Mohon tunggu...
Riana Sari
Riana Sari Mohon Tunggu... Guru - Guru Fisika di SMAN 5 Kabupaten Tangerang

Riana Sari, Lahir di Banjarnegara, 11 Desember 1989. Karyanya antara lain: “Matematika Hidup Indonesiaku”, Juara I Lomba Menulis Puisi Matematika Nasional 2008, UNSRI. Cerpen “Api Kecil di Dermaga”, masuk dalam antologi “yang Muda yang Kreatif”, Kemenpora RI, 2010. Cerita Rakyat “Teluknaga”, Juara I Lomba Menulis Cerita Rakyat Kabupaten Tangerang 2011. Cerpen “Perempuan Hebat” masuk dalam antologi Perempuan Hebat, IPP-NU, 2011, Cerpen “Selendang Biru di Akar Bakau” menjadi pemenang lomba menulis cerpen mangrove, KeseMat, UNDIP, 2012, Cerpen “Laso” menjadi Juara prospektif, lomba cerpen kearifan lokal, Yayasan Obor Indonesia, 2013.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kemuning

4 Juni 2023   22:16 Diperbarui: 4 Juni 2023   22:26 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KEMUNING

Semalam, aku memimpikannya datang ke dusun ini. Bila diingat-ingat, terakhir kali aku bertemu dengannya sekitar lima tahun lalu. Memimpikannya semalam membuatku teringat lagi padanya. Kangen juga.

Namanya Bhima Jumilang. Aku memanggilnya 'Mas', karena dia adalah anak sulung Pakde Jum. Pakde Jum sendiri adalah kakak tertua ayahku, sementara ayahku anak ragil dari lima bersaudara yang kelimanya laki-laki.

Pakde Jum merupakan satu-satunya putra Eyang yang merantau di Jakarta. Empat putra Eyang yang lain, Pakde Min, Pakde Dul, Pakde Sar, dan Ayahku memilih tinggal di dusun kecil di pelosok Gunung Kidul ini. Kami yang tinggal disini merasa sudah cukup makmur hidup dari hasil kebun dan berternak.  Dibalik perbukitan cadas ini, kami mencoba tetap bersyukur dengan segala yang telah diberikan Tuhan.

Didepan perapian yang diatasnya duduk sebuah kuali besar berisi sayur santan, aku menceritakan mimpiku pada Ibu. Ibuku yang tengah mengiris-iris bawang dan cabai itu mendengarkan saja dengan tenang.

"Mudah-mudahan saja itu pertanda tak lama lagi dia akan datang ke sini...." Ujar Ibu seraya mendorong beberapa kayu yang telah terbakar hampir separuh agar masuk ke dalam tungku perapian.

Mas Bhima sudah tiga tahun indekos di Kota Yogyakarta, kuliah di universitas negeri ternama, namun sekalipun belum pernah mengunjungi dusun ini. Padahal, tempat ini bisa dibilang tidak begitu jauh dari tempat Mas Bhima indekos. Namanya juga masih satu kota. Padahal, Pakde Jum sampai menyatakan, menitipkan Mas Bhima pada ayahku, supaya Mas Bhima ada yang mengawasi. Tapi, Komunikasi kami dan Mas Bhima hanya sebatas lewat telepon. Itu pun jarang sekali.

Lima tahun lalu, terakhir kali Mas Bhima datang ke sini pada saat mudik lebaran bersama orang tuanya dan Sita, adiknya semata wayang. Waktu itu, Mas Bhima masih kelas sebelas SMA. Tentu itu sudah lama sekali. Lebaran-lebaran berikutnya dia tidak pernah berkunjung lagi. 

Saat itu, keluarga Mas Bhima berpondok di rumahku. Yah, dibandingkan dengan rumah pakde-pakde yang lain, rumah ayahku yang tergolong paling modern. Lantai rumah kami sudah di keramik, meski dindingnya masih bilik. Tersedia juga tempat mandi, cuci, dan kakus yang cukup nyaman, meski pompa air harus menggunakan pipa-pipa panjang yang disambung untuk mencapai sumur yang terletak jauh di bawah lembah. Sumur-sumur itu juga kerap mengalami kekeringan, hingga kami terpaksa berjalan beberapa kilometer untuk mendapatkan air bersih.

Aku dan Mas Bhima cukup akrab. Usia kami tak terpaut jauh. Hanya selisih tiga tahun. Mas Bhima orang yang sangat baik. Dia mau mengajari aku banyak hal.

Kebiasaan kami setiap Mas Bhima pulang ke dusun ini adalah menonton 'pesta bintang',  demikianlah Sita, - adik Mas Bhima yang biasa kupanggil 'Mbak'- menyebut panorama langit malam yang terlihat luar biasa indah dari dusun ini. Meskipun Sita baru kelas tujuh SMP dan tentunya lebih muda dariku, aku tetap harus menyertakan 'Mbak' bila memanggilnya karena orang tuaku lebih muda dari orang tuanya.

Menonton pesta bintang seolah menjadi jadwal wajib usai sembahyang di surau. Kami langsung menggulung sarung dan menaiki tumpukan kayu bakar di halaman rumah Pakde Sar. kayu bakar membentuk tumpukan tinggi dan cukup lebar untuk menjadi alas tubuh kami berlima :aku, Mas Bhima, Bambang yaitu putra tunggal Pakde Sar, Nurul adikku, dan Mbak Sita.

Kami merebahkan tubuh diatas kayu-kayu kering itu. Wajah kami memandang langit sepenuhnya. Kami melihat bintang yang jumlahnya jutaan, menyaksikan meteor yang kerap melintasi langit malam. Kami mengandai tentang cita-cita kami di masa depan, seperti halnya orang tua kami yang sedang mengandai tentang masa depan anaknya sambil minum teh di beranda. Kami tertawa di bawah jutaan bintang yang mempesona. Semua bahagia dalam kebersamaan itu.

"Disini, bintangnya banyak ya, Mas..?! Nggak kayak di Jakarta..." Sita menyikut lengan Mas Bhima.

"Sebenarnya sama saja, Sita,..." jawab Mas Bhima. "Hanya saja, di kota-kota besar, cahanya bintang tersamar cahaya jutaan lampu dari ratusan gedung-gedung pencakar langit." Sita mengangguk-angguk tanda mengerti. Aku juga turut mengangguk-angguk, seolah mengerti. Sementara Bambang, malah melongo sambil menoleh polos kearah Mas Bhima. Pada esok harinya aku tahu yang membuat Bambang bingung adalah tentang gedung yang bisa mencakar langit. Hal itu ia tanyakan langsung padaku. Membuat perutku mulas karena geli.

 "Kalau mau melihat pemandangan bintang dengan jelas sekaligus kerlip ribuan lampu, nanti aku ajak ke Hargodumilah,..."

"Hargodunilah...?!" Mas Bhima mengulang apa yang baru saja aku sebutkan.

"Ya, itu bukit bintang di Wonosari, tempate oapik tenan, Mas...." Jawabku, dengan logat jawa yang dibuat-buat.

"Janji, ya,... Rinto, ajak aku ke Hargodumilah,...?!" Mas Bhima berujar pelan sambil kembali menatap langit. Aku mengangguk pasti.

***

Liburan itu seharusnya menyenangkan, hingga di suatu pagi, "Sumur kering...," Ibuku berujar terbata sambil meletakkan cangkir-cangkir berisi teh manis hangat di atas meja. Pakde Jum terdiam, sambil melirik istrinya. Ayahku nampak berpikir, sementara kulihat Mas Bhima dan Sita Nampak bengong saja. Semua yang ada disini tahu apa artinya itu. Sumur kering, berarti kami akan kesulitan air bersih. Bagi aku dan keluargaku, mungkin hal itu sudah sangat biasa, kami bisa saja mandi dan mengambil air dari sungai yang jauhnya lima kilometer dari sini, tapi untuk tamu-tamu ini, rasanya aku tak sampai hati.

"Lalu, kalau kering begini, biasanya ambil air dimana, Bulik?" Bude Jum memecah keheningan ruang tamu. Ayah dan Ibuku saling berpandangan.

"Biasanya, kalau sumur kering, penduduk ambil air di belik,...." Ibuku berusaha menjawab.

"Nuwun, Bu... Sehabis gempa, setahu rinto, belik itu sudah tak mengeluarkan air, Bu....." Aku berujar. Ayah mengangguk membenarkan. Belik itu memang tak begitu jauh, hanya seratus meter dari rumah kami, lokasinya turun agak ke lembah. Aku berpikir keras mencari alternatif lain.

"Kulo ngertos, Bu...." Aku angkat suara. Ibuku menatapku tajam seolah tahu apa yang akan aku sampaikan,..

"Di Gedong, banyu ra pernah surut...." Aku menyebut sebuah tempat yang membuat ayah dan ibuku terbelalak: GEDONG...!!!

***

Jarang ada orang tua yang mengizinkan anaknya pergi ke Gedong. Gedong adalah sebuah kompleks asrama tentara yang telah dikosongkan sejak bertahun-tahun lalu. Kompleks itu berada di area lahan yang sangat luas dan hanya terdiri dari lima blok bangunan. Tiga blok merupakan deretan ruang mirip rumah dinas, dan dua blok lainnya adalah kakus yang berpintu-pintu kecil serta kolam penampungan air setinggi satu setengah meter dengan panjang dua meter di dalam ruangan paling ujung di kompleks bangunan itu.

Hari ini, Mas Bhima memaksaku ke gedong. Sudah dua hari kami tidak mandi. Sita juga ikut, bahkan ia membawa seember kecil pakaian kotor. Sementara Nurul, yang sejak awal sudah kularang ikut, tetap membututi kami dari belakang sambil mengancam, "nek aku ora di jak, tak kandani karo ibu lhooo, mas Rinto arep nang Gedong,..." mendengar ocehannya, yang lain hanya bisa tertawa.

Perjalanan ke Gedong tak bisa dibilang dekat. Kami harus melewati Bukit Kemuning, baru bisa sampai di lembah sebelah timur tempat kompleks itu berada. Melewati Bukit Kemuning, tentu tak bisa tergesa-gesa. Semua orang rasanya ingin berlama-lama sepanjang jalan setapak bukit yang luar biasa indah itu. Seolah, pada setiap jengkal tanah cadasnya, terkandung daya tarik magnet yang kuat. Pohon-pohon kayu putih memagari jalan setapak yang membelah bukit bertanah kapur ini. Nun jauh di Barat Laut, nampak Merapi gagah berdiri dengan mahkota awan yang bergulung-gulung di puncaknya. Kemuning adalah bukit yang sempurna, batinku. Meski telah berkali-kali melewati jalan ini, tak pernah terselip bosan di hatiku pada Bukit Kemuning. Lembah disisi barat memamerkan hamparan perkebunan kayu putih yang mempesona. Jauh dibawahnya, Nampak jalan raya lintas kota yang hanya terlihat seperti garis tebal.

Jalan setapak ini akan berujung pada sebuah telaga yang luamayan besar di Dusun Kemuning ini. Telaga itu di kelilingi hutan jati yang luas.

"Tuh, air banyak...." Mas Bhima menunjuk lurus kearah telaga.

"Air telaga, Mas,... jarang ada yang ambil. Warga masih percaya disitu ada buaya putih penunggunya,..."

"Kamu percaya?"

"Ya ndak tho, Mas,..."

"Saat musim kemarau begini, yang tidak kering ya hanya telaga ini, selain itu di Gedong, dan Sungai Oyo,..tapi Gedong dan Sungai jauh sekali... kecuali ada tempat MCK umum di telaga itu. Lha wong yang ada cuma sumber air,... masak kita mau mandi bareng-bareng di telaga?"

"Yang paling dekat, ya telaga ini. Tapi, cuma di Gedong yang ada tempat MCK-nya,...Tapi, gedong itu jauh di tengah hutan..."

"Kenapa ada yang membangun markas tentara di tengah hutan?" Sita ikut bicara.

"Mungkin dulu dijadikan markas saat perang kemerdekaan..."

....

"Indah sekali, ya, mas...."Sita menerawang jauh ke sebelah Utara. Sementara itu,  kulihat Nurul terhuyung-huyung berlari menghampiri kami. "Itu di Utara, tebing tinggi indah itu apa, mas?" Sita menunjuk tebing tinggi di kejauhan yang terlihat seperti persegi panjang yang tegak berdiri.

"kae ki dudu tebing, Mbak Sita,.. kae ki Nggunung Nglanggeran,...." Ujar Bambang sambil melepas lelah duduk di batu-batu putih berukuran besar yang banyak terdapat di bukit ini yang konon merupakan sisa letusan gunung api pada zaman purba. Pada beberapa batu besar itu terdapat sebentuk tapak kuda yang menurut dongeng setempat adalah tapak kaki kuda sembrani, yaitu kuda putih bersayap yang menjadi kendraan pada dewa dan raja  yang diyakini kerap melintas di bukit ini pada malam hari.

"Elang Gerang...?" ulang Sita

"Nglanggeran, Mbak, Nglang--ge--ran..!" Nurul membenarkan sambil menggandeng sita agar ia tak ditinggal lagi.

***

"Duh Gusti...!!!" Ibuku nampak amat kesal, saat kami berlima pulang dari Gedong saat senja hari. "Gedong itu jauh sekali, Le...!!!"

"Iya, Bu,.. tapi ya, bagaimana lagi, kami ingin mandi di sana,..."

"Saya yang mengajak, Bulik,.." Mas Bhima duduk bersimpuh di depanku seolah membentengiku dari segala amarah Ibu dan Ayah. Mas Bhima membelaku sepenuhnya. Aku tahu itu tak akan terlalu membantu.

"Saya minta maaf..." lanjut Mas Bhima. Ada getar tak enak yang membuatku sesak. Sementara kulihat Pakde Jum dan Istrinya hanya terdiam.

"Tempat itu berbahaya, Sayang,..." Ibu menurunkan volume suaranya. Ditatapnya kami satu per satu.

Aku memang sudah paham mengapa anak-anak tak boleh pergi ke Gedong tanpa didampingi orang tua. Banyak cerita menyeramkan yang beredar di kalangan warga dusun ini. Tentang Mbah Jenggot, penunggu Gedong, tentang anak-anak yang tak kembali, belum lagi perjalanan ke sana yang harus melewaki bukit dan hutan. Tapi menurutku, kami sudah berhasil kembali dengan selamat saja, seharusnya orang tuaku sudah bersyukur. Sungguh, dalam hatiku aku tak pernah menyesal telah mengajak Mas Bhima dan Sita ke Gedong, kami cuma anak-anak yang belum punya alternatif lain menghadapi kemarau ini.

Dan liburan lebaran itulah terakhir kali aku bertemu Mas Bhima. Bahkan ada satu janji yang belum sempat kutepati: mengajaknya ke Hargodumilah.

***

 

"Semalam, aku bermimpi bertemu Mas Bhima...."

"Wis tho,.. kamu pasti masih merasa bersalah tentang kejadian lima tahun lalu...." Bambang berujar sambil menimba air untuk wudu di sumur Mbah Mitro yang jauhnya dua kilometer dari surau. Air surau kering lagi.

"Ndak,.. aku yakin Mas Bhima ndak marah soal itu. Dia membelaku waktu aku dimarahi ibu dulu,..."

Plungggggg,... gema suara ember berpemberat itu begitu nyaring kala menyentuh permukaan air disumur sedalam tiga puluh meter itu. Susah payah Bambang menarik tali yang amat panjang itu hingga ember besar berisi lima liter air itu terangkat ke atas. Diisikannya sebagian di emberku dan sebagian untuk embernya. Kami siap pergi ke surau di tengah hari yang terik itu.

***

"Maaassssssss Rintooooooo,,.....!!!!" Nurul berseru memanggilku sambil berlari menyambutku, kala aku pulang dari surau bersama Bambang.

"Mas Rintooo,...." Nafasnya terengah-engah karena berlari.

"Ono opo?" tanyaku sambil merapikan rambut nurul yang acak-acakan.

"Ono Mas Bhima ...."

...

...

Dua puluh orang kurang lebih yang memenuhi ruang tamu di rumah Pakde Min yang kepala dusun. Diantara mereka aku melihat Mas Bhima. Berbeda sekali dari lima tahun yang lalu, Mas Bhima terlihat sangat dewasa. Badannya juga lebih besar dan tinggi. Ono opo Mas Bhima ngejak wong akeh mulih ndeso?, batinku,... aku, Bambang dan Nurul melongok-longok di balik pintu dapur, hingga Bude Min menegur kami,...

"Hush,.. ojo longak-longok koyo ngono tho,.. Le,... Nduk,...bantu bude sini,..." ujar Bude Min dari depan perapian. Bude Min sedang sibuk menyiapkan wedang dan makanan untuk para tamu itu.

"Enten nopo, tho, niku, Bude?" tanyaku penasaran sambil tetap tak beranjak dari daun pintu.

***

"Ini tugas dari kampus. Namanya KKN. Kamu nanti juga pasti akan menjalani kalau sudah kuliah..." Mas Bhima berujar pelan. Kami memilih duduk-duduk di tangga surau usai Magrib. Kangenku padanya rasanya terobati kini. Bambang setengah berlari dari dalam surau, lalu duduk di sampingku. Tak ingin ketinggalan cerita rupanya dia..

"KKN?!" Aku mengulang kata-kata Mas Bhima ...

"Wah,..ora apik iku,... wis tho, bosen aku ngomongi KKN,.. nang TV wae berita isine tentang KKN,.. ning Koran  tentang KKN,... " Bambang tiba-tiba langsung menyambung pembicaraan. Tapi sayang, salah sambung...!

Kata Mas Bhima, KKN itu Kuliah Kerja Nyata. Mas Bhima dan rombongannya ditugaskan KKN di dusun kami ini. Aku masih belum jelas apa yang akan mereka lakukan disini. Yang pasti, besok aku akan kebagian tugas menimba air lebih banyak lagi untuk keperlaun para tamu ini. Tapi, tak apalah. Kalaupun sumur kering, aku kan bisa mengajak Mas Bhima dan rombongannya ke Gedong. Aku jamin, Ibu tak akan marah lagi. Mas Bhima kan sudah besar. Lagi pula, sudah setahun ini Gedong diberdayakan kembali sebagai tempat pelatihan tentara. Aku tersenyum sendiri memikirkan rencana ini.

***

Seminggu sudah Mas Bhima dan rombongannya tinggal di dusun ini. Dan tak sekalipun aku menimbakan air untuk mereka. Ternyata mereka disini untuk menolong kami warga desa yang dilanda kekeringan. Hal yang tak pernah kuduga sebelumnya, Mas Bhima dan kawan-kawannya membuatkan tempat MCK permanen di tepi telaga kemuning. Kakus sebanyak lima pintu dan tempat pemandian umum yang terbagi menjadi dua ruang itu dilengkapi keran air yang bersumber dari air telaga yang disaring dan dialirkan melalui pipa-pipa menuju tempat MCK itu. Warga diajari cara menyuling air hingga menjadi air bersih yang siap digunakan. Tak hanya itu rupanya. Mas Bhima dan kawan-kawannya juga membuat saluran irigasi ke sawah-sawah penduduk yang sudah beberapa musim ini, tak tanam karena kekeringan. Seluruh warga sangat senang dengan kehadiran para mahasiswa KKN ini.

"Ternyata, ndak semua KKN itu jelek,..." Bambang mencoba berkelakar sambil menyaksikan lima orang mahasiswi yang sedang mengajari ibu-ibu rumah tangga cara membuat bandeng presto dan makanan lain yang jarang aku lihat.

"KKN apa dulu, Bambang,...!!" sergahku.

Mas Bhima yang baru usai membuat sumur bor di surau serta memasang keran air untuk keperluan wudu itu menghampiri kami.

"Kalau begini, ndak perlu ke Gedong, Mas...." Ujar Bambang yang membuat tawa Mas Bhima berderai.

"Iya, mengambil air juga jadi sangat dekat. Tapi ingat, harus hemat memakai air,..." Mas Bhima mengingatkan. Aku tersenyum bangga menatapnya. Aku memang benar-benar bangga punya sepupu seperti Mas Bhima.

"Mas, nanti malam kalau ndak capek, ikut aku, ya,..." ujarku.

"Kemana, Rinto?" Mas Bhima mengernyitkan dahi...

"Aku masih hutang janji,..."

"Janji,....?"

"Ke Hargodumilah..."

Mendengar itu, Mas Bhima menatapku dalam, lalu mengalihkan pandangan kearah lembah kayu putih,... ia menghela udara bukit kemuning banyak-banyak hingga kesegaran alam merasuki paru-parunya... Mas Bhima tersenyum lebar menepuk-nepuk bahuku. Aku kecewa. Pasti ia sudah lupa apa itu Hargodumilah. Lima tahun lalu perbincangan kami begitu singkat. Aku memalingkan pandangan kearah para mahasiswa KKN yang sedang membuat papan nama jalan.

"Kita akan lihat 'perta bintang', 'kan,...?" ujarnya perlahan diantara desau angin yang berkerisik diantara daun-daun pohon jati. Seketika aku menoleh kearah Mas Bhima. Senyumku begitu lebar. Tak kusangka ia masih ingat pembicaraan kami malam itu lima tahun silam.

Aku sangat bahagia. Kulihat Bambang ikut membantu para mahasiswa itu memasang patok nama jalan. Aku dan Mas Bhima tertawa bersama setiap ada tingkah lucu Bambang. Aku benar-benar bahagia, kurasa alam dusun ini juga. Angin bertiup romantis membelai lembut tiap pondok bilik warga, berbisik mesra pada dahan dan ranting, seolah turut membagikan kebahagiaan warga desa ke seluruh tanah cadas bukit kemuning. Aku benar-benar bahagia, sebahagia warga desa menyambut para pemuda yang akan membangun Kemuning.

SELESAI

Salam hangat untuk Mas Dedi, Mas Supri, Wati dan Rifda

Serta keluarga besarku di Gunung Kidul.

Teluknaga, 7-10 September 2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun