Jika derita adalah napas mu. Hirup lah sekuat kau mampu.
Dan jika cinta tak lagi tersisa. Lepaskan lah, tanpa harus mencipta luka.
---
"Baik, mari kita bersepakat."
Zuna bergeser lebih mendekat, kurasa untuk mencegah agar percakapan kami tidak didengar oleh orang di sekitar.
" Kita sudah sama-sama dewasa, sudah lama saling mengenal, pastinya kamu tahu kalau aku mencintaimu," ucapnya di telingaku.
Aku tahu.
Lalu tangannya meraih tanganku. Ku biarkan saja.Kini, tak ada lagi yang kurasakan. Padahal dulu jantung ku selalu bergetar, bahkan ketika hanya saling pandang.
"Ku hargai niat baik mu. Tapi aku minta maaf, aku tidak bisa dan tidak mau kita menikah." ku beranikan diri berbicara sambil menatap lurus ke arah matanya.
Dia tidak terkejut, namun wajahnya sendu dan tatapannya berubah sayu.
"Coba pikir, seandainya kita menikah, lalu kau membawaku dan Juniar. Kami lalu berganti peran, aku menjadi ibunya, kau menjadi ayahnya, dan Niar memanggil Om kepada adikku, apa gak bingung tuh anak?" geli dan sedih aku membayangkan bagaimana jadinya.
"Konyol sekali, keegoisan orang dewasa, akan berdampak pada jiwa anak yang sedang berkembang," lanjut ku.
Sekarang Zuna terdiam. Berupaya mencerna kata-kata ku.
"Oke, aku paham, asalkan bukan karena sudah ada orang lain."ujarnya pasrah.
"Tidak!" sergahku jujur.
"Ini menyangkut Juniar semata. Biarkan keadaan tetap seperti ini!" tukasku.
"Lalu, apa yang boleh kulakukan? aku ingin tetap menjadi bagian diantara kalian." bagaimana ya sebaiknya?
"Ijinkan aku, please!" gamang juga perasaan ku, melihat Zuna seperti ini.Â
"Kupikir, kau boleh menjadi donatur tetap di Panti Asuhan yang kami kelola." tiba-tiba ide itu muncul begitu saja di kepala ku. Mungkin inilah jalan tengahnya.
" Semoga itu akan menjadi amal jariyah mu. Mari menabung amal baik sebanyak yang kita mampu. Berharap dosa-dosa melebur, berkah dari rasa peduli pada mereka yang membutuhkan bantuan."kataku kemudian.
---
Sore itu, seperti biasa, kegiatan rutin ku, dengan anak- anak panti asuhan, membaca buku cerita bersama. Pertama, aku yang akan bercerita. Lalu ku minta mereka bertanya jika ada hal yang belum dimengerti.
Setelahnya, ku minta mereka memilih buku sesuai minatnya, membawa buku itu dan pada pertemuan berikutnya mereka harus bercerita satu persatu.
Dulu awalnya aku sempat kaget, ternyata bercerita adalah hal sangat sulit bagi anak-anak yang masih duduk di bangku SD. Bukan saja pada hal menyusun kata-kata, melainkan juga bagaimana cara mengungkapkannya.
Aku yang belum pengalaman mengasuh anak, dan harus menempatkan diriku sebagai orang tua asuh, mau tak mau aku harus mencari ilmu. Ku baca buku-buku parenting, pun belajar dari beberapa artikel di media daring.
Alhamdulillah, sedikit demi sedikit aku mulai mengerti. Ku tempatkan diriku seakan mereka anak-ku sendiri. Berusaha sabar dan telaten menghadapi sifat anak yang berbeda satu sama lainnya.
---
Aku menceritakan hasil kesepakatan kami kepada adikku lewat telepon.
"Seperti yang sudah pernah mbak bilang ke kamu, sejak meninggalkannya dulu, sejak itu aku selesai dengan Zuna,"
Ku sambung lagi"kelahiran Juniar tidak mengubah keputusan ku, pun kedatangan Zuna sekarang. Ku anggap dia orang yang lewat dalam perjalanan hidupku. Itu saja."
" Dan Mas Zuna menerima begitu saja?"
"Harus!" jawabku tegas.
"Kamu tidak perlu berpikir berlebihan, Zuna cukup bijaksana menyikapi situasi. Mbak sudah cukup lama dekat dengannya. Dia akan menepati janjinya untuk tidak mengusik kehidupan Niar." ku jelaskan lagi.
"Syukurlah kalau begitu, aku sedikit lega."
---
Namun keesokan paginya, sesuatu yang tak kuduga membuat ku panik sesaat. Ketika adikku menelpon.
"Mbak, Mas Zuna ada di sekolah Niar, katanya tadi sudah telpon ke sampean tapi tak terjawab!"haa..? apakah dia mau menculik Niar ku?Â
Aku yang usai salat duha, gegas ku lepas mukena dan ku sambar jilbab sekenanya, tak peduli lagi entah serasi dengan warna bajuku atau tidak.
Ooh..kunci motor, baru ingat saat sudah duduk di jok, astaghfirullahhal adziiim.
Apa ku telpon dulu Zuna yaa..
Ooh .lagi! ponselku masih di kamar.
Tenaang... tenaang..aku berusaha tenang, membaca istighfar di dalam hati, melajukan motor menembus keramaian jalan raya.
Masih setengah perjalanan lagi dari jarak 700 meter yang akan ku tempuh.
Innailaihi wa innailaihi roji'un, di depan terlihat serombongan orang mengusung keranda hendak menuju pemakaman,
Itu berarti berhenti sejenak, sampai iring-iringan lewat.
Ooh.. Tuhan, semogaa tidak ada apa - apa yang perlu ku cemaskan.
Begitu iring-iringan lewat, bum...aku tancap gas dengan perasaan tak karuan. Namun masih sadar untuk berlaku hati-hati di jalan.
Jalan ini mengarah ke objek wisata. Selalu ramai dilewati mobil travel dan bus yang mengangkut wisatawan.
 Akhirnya... alhamdulillah, sampai dengan selamat di depan gerbang TK Aisyiah. Syukurlah aku belum terlambat. Kulihat ibu-ibu yang menjemput putra-putri nya, masih menunggu di depan gerbang. Aku pun bergabung, menyapa sambil jabat tangan beramah-tamah.
Setelahnya aku mundur sambil mengamati sekeliling, di mana Zuna?
Dan ditengah gundah ku, ada yang menepuk pundak ku dari belakang. Reflek aku menengok.
Zuna?
Dia menarik ku menjauh. Beberapa langkah menuju motorku diparkirkan.
"Apa niatmu datang ke sekolah Niar?"tanyaku menahan amarah.
" Lah? aku kan sudah chatt kamu sebelum ke sini, karena telpon ku tak terjawab!"
Astagaaa, jadi mungkin saat aku ambil air wudhu.
Tak lama kemudian... terdengar riuh anak- anak yang keluar dari ruang kelas.Â
Kami kembali mendekati gerbang.
Satu persatu anak-anak keluar, dan Juniar ada di barisan tengah. Kami bertemu pandang. Niar melambaikan tangannya. Berlari kecil mendekat.
"Bu Dhe yang jemput Niar? ayah ke mana?"tanya Niar sedikit heran.
"Ada di rumah, ini Om Zuna mau pamit ke Niar." alasan yang kukira tepat.
"Ooohh...Om Zuna mau pulang? "Â
"Iya, Niar. Belajar yang rajin ya, insyaallah, Om akan kirimkan buku cerita yang banyak."wajah Zuna berseri memandang Niar.
"Mauuu... terima kasih,Om Zuna." riang benar Niar, kalau tentang buku cerita.
--
Boleh jadi di luar sana, ada wanita yang bahagia dengan pilihannya untuk menjadi istri. Aku pun memilih jalanku sendiri. Karena setiap orang memiliki caranya menjalani hidup masing-masing.
Berdiri di persimpangan jalan cinta. Langkahku akan tetap lurus ke depan. Menuju cinta yang lain. Kepada anak-anak yang kehilangan cinta orang tuanya.Semoga dengan cinta yang kuberikan, dapat membantu mereka berdiri tegak , percaya diri menapak jalan masa depan.
Selesai.
---
Terima kasih, teman-teman Ker's yang telah membaca cerita ini. Sampai jumpa di cerbung yang lain.Insya Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H