"Maaf, Bu. Saya lupa," ucapku lirih. Suaraku nyaris tak terdengar di tengah kelas yang mendadak sunyi.
Bu Wati menggelengkan kepala. Matanya menatap tajam seolah bisa menembus pikiranku.
"Ini bukan pertama kalinya kamu lupa, Upi. Kamu harus lebih bertanggung jawab," katanya dengan nada yang membuat seluruh kelas menunduk.
Aku kembali ke tempat dudukku. Wajahku terasa panas karena malu. Apip menepuk bahuku, mencoba menghibur meskipun aku tahu dia juga bingung harus berkata apa.
"Tidak apa-apa, Pi. Kita cari cara biar kamu tidak lupa lagi," katanya pelan. Suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.
Putin mengangguk dari belakang. Matanya serius namun masih memberikan sedikit harapan.
"Mungkin kita harus buat sistem pengingat bersama-sama, Pi. Kita bisa catat di kalender atau bikin alarm," usulnya dengan suara yang terdengar seperti seorang teman yang tak mau menyerah.
Besok harinya, Suasana di kelas makin tegang. Bu Wati tiba-tiba masuk membawa setumpuk kertas di tangannya. Wajahnya tetap datar tanpa ekspresi yang berubah. Kami semua terdiam. Firasat buruk langsung melingkupi ruang kelas.
"Hari ini, kita akan mengadakan ulangan harian fisika," katanya tanpa peringatan. Suaranya tajam memecah keheningan.
Aku, Apip, Fajri, dan Putin langsung terdiam, saling menatap dengan tatapan panik dan bingung. Wajah kami pucat, seolah darah menghilang dari tubuh kami dalam sekejap.
Apip menoleh ke arahku dengan wajah khawatir. "Kita belum siap sama sekali." bisiknya pelan. Nadanya penuh kepanikan yang jelas terasa.