"Anak-anak, sekarang kumpulkan tugas fisika yang sudah saya berikan minggu lalu," katanya sambil meletakkan tas di meja.
Hatiku langsung mencelos. Wajahku pucat, dan perutku terasa mual. Aku lupa tugas itu!
Dengan gugup, aku menoleh ke arah Apip yang langsung menatapku dengan pandangan cemas.
"Upi, tugasnya mana?" bisiknya pelan. Nadanya jelas menunjukkan kekhawatiran.
Aku hanya bisa menggeleng pelan, merasa semua mata tertuju kepadaku. Fajri yang duduk agak jauh ikut melirik. Bibirnya bergerak seolah bertanya hal yang sama.
Putin yang duduk di belakangku menyenggol lenganku dengan kakinya, mencoba menarik perhatianku.
"Santai saja, Pi. Kita bisa cari cara nanti," katanya dengan suara yang berusaha tenang.
Tetapi aku tahu, situasinya tidak bisa diselesaikan begitu saja. Bu Wati, dengan wajah datar dan tegas, memanggil nama satu per satu untuk mengumpulkan tugas.
Saat giliranku tiba, langkahku terasa berat menuju meja Bu Wati.
"Upi, mana tugasmu?" tanyanya dengan nada yang sudah kukenali, dingin dan penuh ekspektasi.
Aku menundukkan kepala, menatap sepatu hitamku yang tampak makin suram di bawah tatapan Bu Wati.