Mohon tunggu...
Umi Setyowati
Umi Setyowati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Suka membaca apa saja, sesekali menulis sekedar berbagi cerita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Persimpangan Jalan Cinta

8 September 2024   16:59 Diperbarui: 8 September 2024   17:18 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bertemu dengan mantan, tak harus bermusuhan bukan? Meski detak jantung berkejaran. Bisa?

Kenapa tidak! Ketenangan akan membuat hatimu damai, kata orang bijak lagi, seratus kawan masih kurang dari pada satu musuh.

Dan pernahkah kau berpikir bahwa cinta itu rumit? Ketika masalah datang berjilid-jilid . Serasa membelit di sekujur tubuh. Keberadaanmu seakan terjepit di dunia yang sempit. Luka lara yang menahun tak kunjung terbalut. Bagimu cinta hanya akan membuat hidupmu lebih sulit.

Aku sudah merasakan nya. Bukan berarti patah hati. Tidak, kau salah! Ini hanya sebentuk kebingungan ketika berada di persimpangan jalan.

***

Senja yang merona, mentari memamerkan pesona jingga nan indah. Menemani kami menikmati kopi robusta bersanding dengan keripik buah-buahan di atas meja.

Dia datang dari ibukota tadi siang, tanpa diundang. Muncul begitu saja di depan pintu rumahku.Membawa sekeranjang kenangan masa silam.

Masa- masa menulis bersama di Kompasiana. Karena dia aku berpuisi. Bersamanya merangkai kata cinta, namun tersebab dia pula aku menepi ke kota kecil ini. Menyeret sekoper serpihan-serpihan hati.

"Kejutan!" ucapnya, saat kubuka pintu tadi.

Dia memilih duduk di teras menunggu aku membuka pintu dari pada mengganggu tidur siang ku. Begitu katanya.

Aku tak menyangka dia benar -benar akan sampai di kotaku, berdiri di depanku.  Setelah sewindu kami tak bertemu.

" Aku suka dengan suasana pedesaan ini." Zuna membuka kata. " betapa Tuhan Maha Kuasa,menciptakan panorama alam nan indah." lanjutnya sambil memandang hamparan kebun petani di kejauhan.

Kuikuti pandangnya tanpa kata, dalam hatiku bertanya-tanya, apa tujuan dia mengunjungi ku? Terbang 2 jam, lanjut menumpang taxi 1 jam sampai di tempat tinggal ku. Bukan perjalanan yang hanya lewat tentunya.

"Kau betah tinggal di sini,? bukannya kau tak tahan pada udara dingin?" Dia menoleh ke arahku.Kami duduk dipisahkan oleh meja kecil. 

"Awalnya memang aku tak tahan, setiap hari baju yg kukenan harus berlapis-lapis untuk menahan udara ingin.Malam pun saat akan tidur, aku harus berselimut tebal, seluruh tubuh ku harus tertutup." Jawab ku.

"Tapi itu hanya masalah iklim. Yang terpenting bagiku, terasa nyaman, jauh dari kebisingan kendaraan yang membawa polusi, aku hanya perlu beradaptasi saja." kataku lagi.

Hening sejenak.

"Apa kau dapat tender proyek di  kota ini?" akhirnya aku tak sabar lagi untuk bertanya.

"Nah, kau masih saja tidak sabaran." senyum tipisnya meledek ku. Lalu menyeruput kopinya yang tak lagi mengepulkan asap.

"Aku sudah tidak di proyek lagi. Ada usaha kecil-kecilan yang bisa kulakukan dari rumah, aku sengaja mau bertemu denganmu, tidak ada yang melarang kan?" candanya, sepotong keripik apel diambilnya.

Hemm.. dalam hatiku. Kalau sekedar bertemu tidak masalah. Tapi membuatku salah tingkah  berhadapan dengan mantan, yang datangnya tiba-tiba pula. 

" Apa kabar nyonyamu dan si Taruna?" ku alihkan topik dulu lah 

Sesaat, dia terdiam, punggung nya disandarkan, pandangan nya mendongak ke langit-langit balkon, menerawang. Mengapa pertanyaan biasa saja tapi susah dijawab? Mengherankan.

"Taruna sudah kuliah di semester akhir sekarang,"

Terdiam lagi.

Aku menunggu dia menjawab pertanyaan ku tentang istrinya. Wanita sederhana yang lembut dan soleh.Yang hampir saja ku sakiti hatinya. Dikiranya aku hanya  teman di komunitas penulis suaminya, seperti teman- teman perempuan Zuna yang lain.

Pernah saat ulang tahun Taruna, Zuna memintaku untuk datang bersama teman-teman yang lain. Sekedar syukuran kecil katanya.

Nyonya rumah menjamu kami dengan sangat ramah. Santun nan anggun. Itu kesanku.

Berhari-hari kemudian,sejak aku bertemu istri dan anak Zuna, aku mulai menyadari satu hal. Setelah melihat bagaimana tutur katanya , penampilannya, sikapnya, dan kulihat dengan jelas bagaimana aurora cerah wajah wanita yang solehah terpancar.

Sungguh aku merasa malu kepada diriku sendiri. Pun malu kepada Tuhan karena telah berbuat dosa. Bagaimana mungkin aku akan merusak tatanan kehidupan wanita lain yang adalah kaumku sendiri.

" Dua tahun yang lalu, Ibunya Taruna meninggalkan aku." 

Jawaban Zuna membuatku terkejut. Wanita sederhana dan Solehah itu bisa meninggalkan suami dan anaknya?

"Maksudmu.? ku posisikan dudukku menghadap ke arahnya.

" Dia meninggalkan kami memenuhi panggilan Tuhan."kedua telapak tangan Zuna mengusap wajahnya.

"Ooh.. innalilahi wa innailaihi roji'un," kata bela sungkawa ku dalam keharuan.

"Takdir manusia, dia yang tampak sehat sebenarnya diam- diam menahan kesakitan sendiri karena tidak ingin membebani pikiranku."lirih suara Zuna seakan berbisik.

Dulu Zuna pernah bercerita bahwa Taruna akan menjadi putra satu-satunya karena istrinya tidak boleh mengandung lagi, berbahaya bagi kesehatan nya.

Kesunyian pecah kala ponselnya bergetar. Tanpa beranjak dari duduknya, diangkatnya telpon itu.

Aku hendak permisi, agar dia leluasa bicara, tapi...Zuna memberi isyarat dengan tangannya mencegahku berdiri setelah membaca nama panggilan di layar ponselnya.

"Ini Taruna yang telpon, hanya pembicaraan ayah dan anak."ujarnya.

Sementara dia bicara, aku membuka Kompasiana, memeriksa artikel yang sudah publish semalam. Beberapa teman menyematkan vote, menarik, inspiratif, bermanfaat, dan beberapa berkomentar. 

Tidak lama dia bicara, lalu ponselnya diulurkan padaku.

"Taruna ingin menyapamu, terimalah..," aku menatapnya dengan penuh tanda tanya 

"Please!" Zuna memohon. Sambil meletakkan ponselnya di genggaman tangan ku.

Aku bingung sebenarnya, mengapa Taruna mau bicara denganku? Dan mengapa pula Taruna perlu tahu kalau ayahnya sedang di rumahku. 

Memang dulu kami pernah beberapa kali bertemu, cuma sebatas berjabat tangan sebagai penghormatan dia kepada teman -teman ayahnya.Dan perbincanganku dengan Taruna hanya sekedar bertanya, bagaimana sekolahmu? Dan apakah Taruna juga suka menulis seperti ayahnya? Cuma sebatas itu. Dia baru masuk SMA kala itu.

" Assalamualaikum,"terdengar suaranya yang lembut dan sopan, bertanya apakah aku sehat?

"Waalaikum salam, Alhamdulillah saya sehat wal'afiat, semoga Taruna juga sehat . Belajar yang rajin ya.."

Tidak lama kami bicara, setelah Taruna mengucapkan salam penutup, ponselnya dimatikan. Lalu ponsel Zuna pun ku kembalikan.

Ah,mengapa tetiba irama di dadaku berantakan sih.

Kenyataan bahwa istri Zuna sudah meninggal. Kedatangannya yang disengaja, lalu Taruna seakan-akan ditautkan berkomunikasi dengan ku. Rangkaian kejadian ini seperti sudah direncanakan.

Ada apa ini?

***

Akhir kata;

Penulis itu ibarat seorang dalang, namun akan terasa membosankan jika tulisan terlalu panjang. Lain hari dilanjutkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun