Membaca ini, saya teringat hidup saya sendiri. Virus celaka telah memaksa saya harus diam di rumah, tak terkecuali. Saya cemas sebab tak bisa menghasilkan uang tapi saya lebih hepi sebab mengalami rumah.Â
Hari-hari dihabiskan dengan bocah laki-laki, sejak bangun tidur hingga tidur kembali. Kami ngobrol, bermain, tertawa, dan sesekali bertengkar. Ini membentuk ikatan yang kuat.
Selain itu, saya teringat sambal buatan ibu. Walau sudah sepuh, sambalnya tetap diulek tangan dan lembutnya masih mengalahkan kerja dari blender.
Khotbah di Atas Bukit mewakili diari dari orang-orang yang dipaksa pulang oleh wabah, berhenti bekerja dan kembali kepada rumah, ayah dan ibu. Kembali kepada kasih yang membuat mereka tak sepenuhnya kalah.
Kamu juga merasa begitu, gak?
Tentu saja ada, selain dua ini, masih ada puisi yang bakalan membuat pembaca terkenang pada semesta yang bertahun-tahun dibentuk oleh mantra globalisasi.Â
Salah satunya adalah kepada negara, unit politis yang paling (berambisi) mengatur hidup kita.Â
DI LAPAK BUKU BAJAKAN
Di lapak buku bajakan
negara belanja buku-buku
sambil pura-pura bertanya,"Ini asli, kan?"
Kami sedang merayakan secangkir royalti
di kedai minum, tidak jauh dari mereka.
Chairil tertawa dan berkata:
"Sudahlah, gaes, jangan
terlalu berharap kepada negara.
Berharaplah kepada senja, hujan dan kopi."
Sebagai sebuah kritik sosial, puisi ini adalah satire yang tajam. Kita tahu, negara atas nama ketertiban umum atau kepentingan nasional, mudah sekali membakar buku atau menghukum pengarang.
Negara mereproduksi ketakutan sekaligus unit terdepan yang memadamkannya. Negara selalu memiliki siasat yang jitu untuk melegitimasi keadaan darurat dan menggelar aparatur represifnya.Â