Menjalani hidup tak hanya tentang cinta.Dan adalah cinta tak hanya tentang asmara.
Jika aku pejalan, langkahku jauh sudah. Perihal cinta, hanyalah sepenggal kisah. Merupa kabut yang kan lindap saat senja. Menjelma bintang -bintang di angkasa.
---
"Panti Asuhan?"
"Iya, adik laki-lakiku yang mengelolanya, dia adalah waliku setelah kedua orangtua kami tiada."
Bangunan bertingkat tiga itu tampak sepi di luar, anak-anak panti pastinya belum pulang sekolah. Pintu rumah di lantai dua terbuka.
Ku buka pintu pagar perlahan, suara gesekan pagar besi, memunculkan seraut wajah kecil dari atas.
"Bu dheee ...," lengkingan suara nya diikuti langkah kaki tapak demi tapak menuruni tangga, sebelah tangannya berpegangan pada sisi tangga. Masih mengenakan seragam sekolah TK-nya.
Sampai di bawah, begitu saja dia menghambur dalam kedua tanganku menyambut nya.
Uuff...lalu kuangkat badannya yang berisi ke dalam dekapan ku. Ku usap peluh di keningnya dan ku kecup lembut.
Betapa rasa ku selalu takjub setiap kali memeluknya. Gadis kecil ini telah membawa perubahan positif dalam perjalanan hidupku.Â
"Kok belum ganti baju?" ku rapikan rok bawahannya yang sempat tertarik keatas.
Dia tak menjawab ku, melainkan tanpa rasa takut melihat kepada orang yang datang bersama ku. Lalu memandangku dan beralih ke dia lagi. Memberi isyarat bertanya, itu siapa?
"Ooh..ini Om Zuna teman Bu Dhe dari ibukota, Salim dong!"seruku.
"Ibukota itu Jakarta kan, Bu Dhe?" sambil bertanya begitu lalu melorotkan badannya turun.Â
"Selamat datang di rumah kami," seulas senyum menyambut tamu yang datang.
"Pintarnya, gadis manis siapa namamu?"Â
"Nama saya Ju ni ar, karena lahir bulan Juni, kata Bu Dhe." kenes ucapannya tanpa malu-malu laiknya anak seumuran 6 tahun.
" Woow...manis sekali !" dicubitnya halus pipi gembil gadis kecil itu.
"Cantiiknyaa. sini," Zuna merendahkan tubuhnya, si Juniar tanpa takut pun mendekat.
" Kok nama Om kayak namaku,ya ..Jun-na dan Jun-ni, hi hihi ." kikiknya menggelikan.
Namun ucapannya barusan terasa seperti cubitan halus di dadaku. Â
Zuna reflek mendongak ke arahku.Bukannya menanggapi omongan Juniar. Lekat matanya mengamati Juniar dari ujung kaki hingga ke puncak kepala. Dielusnya rambut ikal sebatas bahu yang hitam legam seperti ikal rambutnya.
Tapi memang dasar Juniar, dia malah balik menatap, seakan sudah kenal sebelumnya.
Mereka berdua saling pandang seolah berbicara dari hati ke hati.
 Sesaat kemudian..
"Pipi Om basah," terdengar suara lirih serupa gumaman. Tangan Juniar merogoh kantong baju, mengeluarkan tissue, mengusap pipi Zuna.
Zuna mengerjap-ngerjapkan matanya, seakan berusaha menahan titik air yang akan jatuh dari bola mata bulatnya.
Ooh. Tuhan. Adegan ini! mengetuk-ngetuk dadaku.
Cerobohnya diriku! Situasi ini diluar prediksi ku.
"Niar.. ayo ganti bajunya dulu!"tak ingin berlama-lama, segera kami menaiki tangga.
Zuna membuntuti di belakangku.Â
"Bu Dhe, kapan Niar dibacakan cerita yang baru,? Â besok malam minggu, Bu Dhe menginap di sini, kaan..?"Â suara manjanya sedikit mengurangi ketegangan sesaat tadi.
"Insyaallah, tapi Niar harus rajin belajar membaca, supaya bisa membaca sndiri semua buku cerita yang Bu Dhe  belikan!"
"Siap, Bu Dhe!" dengan riang lalu gegas mencapai undakan tangga terakhir.
Bersamaan kami sampai di balkon, adik laki-lakiku dan istrinya menyambut di depan pintu. Sebelumnya aku sudah berkabar kalau akan mengajak Zuna bertemu.
"Ayah...., ada teman Bu Dhe dari Jakarta, namanya Om Zuna, namanya  kayak namaku ya, Ayah?"ah..Niar, antusias sekali.
Laki - laki muda berbaju koko putih itu terhenyak sesaat, berupaya tenang dengan terkekeh lirih,"ya banyak lah orang yang namanya hampir sama. Temanmu juga ada yang namanya sama, kan?"jawaban yang masuk akal, batinku.
"Oh...iya ya, lupa, teman Niar yang namanya Dewi ada 2, jadiii...Bu Guru kalau panggil Dewi, ada Dewi satu, trus Dewi dua." celotehnya.
"Nah, sekarang Niar mengerti? sama gih ganti bajunya dulu!"serunya.
"Ya, ayaaah..., eh tapi Niar mau ganti baju dengan, Bu Dhe!"pintanya, sambil menarik tangan ku menuju kamarnya.
Sekalian memberi ruang Zuna bicara dengan adikku dan istrinya, pikirku.
---
Pulang dari rumah adikku, kami ke cafe di tepi sawah.Mencari suasana yang nyaman untuk bicara.
Ku pesan dua cangkir kopi dan sedikit gorengan.
"Mengapa dulu kau tak memberitahu aku perihal Juniar?"Zuna membuka kata. Kami duduk bersisian menghadap ke hamparan sawah yang menghijau oleh tanaman padi.
APa yang harus kukatakan? Sejak meninggalkan ibukota, aku sudah memutuskan selesai dengan Zuna. Bertekad menjauh dari masa lalu. Membuka lembaran baru.Meniti jalanku sendiri. Mengapa pula dia datang lagi.
"Dia bertalian darah denganku, bagaimana mungkin aku akan mengabaikannya?"
Aku masih terpaku diam, ku putar-putar perlahan cangkir kopiku, seperti memutar kembali rekaman memori di satu malam bertahun -tahun lalu.Khilaf kami sesaat telah menjungkirbalikkan hidupku.
Hukuman Tuhan atas norma yang ku langgar. Karierku berantakan. Kesakitan bertarung nyawa sehari semalam melahirkan Juniar.Lalu satu tahun kujalani hidup di tempat pengasingan.
Sampai hari ini pun aku tak pernah berhenti memohon ampunan Tuhan, pada setiap helaan nafasku adalah istighfar.
Jika aku memutuskan untuk pergi setelah peristiwa itu,adalah mencegah hal itu tidak terulang kembali, mencegah ku terjerumus lebih dalam ke kubangan dosa.
Karena aku meragukan  diriku sendiri, akankah mampu menahan godaan setan bila kami tetap berdekatan. Sudah jelas bahwa dia memiliki keluarga.Harapan apa yang ku punya?Â
"Bukankah adikku sudah menceritakan semuanya padamu?"ujarku.
"Benar, sangat detail,"berhenti sejenak.
"Aku  merasa kerdil dihadapan adikmu. Terlebih dia tidak memberiku ijin untuk berbuat apapun yang berhubungan dengan Juniar."lanjutnya.
Hemm .. sudah kuduga. Aku paham jalan pikiran adikku.Dia tegas kalau menyangkut Juniar.
"Lalu apa yang boleh kulakukan setalah semuanya terjadi begini,"Â
"Apa yang boleh kau lakukan,? pertanyaannya itu terdengar aneh bagiku.
" Benar, apa yang boleh kulakukan? aku mengenalmu lebih dari yang kau tahu. Apa pun keputusanmu selanjutnya, aku ikuti!'
Ooh..leganya hatiku. Dia orangnya cepat tanggap. Ini yang aku respek.
" Baik, mari kita bersepakat!"
-bersambung-
Sampai jumpa di bagian 3.
Terima kasih, kawan- kawan Ker's yang telah membaca cerita iniÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H