Mohon tunggu...
Muhammad Luthfi Yufi
Muhammad Luthfi Yufi Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar MTsN Padang Panjang

Hobiku memasak dan fotografi, dan keduanya selalu membuat hariku lebih seru! Memasak adalah petualangan rasa—seperti bermain dengan palet warna, tapi dengan bumbu dan bahan makanan. Setiap masakan adalah eksperimen kecil, dan rasanya selalu menyenangkan ketika berhasil menciptakan hidangan yang enak. Fotografi, di sisi lain, adalah cara favoritku untuk mengabadikan momen-momen ajaib yang kadang terjadi begitu saja. Dengan kamera di tangan, rasanya seperti memegang kunci untuk menghentikan waktu. Plus, belajar editing itu seperti memberi sentuhan sihir pada fotoku—membuatnya lebih hidup dan memuaskan. Hobi-hobi ini tidak hanya membuat hariku lebih berwarna, tapi juga membawaku lebih dekat dengan hal-hal yang aku cintai.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Menyesal Lupa Buk

16 September 2024   19:36 Diperbarui: 17 September 2024   17:53 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen "Aku Menyesal Lupa Buk":

By : M.Luthfi Yufi

---

"Aduh. Hari ini ada PR ya?!?!" seru Upi. Anak laki-laki kelas 7 yang terkenal dengan sifat pelupanya. Saat itu, dia baru saja menyadari bahwa hari ini adalah hari pengumpulan tugas fisika. Wajahnya langsung pucat, seolah-olah langit runtuh di atas kepalanya.

Sejak kecil, Upi memang sering lupa. Ia sering lupa membawa buku. Lupa mengerjakan tugas. Bahkan hal-hal sepele seperti lupa di mana ia meletakkan sepatu. Setiap pagi, rutinitas yang sama terjadi. Upi berlarian ke seluruh rumah mencari barang-barangnya yang entah di mana, sementara Bundanya hanya bisa menggelengkan kepala melihat kekacauan yang diciptakan Upi setiap hari.

"Upi, kamu harus lebih teliti dan bertanggung jawab. Nak," nasihat Bundanya yang selalu terdengar setiap pagi.

Nasihat itu bukanlah hal baru bagi Upi. Ia sering mendengarnya, namun tak pernah benar-benar mengindahkan. Upi hanya tersenyum, meyakinkan Bundanya bahwa ia akan berubah. Namun kenyataannya, ia tetap seperti itu—pelupa. Bukannya berubah, Upi justru semakin sering terjebak dalam kesalahan yang sama.

Di sekolah, situasinya tak jauh berbeda. Apip, teman sebangkunya, sering tertawa melihat kebiasaan Upi yang selalu saja lupa sesuatu. Entah itu buku pelajaran, tugas, atau bahkan jadwal pelajaran hari itu.

“Upi, serius deh. Kamu itu ada aja yang lupa,” kata Apip sambil terkekeh, menggelengkan kepala melihat temannya yang selalu panik.

Fajri dan Putin, dua sahabat baik Upi, juga tak bisa menahan tawa melihat betapa seringnya Upi melupakan sesuatu. Meskipun mereka sering tertawa, Fajri dan Putin tetap berusaha membantu Upi dengan mengingatkannya tentang hal-hal penting, seperti tugas dan ulangan. Namun, meski diingatkan berkali-kali, Upi tetap saja kesulitan mengubah kebiasaannya itu.

Hari itu, ketika Bu Wati, guru fisika mereka, masuk kelas dengan wajah serius, seluruh siswa langsung duduk tegak. Mereka tahu betul bahwa Bu Wati adalah tipe guru yang tidak suka kelas yang ribut atau tidak disiplin.

"Anak-anak, sekarang kumpulkan tugas fisika yang sudah saya berikan minggu lalu," kata Bu Wati sambil meletakkan tasnya di atas meja.

Jantung Upi langsung berdegup kencang. Wajahnya pucat, dan perutnya terasa mual. Ia benar-benar lupa mengerjakan tugas itu!

Dengan panik, Upi menoleh ke arah Apip. Temannya langsung menatapnya dengan pandangan cemas. "Upi, tugasnya mana?" bisiknya pelan, jelas-jelas khawatir melihat kondisi Upi.

Upi hanya bisa menggeleng pelan. Ia merasa semua mata tertuju padanya. Dari sudut matanya, ia bisa melihat Fajri yang duduk agak jauh ikut melirik. Bibir Fajri bergerak, tampaknya menanyakan hal yang sama.

Dari belakang, Putin yang duduk di bangku belakangnya menyenggol lengannya dengan kaki, mencoba menarik perhatiannya. “Santai aja, Pi. Kita bisa cari cara nanti,” bisik Putin dengan suara yang berusaha terdengar tenang.

Namun, Upi tahu, situasinya tidak bisa diselesaikan begitu saja. Wajah Bu Wati tetap datar dan tegas. Ia mulai memanggil nama siswa satu per satu untuk mengumpulkan tugas mereka. Ketika giliran Upi tiba, langkahnya terasa berat. Ia berjalan menuju meja Bu Wati dengan perasaan bersalah yang menumpuk.

"Upi, mana tugasmu?" tanya Bu Wati dengan nada dingin dan penuh ekspektasi.

Upi menundukkan kepala, menatap sepatu hitamnya yang seolah menjadi lebih suram di bawah tatapan tajam gurunya. "Maaf, Bu. Saya lupa," ucapnya lirih, nyaris tak terdengar di tengah keheningan kelas.

Bu Wati menggelengkan kepala. Matanya menatap tajam, seolah bisa menembus pikiran Upi. "Ini bukan pertama kalinya kamu lupa, Upi. Kamu harus lebih bertanggung jawab," katanya tegas, membuat seluruh kelas merasa tegang.

Upi kembali ke tempat duduknya. Wajahnya terasa panas, terbakar oleh rasa malu. Apip menepuk bahunya, berusaha menghibur meskipun jelas ia juga bingung harus berkata apa.

"Nggak apa-apa, Pi. Kita cari cara biar kamu nggak lupa lagi," ucap Apip pelan, suaranya lembut tapi jelas menunjukkan kekhawatiran.

Putin, dari belakang, mengangguk. Matanya serius namun memberikan harapan. “Mungkin kita harus buat sistem pengingat bareng-bareng. Pi, kita bisa catat di kalender atau bikin alarm,” usul Putin dengan suara yang penuh dengan semangat solidaritas.

Esok harinya, suasana di kelas semakin tegang. Tanpa peringatan, Bu Wati masuk membawa setumpuk kertas di tangannya. Wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. "Hari ini, kita akan mengadakan ulangan harian fisika," katanya, mengumumkan tanpa basa-basi.

Semua murid terdiam. Upi, Apip, Fajri, dan Putin langsung menatap satu sama lain dengan tatapan panik. Wajah mereka pucat. Apip menoleh ke arah Upi dengan wajah khawatir. "Kita belum siap sama sekali," bisiknya pelan, jelas-jelas panik.

"Aku pasti gagal," gumam Upi, merasa putus asa.

Fajri yang duduk di depan mereka memutar tubuhnya, menatap Upi dengan penuh rasa cemas. "Kamu nggak belajar, Pi?" tanyanya, meskipun jawabannya sudah jelas.

Putin, yang biasanya tenang, tampak gelisah. Tangannya memegang pensil dengan gemetar. "Aduh, gimana nih? Nggak ada yang tahu soal ini," katanya dengan nada penuh kecemasan.

Saat lembar soal dibagikan, Upi berusaha menenangkan diri meskipun hatinya berdegup kencang. Soal-soal itu tampak sulit, namun masih dalam batas kemampuannya. Apip menepuk pundaknya. "Tenang, Pi. Kita hadapi aja. Yang penting kita berusaha," katanya, memberikan semangat meski ia sendiri tampak sedikit ragu.

Putin menambahkan dari belakang. "Coba kerjakan semampunya dulu, Pi. Kita pasti bisa lewatin ini," ucapnya, suaranya lebih lembut tapi penuh harapan.

Upi mulai mengerjakan soal-soal itu satu per satu, meski otaknya dipenuhi kegelisahan. Dengan bantuan Apip dan Putin yang terus menyemangatinya, akhirnya Upi berhasil menyelesaikan semua soal meskipun dengan sedikit keraguan.

Ketika ulangan selesai, Upi mengumpulkan lembar jawaban dengan perasaan lega. Meski cemas, ia merasa telah melakukan yang terbaik. Beberapa hari kemudian, hasil ulangan diumumkan. Jantung Upi berdegup kencang saat Bu Wati membagikan kertas ulangan.

Ketika Upi menerima kertasnya, hatinya melonjak. Nilainya lulus KKM! Senyumnya lebar, dan suasana kelas langsung berubah riuh oleh kegembiraan.

Apip tersenyum lebar, menepuk pundaknya. "Ternyata nggak seburuk yang kita kira, kan?" katanya puas.

Putin juga menepuk punggung Upi. "Kamu berhasil, Pi. Kita harus rayakan ini. Lain kali, kita lebih serius ya," katanya penuh semangat.

Upi tersenyum, merayakan keberhasilan kecil itu bersama teman-temannya. Dalam tawa dan canda, Upi menyadari sesuatu yang penting.

Konflik dalam cerita ini adalah ketidakmampuan Upi untuk mengatasi sifat pelupanya. Hal ini menciptakan masalah yang berulang dalam kehidupannya, baik di rumah maupun di sekolah. Namun, puncak dari konflik ini terjadi saat ia dihadapkan dengan tugas dan ulangan fisika. Ketika ia lupa mengerjakan tugas, ia merasa malu dan tertekan. Lalu, ulangan dadakan menjadi ujian nyata bagi dirinya. Konflik ini diselesaikan dengan dukungan teman-temannya, yang membantunya melalui situasi tersebut, dan Upi pun berhasil menghadapi tantangan itu.

Dari pengalaman ini, Upi belajar bahwa meskipun menjadi pelupa adalah bagian dari dirinya, itu bukan alasan untuk menyerah atau mengabaikan tanggung jawab. Dengan usaha keras, persiapan yang lebih baik, serta dukungan dari teman-teman, ia bisa melewati tantangan apapun.

---

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun