Keenam, lelaki adalah seburuk-buruknya korban politik. Puncak dari 10 episode Gelas Kaca adalah pembalikan tak terduga yang dilakukan Raka.Â
Serangan Laras, dkk dibikin seperti pukulan yang menghajar bayangan sendiri. Raka memilih membela Gita dan melepas keluarga demi ambisi politiknya. Ia melihat masa depannya sebagai ketua partai dengan elektabilitas yang baru.Â
Raka memilih menjadi pion dari skenario Gita. Ia telah menjadi jenis baru yang tidak lagi mau berikat pada janji-janji lama (al: kesetiaan kepada keluarga, family man).Â
Persekutuannya dengan Gita adalah koalisi politik yang berikat pada kepentingan kekuasaan, mungkin dengan pernikahan sebagai pemanis saja.
Raka adalah gambar ketika laki-laki menjadi korban politik, tanpa imajinasi, minus strategi tandingan, dan nirinisiatif. Satu-satunya yang ia miliki ambisi yang menghalalkan apa saja.Â
Bukankah yang semacam ini adalah jenis korban kekuasaan yang sungguh-sungguh buruk?
Penutup. Saya menyukai Gelas Kaca karena ia tidak memberi porsi yang besar bagi sentimentalisme yang mengharu biru kepada para korban yang berkoalisi di posisi Laras. Deretan para perempuan modern dengan naluri politik yang dangkal.
Sebaliknya, Gelas Kaca adalah biografi seorang Gita, yang dilecehkan bertahun-tahun lama oleh kekuasaan laki-laki. Dalam arus balik perlawanannya, ia menjadikan Raka sebagai perkakas politik yang sempurna. Lelaki dengan seburuk-buruknya korban.
Aura Kasih, kamu keren.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H