 500 meter dari Pantai Nara, ada tanjung “ Tanjung Pedan “ yang dipercaya oleh masyarakat sebagai dermaga bagi para arwah yang baru meninggal dunia menuju tempat mereka di Nuha Witi. Di lokasi Pantai Nara ini juga merupakan lokasi penyu bertelur.
3. Kesatuan Relasi Kosmos, sebuah Refleksi atas Kearifan Lokal “ Hutan Terlarang, Lela Kene’e “ dan Hode Nale
3.1. Hutan Terlarang
Sebuah kearifan lokal di masyarakat Lamaholot khususnya di wilayah Lewotobi dan Lewouran adalah adanya Due Date, hutan terlarang. Label terlarang karena sebagai tempat pemukiman roh-roh leluhur. Disebut Date karena jika ada konflik dengan penghuni hutan ini maka manusia mengalami musibah.
Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa untuk wilayah Lewouran memiliki wilayah Due Date yang meliputi : Lewo Oki, Sodo,Sigo Bajo Tehe, Wai Uhe. Sedangkan di Lewotobi meliputi Due Date Senudu, Lewo Oki. Setiap nama hutan ini memiliki makna tersendiri. Dalam Konteks perkembangan dan pembangunan masyarakat berbudaya, nama-nama ini harus mampu diterjemahkan sebagai sebuah spirit pembangunan yang berwawasan lingkungan. Kondrad Kebung menegaskan bahwa manusia dalam perkembangannya berubah sesuai dengan relasi ekologisnya di mana tingkat kesadaran manusialah yang memberikan warna dan pemaknaan di setiap relasi.[3]
Warisan kearifan Lokal ini dalam konteks masa kini harus mampu diterjemahkan sebagai sebuah upaya melakukan restorasi dan perlindungan terhadap kawasan terlarang ini. Bagi penulis ,makna Kearifan lokal ini adalah :
Nenek Moyang membatasi manusia dalam mengeksplorasi alam untuk kehidupan mereka. Ada bagian alam yang tidak boleh diganggu dengan tujuan untuk alam dan manusia
Hutan Terlarang sebagai sebuah keberlanjutan ekositem, seperti tempat burung-burung bertelur. Ketika kawasan hutan dibuka untuk lahan pertanian, Due Date menjadi tempat yang aman bagi burung-burung bertelur
Hutan Terlarang sebagai paruh udara bagi masyarakat di sekitarnya.
3.2. Leba Kene’e
Kearifan Lokal di Lewouran adalah Lela dan Leba Kene’e/Niwe Waiotan. Secara etimologis, Lela berarti : Melarang, Leba: Membuka larangan, Memanen. Kene’e : Wilayah pantai tertentu. Niwe : tempat menambatkan perahu baik di pasir maupun di laut. Niwe juga berarti jangkar. Ritus ini dilakukan oleh Suku Uran yang dimandatkan oleh Suku Muda.
Tujuan dari Ritus ini adalah :
Sebagai upaya membuat ikan merasa betah tinggal di lokasi ini
Sebagai sebuah upaya menjaga kelestarian ekosistem. Durasi waktu untuk pelarangan segala aktivitas penangkapan ikan di lokasi ini bertujuan agar ikan-ikan dapat bertelur
3.3. Tiga Malam Gelap Menanti Nale
Sebuah ritus yang sudah hilang di wilayah Lewotobi adalah Ritus Hode Nale ( mengambil nale ). Secara Tradisi, tiga malam berturut- turut sebelum waktunya mengambil Nale, wilayah laut harus dalam kondisi gelap. Artinya tidak bole ada aktivitas penangkapan ikan dan aktivitas lain di wilayah pantai. Seorang pun tidak boleh menginjak kaki di pantai selama tiga hari larangan ini. Ritual ini semacam masa puasa. Proses pengambilan pun harus dilakukan lebih dahulu oleh Suku Uran.
Ritus Hode Nale dan Lela Knee sesungguhnya menegaskan pesan bahwa manusia harus memberikan waktu dan mengalokasikan waktu bagi alam untuk memulihkan dirinya. Waktu dan tempat tertentu yang harus dilihat sebagai sesuatu yang kudus, sakral.
4. Situs- situs Budaya
4.1. Rumah Adat
Setiap wilayah memiliki rumah Adat. Lewouran memiliki rumah adat : Suku Kwure, Kedang dan Kwuta. Di Lewotobi adalah rumah adat Ure Wai ( Suku Temu ), Suku Hokeng, Suku Ena. Rumah adat ini yang masih ada dan yang lain sudah hilang. Jika tidak segerah dilakukan upaya penggalian maka warisan budaya berupa rumah adat akan hilang.
Rumah Adat sebagai sebuah simbol dialog holistik antara manusia dengan manusia, manusia dengan leluhur, dengan alam dan juga dengan Tuhan yang disebut Lera Wulan Tana Ekan.
4.2. Sumur Tua
Ada beberapa sumur yang mempunyai nilai sejarah yakni Wai Uhe di Lewouran , Wai Nuba dan Wai Bele di Lewotobi. Setiap sumur mempunyai sejarah yang harus mampu ditulis dan dikemas menjadi sebuah destinasi budaya.
4.3 Patung Wulu
Patung seorang Ibu yang sedang menyusui dan menenun merupakan sebuah mahakarya seni. Patung Wulu merupakan sebuah pesan kehidupan yang holistik. Sampai saat ini belum banyak literatur yang berbicara tentang keberadaan warisan budaya ini.[4] Pada tahun 2003 Penulis melakukan penelitian tentang Patung Wulu dengan judul Peran Patung Wulu dalam sudut pandang Masyarakat Lewotobi. Sebuah makna dari Peran Patung Wulu ini adalah “Tuho Dura” sebuah makna memberikan kehidupan bagi anak-anak. Di tengah kesibukan seorang ibu, memberikan ASI merupakan sebuah keharusan juga merupakan obat terbaik bagi anak/bayi.
V. Penutup
Melalui ulasan singkat tentang beberapa warisan budaya ini kiranya dapat membantu setiap narasumber dalam memberikan sentuhan yang lebih mendalam sehingga nilai- nilai warisan budaya ini mampu direfleksikan dan dikemas sebagai modal pembangunan Desa Birawan. Melalui tulisan singkat tentang warisan budaya ini diharapkan muncul banyak kajian terhadap warisan budaya sehingga masyarakat khususnya generasi muda menjadi generasi yang melek terhadap budaya.
Disiapkan oleh
URAN, Fabianus Boli
[1] Penulis melakukan penelitian tentang peran Patung Wulu dalam sudut Pandang Masyarakat Lewotobi. Hasil tulisan ini hilang dan rusak waktu penulis di Jakarta. Rusak karena banjir melanda Jakarta pada Bulan Februari 2007.
[2] [2]http://ilmugeografi.com/ilmu-bumi/laut/manfaat-terumbu-karang diakses pada tanggal 18 Januari 2017
[3] KEBUNG, Kondrad. Manusia Sadar Lingkungan. Prestasi Pustaka : Jakarta : 2008 : hal 271
[4] kompasiana.com/post/read/694420/1/sang-penenun.html. diakses Pada tanggal 3 November 2014
[1] BAKKER, Anton “Badan Manusia dan Budaya “ dalam G. Moedjanto (eds) Tantangan Kemanusiaan Universal. Yogyakarta : Kanisisus. 1992 : hal 66-68
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H