Persis dalam negara berwatak demikian, kita butuh puisi sebagai kawan berdialog, bukan?
Pernah di satu acara Mata Najwa, Sapardi dan Jokpin tampil bersama. Mereka berbagi apa yang mereka mengerti sebagai puisi.Â
Jokpin sempat membaca puisinya, Kamus Kecil. Puisi yang kuat dalam menyampaikan makna sekaligus memainkan bunyi. Sapardi yang mengomentari. Sungguh, ini adalah dialog dua begawan yang teduh dan rendah hati.
Di kitab yang satu ini, Jokpin membuat lagi satu puisi untuk mengenang Sapardi.
SAPARDIÂ
Ia pulang.
Ia pulang.
Ia sudah pulang.
Dari sini
rumahnya
terlihat terang.
Dari sana
ia lambaikan hujan
Dari sini
sajak-sajakku
melayang-layang.
Di sana
sajak-sajaknya
berdendang riang.Â
Jokpin seperti ingin mengingatkan jika hidup abadi seorang penyair adalah puisi-puisinya sendiri. Puisi membuat mereka selalu ada bagi generasi, entah di dalam sebuah buku, dalam video musikalisasi, atau dalam lomba 17 Agustusan. Jadi, saya kira, puisi Sapardi di atas adalah kerinduan sekaligus keabadian.
Saya lantas terkenang seorang pegiat teater dan pementasan puisi di Manado. Ia seorang yang lumayan keras hati.Â
Pernah suatu ketika, ia berada dalam kondisi kritis, tak sadar. Jantungnya harus dipasang ring. Lalu dia bersaksi kepada saya, di masa-masa tak sadar itu, ia berjumpa dengan semua puisi-puisi yang pernah ia karang.Â
Ia merasa aneh, tapi hepi. Dan merasa berutang pada puisi-puisinya.Â
***