Pak Yudiawan adalah pemilik Batavia Air. Saya tidak kenal dekat beliau, tapi kami dulu sering bersama-sama di asosiasi airlines. Saat saya mengirim sms ke beberapa pemilik dan pemimpin airlines, dia yang paling duluan menjawab bersedia. Terus terang saya kaget, karena pengusaha biasanya menghindari penegak hukum. Segera saya temui beliau dan menyampaikan dokumen yang diperlukan. Waktu saya bertanya mengapa bersedia, dia menjawab bahwa perkara ini mengusik rasa keadilannya. Sepanjang yang dia ketahui dari pemberitaan, dia yakin kejadian ini bukan pidana korupsi, tapi murni resiko di bisnis sewa pesawat. Kemudian, dia menegaskan akan membela saya bahkan sampai ke pengadilan. Saat pemeriksaan dia sebagai saksi ahli oleh Kejaksaan selesai, saya menemuinya dan mengungkapkan rasa terima kasih yang mendalam.
Pak Tengku Burhanuddin adalah Sekretaris Jendral INACA, asosiasi airlines Indonesia. Beliau adalah tokoh yang sangat dihormati di kalangan airlines. Ketika dia bersedia menjadi saksi ahli, saya sangat gembira, karena dia menjadi saksi nyata bahwa di tahun 2006-2007 itu seluruh airlines di Indonesia memperebutkan pesawat tipe B-737 Family itu, dan selalu ada resiko dalam sewa menyewa pesawat. Setelah pemeriksaan, dia memberi semangat kepada saya agar tabah menghadapi kasus ini. Dia pun bercerita bagaimana ayahnya, seorang tokoh ningrat masyarakat Deli, harus meringkuk di penjara beberapa tahun di tahun 1960-an karena dicurigai terlibat PRRI. Sejak itulah dia merasakan bagaimana sakitnya mengalami ketidakadilan dan penindasan.
Pak Yoseph Suardi Sabda adalah mantan jaksa senior di Bagian Perdata dan Tata Usaha Negara (DATUN) di Kejaksaan Agung. Dia adalah saksi kunci dari pengejaran uang deposit Merpati. Sebelum dia berangkat ke Amerika Serikat untuk mengikuti sidang mediasi di pengadilan Washington DC, dia sempat menduga ada kemungkinan persengkongolan antara TALG dan pejabat Merpati. Setelah dia mengikuti sidang mediasi pada 18 Juli 2008, yang dihadiri semua pihak yang terlibat, termasuk Jon Cooper dan lawyer Alan Messner, dia berkesimpulan sebaliknya. Pada saat hakim bertanya kepada Jon Cooper apakah ada kerjasama dengan orang Merpati dalam penggunaan dana itu, Cooper menyatakan tidak ada. Sebagai ahli hukum, Cooper tidak bisa berbohong lagi di hadapan hakim, karena ancaman pidana berbohong akan melampaui kesalahan penggelapan. Setelah itu, Pak Yoseph memberitahu Direksi Merpati waktu itu bahwa kasus ini murni perbuatan jahat Cooper dan Messner.
Hal yang menggembirakan saya juga terjadi di saat menghubungi pakar hukum Prof. Andi Hamzah, Prof. Erman Rajagukguk, Prof. IBR Supancana, dan Pak Said Didu. Mereka dengan gesit mengurai perkara ini dan menganalisa dan memberi argumen masing-masing sesuai bidangnya. Semoga nantinya, para hakim yang memeriksa perkara ini mendapat pengertian tepat atas fakta-fakta yang terjadi.
Pada akhirnya, para saksi dan ahli itu merumuskan bahwa: kasus ini tidak mengandung unsur pidana dan tidak ada unsur kesengajaan. Direksi Merpati telah memutuskan sesuai prosedur dan kewenangan yang dimiliki. Penempatan deposit dalam bentuk cash dan di kantor hukum adalah lazim; dan uang deposit itu tidak hilang, karena Merpati punya hak tagih.
Memang Tuhan mempunyai kuasa untuk mengirim siapapun untuk menjadi malaikat penolong kami. Semoga Tuhan membalaskan kebaikan dan kejujuran mereka.
(gambar: Meresmikan penerbangan pertama ke Mamuju bersama Gubernur Anwar Adnan Saleh, Cucuk Sugiarto, Malkan Amin dan Said Didu.)
(gambar: Pembukaan kembali rute ke Ambon setelah memperoleh pesawat B737-300 pada Agustus 2007.)
PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)
PROF. DR. ANDI HAMZAH, S.H.
Guru Besar dalam Ilmu Hukum PidanaUniversitas Trisakti
Kasus Posisi
Fakta-fakta hukum dalam peristiwa hukum (secara garis besar) bahwa pada sekitar Desember 2006 PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) bermaksud menyewa 2 (dua) pesawat terbang yang akan dipergunakan untuk menjalankan bisnis /usahanya di bidang industri transportasi udara. Dalam usaha mencari pihak yang menyewakan pesawat terbang PT MNA pada akhirnya bertemu dengan Thirdstone Aircraft Leasing Group (“TALG”). Selanjutnya mereka sepakat mengikat diri dalam suatu perjanjian sewa menyewa pesawat terbang. Setelah PT MNA menempatkan Security Deposit dalam bentuk tunai berjumlah U$$ 1.000.000,-(satu juta US$) atau US$ 500.00/per pesawat. Setelah jatuh tempo, TALG ternyata tidak menyerahkan pesawat terbang sebagaimana yang telah disepakati dalam perjanjian.