***
"Duh Gusti...!!!" Ibuku nampak amat kesal, saat kami berlima pulang dari Gedong saat senja hari. "Gedong itu jauh sekali, Le...!!!"
"Iya, Bu,.. tapi ya, bagaimana lagi, kami ingin mandi di sana,..."
"Saya yang mengajak, Bulik,.." Mas Bhima duduk bersimpuh di depanku seolah membentengiku dari segala amarah Ibu dan Ayah. Mas Bhima membelaku sepenuhnya. Aku tahu itu tak akan terlalu membantu.
"Saya minta maaf..." lanjut Mas Bhima. Ada getar tak enak yang membuatku sesak. Sementara kulihat Pakde Jum dan Istrinya hanya terdiam.
"Tempat itu berbahaya, Sayang,..." Ibu menurunkan volume suaranya. Ditatapnya kami satu per satu.
Aku memang sudah paham mengapa anak-anak tak boleh pergi ke Gedong tanpa didampingi orang tua. Banyak cerita menyeramkan yang beredar di kalangan warga dusun ini. Tentang Mbah Jenggot, penunggu Gedong, tentang anak-anak yang tak kembali, belum lagi perjalanan ke sana yang harus melewaki bukit dan hutan. Tapi menurutku, kami sudah berhasil kembali dengan selamat saja, seharusnya orang tuaku sudah bersyukur. Sungguh, dalam hatiku aku tak pernah menyesal telah mengajak Mas Bhima dan Sita ke Gedong, kami cuma anak-anak yang belum punya alternatif lain menghadapi kemarau ini.
Dan liburan lebaran itulah terakhir kali aku bertemu Mas Bhima. Bahkan ada satu janji yang belum sempat kutepati: mengajaknya ke Hargodumilah.
***
"Semalam, aku bermimpi bertemu Mas Bhima...."