Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Khotbah di Atas Becak": Puisi, Pandemi dan Jokpin

15 Agustus 2024   18:23 Diperbarui: 15 Agustus 2024   20:04 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ini tentang kitab puisi kesekian yang ditulis Jokpin dan dikoleksi oleh saya. Bukunya tipis saja, dikasih judul Salah Piknik, penerbitnya Gramedia Pustaka Utama tahun 2021. 

Saya menemukan kitab ini secara tidak sengaja, di Toga Mas, Supratman. Pada suatu siang, ketika perasaan saya tengah bercampur. 

Saya kangen pada dawet di depan toko buku itu tapi masih sedikit bersedih karena Jokpin belum lama wafat.

Sembari menunggu kitab Salah Piknik disampul plastik, saya meneguk es dawet pelan-pelan. Apa kabar Jokpin? Sudahkah kau berjumpa Sapardi dan Gus Dur, apa yang kalian bicarakan? Indonesia yang kesepian?

Salah Piknik adalah kumpulan puisi pendek yang ditulis semasa pagebluk Covid-19, totalnya sekitar 40 puisi. 

Sesudah sampulnya, kita dipertemukan tandatangan dengan sebuah pesan. Selamat membaca, semoga terhibur. Salam sehat dan bahagia. Jokpin. 

Saya cepat-cepat pulang. Hanya ingin menyelami kitab yang sampulnya bergambar botol dengan seorang pria berbaju hitam di dalamnya. Pria itu mengangkat lima jarinya, seperti menyapa, "Hai, aku di sini."

Apakah saya terhibur seperti yang diharapkan sang penyair yang wafat di usia 61 tahun ini?

Tentu saja, tapi kitab puisi Jokpin bukanlah hiburan saja. Atau lebih persisnya, bukan hiburan yang sembarangan. Bagi saya, puisi-puisi Jokpin adalah kemewahan terutama ketika kita hanya ingin berbicara dengan diri sendiri. 

Di Salah Piknik, Jokpin masih suka membicarakan peristiwa harian, orang-orang kecil, senja, benda-benda yang akrab seperti kursi, meja, kamera hingga bulan dan kolam. 

Di dalamnya, perjuangan, kenangan, kegetiran, kenestapaan bersatu padu memberi makna dalam semesta Jokpinian.  Sedang di bagian yang lain, ada humor, juga ironi. Dan yang sama kuatnya: permenungan.

SALAH PIKNIK
Hidupnya
sudah
sejahtera.
Tinggal
memperbanyak
jalan-jalan.

Mobil pesiar
yang baru saja
dibelinya
terseok-seok
mendaki
jalan kenangan.
   

Salah Piknik lebih mirip kutukan bagi kepribadian yang dimakan oleh kota; mereka yang dipompa ambisinya setiap hari dengan kerja dan keberlimpahan materi. Mereka butuh menyenangkan diri, dan celakanya, itu hanya terpenuhi dengan kembali kedalam diri, kepada kenangan.

Salah Piknik adalah ungkap atas kekosongan yang menggerogoti keberlimpahan. Waduh!

Di bagian sebelum ini, saya bertemu Khotbah di Atas Becak, yang jadi judul catatan ini. Khotbah di Atas Becak lebih menyerupai prosa, ketimbang puisi sebab itu saya tak akan memuat lengkap isinya di sini.

Saya akan ambil satu potongan dialog di antara penumpang dan tukang becak ketika mereka sedang dalam perjalanan menuju tujuan.

"Becak senantiasa akan dirindukan
sebab manusia tetap butuh mengerti
perihal lambat, nikmat dan selamat.
Zaman terus berganti, tetapi aroma
sayur lodeh, tempe garit dan sambal
yang dimasak seorang ibu akan
selalu membayangi hidup anaknya."

Becak adalah lambang dari pergeseran sebuah zaman. Zaman ketika manusia memuja kecepatan dan para juara adalah mereka yang selalu tiba duluan. Selebihnya adalah kumpulan para pecundang. 

Akan tetapi, ketika pagebluk datang, pabrik-pabrik terancam, negara kelimpungan. Semua orang tiba-tiba saja terjebak sebagai kumpulan yang malang. 

Penumpang yang berdialog itu adalah seorang pemuda yang baru saja di-PHK gara-gara virus memaksa kapitalisme merasionalisasi ulang dirinya. Sedang si tukang becak adalah bapaknya.  

Membaca ini, saya teringat hidup saya sendiri. Virus celaka telah memaksa saya harus diam di rumah, tak terkecuali. Saya cemas sebab tak bisa menghasilkan uang tapi saya lebih hepi sebab mengalami rumah. 

Hari-hari dihabiskan dengan bocah laki-laki, sejak bangun tidur hingga tidur kembali. Kami ngobrol, bermain, tertawa, dan sesekali bertengkar. Ini membentuk ikatan yang kuat.

Selain itu, saya teringat sambal buatan ibu. Walau sudah sepuh, sambalnya tetap diulek tangan dan lembutnya masih mengalahkan kerja dari blender.

Khotbah di Atas Bukit mewakili diari dari orang-orang yang dipaksa pulang oleh wabah, berhenti bekerja dan kembali kepada rumah, ayah dan ibu. Kembali kepada kasih yang membuat mereka tak sepenuhnya kalah.  

Kamu juga merasa begitu, gak?

Tentu saja ada, selain dua ini, masih ada puisi yang bakalan membuat pembaca terkenang pada semesta yang bertahun-tahun di bentuk oleh mantra globalisasi. 

Salah satunya adalah kepada negara, unit politis yang paling (berambisi) mengatur hidup kita. 

DI LAPAK BUKU BAJAKAN

Di lapak buku bajakan
negara belanja buku-buku
sambil pura-pura bertanya,"Ini asli, kan?"

Kami sedang merayakan secangkir royalti
di kedai minum, tidak jauh dari mereka.
Chairil tertawa dan berkata:

"Sudahlah, gaes, jangan
terlalu berharap kepada negara.
Berharaplah kepada senja, hujan dan kopi."

Sebagai sebuah kritik sosial, puisi ini adalah satire yang tajam. Kita tahu, negara atas nama ketertiban umum atau kepentingan nasional, mudah sekali membakar buku atau menghukum pengarang.

Negara mereproduksi ketakutan sekaligus unit terdepan yang memadamkannya. Negara selalu memiliki siasat yang jitu untuk melegitimasi keadaan darurat dan menggelar aparatur represifnya. 

Persis dalam negara berwatak demikian, kita butuh puisi sebagai kawan berdialog, bukan?

Pernah sdi satu acara Mata Najwa, Sapardi dan Jokpin tampil bersama. Mereka berbagi apa yang mereka mengerti sebagai puisi. 

Jokpin sempat membaca puisinya, Kamus Kecil. Puisi yang kuat dalam menyampaikan makna sekaligus memainkan bunyi. Sapardi yang mengomentari. Sungguh, ini adalah dialog dua begawan yang teduh dan rendah hati.

Di kitab yang satu ini, Jokpin membuat lagi satu puisi untuk mengenang Sapardi.

SAPARDI 

Ia pulang.
Ia pulang.
Ia sudah pulang.

Dari sini
rumahnya
terlihat terang.
Dari sana
ia lambaikan hujan

Dari sini
sajak-sajakku
melayang-layang.
Di sana
sajak-sajaknya
berdendang riang.
 

Jokpin seperti ingin mengingatkan jika hidup abadi seorang penyair adalah puisi-puisinya sendiri. Puisi membuat mereka selalu ada bagi generasi, entah di dalam sebuah buku, dalam video musikalisasi, atau dalam lomba 17 Agustusan. Jadi, saya kira, puisi Sapardi di atas adalah kerinduan sekaligus keabadian.  

Saya lantas terkenang seorang pegiat teater dan pementasan puisi di Manado. Ia seorang yang lumayan keras hati. 

Pernah suatu ketika, ia berada dalam kondisi kritis, tak sadar. Jantungnya harus dipasang ring. Lalu dia bersaksi kepada saya, di masa-masa tak sadar itu, ia berjumpa dengan semua puisi-puisi yang pernah ia karang. 

Ia merasa aneh, tapi hepi. Dan merasa berhutang pada puisi-puisinya. 

***

Beginilah sedikit saja catatan dari pembacaan terhadap Salah Piknik. Sebagaimana kitab-kitab puisi Jokpin yang lain, saya masih menikmati permenungan harian yang kuat di balik benda-benda yang akrab. Permenungan dimana kegetiran, kehampaan, ironi dan humor bersatu padu. 

Salah Piknik telah menjadi hiburan yang mewah, seperti harap dari penyairnya.

Saya tutup catatan ini mengutip pendapat novelis Okky Madasari. "Karya-karya Mas Jokpin itu bisa menjadi teman kita dalam segala situasi." 

Tak berlebihan jika Kompas menulis bahwa Jokpin adalah penyair yang dapat menyuarakan kegelisahan zaman, termasuk era digital dan Gen Z.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun