"Maksudmu.? ku posisikan dudukku menghadap ke arahnya.
" Dia meninggalkan kami memenuhi panggilan Tuhan."kedua telapak tangan Zuna mengusap wajahnya.
"Ooh.. innalilahi wa innailaihi roji'un," kata bela sungkawa ku dalam keharuan.
"Takdir manusia, dia yang tampak sehat sebenarnya diam- diam menahan kesakitan sendiri karena tidak ingin membebani pikiranku."lirih suara Zuna seakan berbisik.
Dulu Zuna pernah bercerita bahwa Taruna akan menjadi putra satu-satunya karena istrinya tidak boleh mengandung lagi, berbahaya bagi kesehatan nya.
Kesunyian pecah kala ponselnya bergetar. Tanpa beranjak dari duduknya, diangkatnya telpon itu.
Aku hendak permisi, agar dia leluasa bicara, tapi...Zuna memberi isyarat dengan tangannya mencegahku berdiri setelah membaca nama panggilan di layar ponselnya.
"Ini Taruna yang telpon, hanya pembicaraan ayah dan anak."ujarnya.
Sementara dia bicara, aku membuka Kompasiana, memeriksa artikel yang sudah publish semalam. Beberapa teman menyematkan vote, menarik, inspiratif, bermanfaat, dan beberapa berkomentar.Â
Tidak lama dia bicara, lalu ponselnya diulurkan padaku.
"Taruna ingin menyapamu, terimalah..," aku menatapnya dengan penuh tanda tanyaÂ