Masyarakat Mengetahui dan menyadari Pentingnya membangun dan meningkatkan kualitas Relasi Kosmos antara Terumbu Karang, Penyu, Ketersediaan Oksigen dan Keberlangsungan Ekositem laut dengan Kehidupan masyarakat.
Masyarakat sadar akan nilai-nilai luhur dari Tradisi Lela Kne’e, Hode Nale dan Hutan Terlarang
Masyarakat sadar akan nilai-nilai luhur dari situs-situs budaya
MEMAHAMI KEARIFAN LOKAL
SEBAGAI SEBUAH REFLEKSI MENUJU PEMBANGUNAN DESA BERBASIS BUDAYA
1. Kearifan Lokal dalam Konservasi Terumbu Karang dan Pelindungan Penyu.
Pada tahun 2003, penulis melakukan wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat berkaitan dengan Patung Wulu, Patung Dewi Hujan.[1] Satu dari sekian tokoh adalah Nikolaus Nani. Menurut beliau, masyarakat Lewotobi telah memiliki kearifan lokal dalam menjaga dan merawat kelestarian Terumbu Karang. Kearifan tersebut meliputi :
Kebiasaan membersihkan terumbu karang yang mati agar muncul terumbuh karang yang baru. Dari asepk ekonomi, terumbu karang yang mati diolah untuk menjadi kapur. Hasil olahan ini dipakai untuk dikonsumsi ( siri pinang, untuk pewarna sarung dan untuk pertanian). Kebiasaan pembersihan terumbu karang yang mati pun perlahan hilang sekita tahun 1980-an. Ketika sudah banyak pilihan untuk pewarnaan sarung, cat tembok rumah ( saat itu rumah-rumah tembok masih sangat sedikit) maka kebiasaan ini pun hilang
Suku Uran ditugaskan untuk mengawasi masyarakat saat melakukan penangkapan ikan waktu air surut. Jika ada masyarakat yang merusak terumbu karang maka akan ditegur dengan keras. Sanksi waktu itu sebatas “ mendapat kata-kata kasar”. Meskipun hanya sebatas teguran keras, masyarakat taat. Namun dalam perjalanan waktu , kearifan ini hilang karena sanksi sebatas kata-kata.
Pilihan suku uran karena suku uran identik dengan suku pelaut. Sejarah suku Uran adalah suku pelaut. Dalam konteks Patung Wulu, mereka berperan dalam mendatangkan Patung Gaja sebagai “ yang sepandan “ dengan patung Wulu.
2. Penamaan Lokasi Pantai.