Mohon tunggu...
Riana Sari
Riana Sari Mohon Tunggu... Guru - Guru Fisika di SMAN 5 Kabupaten Tangerang

Riana Sari, Lahir di Banjarnegara, 11 Desember 1989. Karyanya antara lain: “Matematika Hidup Indonesiaku”, Juara I Lomba Menulis Puisi Matematika Nasional 2008, UNSRI. Cerpen “Api Kecil di Dermaga”, masuk dalam antologi “yang Muda yang Kreatif”, Kemenpora RI, 2010. Cerita Rakyat “Teluknaga”, Juara I Lomba Menulis Cerita Rakyat Kabupaten Tangerang 2011. Cerpen “Perempuan Hebat” masuk dalam antologi Perempuan Hebat, IPP-NU, 2011, Cerpen “Selendang Biru di Akar Bakau” menjadi pemenang lomba menulis cerpen mangrove, KeseMat, UNDIP, 2012, Cerpen “Laso” menjadi Juara prospektif, lomba cerpen kearifan lokal, Yayasan Obor Indonesia, 2013.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kemuning

4 Juni 2023   22:16 Diperbarui: 4 Juni 2023   22:26 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menonton pesta bintang seolah menjadi jadwal wajib usai sembahyang di surau. Kami langsung menggulung sarung dan menaiki tumpukan kayu bakar di halaman rumah Pakde Sar. kayu bakar membentuk tumpukan tinggi dan cukup lebar untuk menjadi alas tubuh kami berlima :aku, Mas Bhima, Bambang yaitu putra tunggal Pakde Sar, Nurul adikku, dan Mbak Sita.

Kami merebahkan tubuh diatas kayu-kayu kering itu. Wajah kami memandang langit sepenuhnya. Kami melihat bintang yang jumlahnya jutaan, menyaksikan meteor yang kerap melintasi langit malam. Kami mengandai tentang cita-cita kami di masa depan, seperti halnya orang tua kami yang sedang mengandai tentang masa depan anaknya sambil minum teh di beranda. Kami tertawa di bawah jutaan bintang yang mempesona. Semua bahagia dalam kebersamaan itu.

"Disini, bintangnya banyak ya, Mas..?! Nggak kayak di Jakarta..." Sita menyikut lengan Mas Bhima.

"Sebenarnya sama saja, Sita,..." jawab Mas Bhima. "Hanya saja, di kota-kota besar, cahanya bintang tersamar cahaya jutaan lampu dari ratusan gedung-gedung pencakar langit." Sita mengangguk-angguk tanda mengerti. Aku juga turut mengangguk-angguk, seolah mengerti. Sementara Bambang, malah melongo sambil menoleh polos kearah Mas Bhima. Pada esok harinya aku tahu yang membuat Bambang bingung adalah tentang gedung yang bisa mencakar langit. Hal itu ia tanyakan langsung padaku. Membuat perutku mulas karena geli.

 "Kalau mau melihat pemandangan bintang dengan jelas sekaligus kerlip ribuan lampu, nanti aku ajak ke Hargodumilah,..."

"Hargodunilah...?!" Mas Bhima mengulang apa yang baru saja aku sebutkan.

"Ya, itu bukit bintang di Wonosari, tempate oapik tenan, Mas...." Jawabku, dengan logat jawa yang dibuat-buat.

"Janji, ya,... Rinto, ajak aku ke Hargodumilah,...?!" Mas Bhima berujar pelan sambil kembali menatap langit. Aku mengangguk pasti.

***

Liburan itu seharusnya menyenangkan, hingga di suatu pagi, "Sumur kering...," Ibuku berujar terbata sambil meletakkan cangkir-cangkir berisi teh manis hangat di atas meja. Pakde Jum terdiam, sambil melirik istrinya. Ayahku nampak berpikir, sementara kulihat Mas Bhima dan Sita Nampak bengong saja. Semua yang ada disini tahu apa artinya itu. Sumur kering, berarti kami akan kesulitan air bersih. Bagi aku dan keluargaku, mungkin hal itu sudah sangat biasa, kami bisa saja mandi dan mengambil air dari sungai yang jauhnya lima kilometer dari sini, tapi untuk tamu-tamu ini, rasanya aku tak sampai hati.

"Lalu, kalau kering begini, biasanya ambil air dimana, Bulik?" Bude Jum memecah keheningan ruang tamu. Ayah dan Ibuku saling berpandangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun