Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Khotbah di Atas Becak": Puisi, Pandemi dan Jokpin

15 Agustus 2024   18:23 Diperbarui: 15 Agustus 2024   20:04 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari dihabiskan dengan bocah laki-laki, sejak bangun tidur hingga tidur kembali. Kami ngobrol, bermain, tertawa, dan sesekali bertengkar. Ini membentuk ikatan yang kuat.

Selain itu, saya teringat sambal buatan ibu. Walau sudah sepuh, sambalnya tetap diulek tangan dan lembutnya masih mengalahkan kerja dari blender.

Khotbah di Atas Bukit mewakili diari dari orang-orang yang dipaksa pulang oleh wabah, berhenti bekerja dan kembali kepada rumah, ayah dan ibu. Kembali kepada kasih yang membuat mereka tak sepenuhnya kalah.  

Kamu juga merasa begitu, gak?

Tentu saja ada, selain dua ini, masih ada puisi yang bakalan membuat pembaca terkenang pada semesta yang bertahun-tahun di bentuk oleh mantra globalisasi. 

Salah satunya adalah kepada negara, unit politis yang paling (berambisi) mengatur hidup kita. 

DI LAPAK BUKU BAJAKAN

Di lapak buku bajakan
negara belanja buku-buku
sambil pura-pura bertanya,"Ini asli, kan?"

Kami sedang merayakan secangkir royalti
di kedai minum, tidak jauh dari mereka.
Chairil tertawa dan berkata:

"Sudahlah, gaes, jangan
terlalu berharap kepada negara.
Berharaplah kepada senja, hujan dan kopi."

Sebagai sebuah kritik sosial, puisi ini adalah satire yang tajam. Kita tahu, negara atas nama ketertiban umum atau kepentingan nasional, mudah sekali membakar buku atau menghukum pengarang.

Negara mereproduksi ketakutan sekaligus unit terdepan yang memadamkannya. Negara selalu memiliki siasat yang jitu untuk melegitimasi keadaan darurat dan menggelar aparatur represifnya. 

Persis dalam negara berwatak demikian, kita butuh puisi sebagai kawan berdialog, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun