Di dalamnya, perjuangan, kenangan, kegetiran, kenestapaan bersatu padu memberi makna dalam semesta Jokpinian. Sedang di bagian yang lain, ada humor, juga ironi. Dan yang sama kuatnya: permenungan.
SALAH PIKNIK
Hidupnya
sudah
sejahtera.
Tinggal
memperbanyak
jalan-jalan.
Mobil pesiar
yang baru saja
dibelinya
terseok-seok
mendaki
jalan kenangan.
Salah Piknik lebih mirip kutukan bagi kepribadian yang dimakan oleh kota; mereka yang dipompa ambisinya setiap hari dengan kerja dan keberlimpahan materi. Mereka butuh menyenangkan diri, dan celakanya, itu hanya terpenuhi dengan kembali ke dalam diri, kepada kenangan.
Salah Piknik adalah ungkap atas kekosongan yang menggerogoti keberlimpahan. Waduh!
Di bagian sebelum ini, saya bertemu Khotbah di Atas Becak, yang jadi judul catatan ini. Khotbah di Atas Becak lebih menyerupai prosa, ketimbang puisi sebab itu saya tak akan memuat lengkap isinya di sini.
Saya akan ambil satu potongan dialog di antara penumpang dan tukang becak ketika mereka sedang dalam perjalanan menuju tujuan.
"Becak senantiasa akan dirindukan
sebab manusia tetap butuh mengerti
perihal lambat, nikmat dan selamat.
Zaman terus berganti, tetapi aroma
sayur lodeh, tempe garit dan sambal
yang dimasak seorang ibu akan
selalu membayangi hidup anaknya."
Becak adalah lambang dari pergeseran sebuah zaman. Zaman ketika manusia memuja kecepatan dan para juara adalah mereka yang selalu tiba duluan. Selebihnya adalah kumpulan para pecundang.Â
Akan tetapi, ketika pagebluk datang, pabrik-pabrik terancam, negara kelimpungan. Semua orang tiba-tiba saja terjebak sebagai kumpulan yang malang.Â
Penumpang yang berdialog itu adalah seorang pemuda yang baru saja di-PHK gara-gara virus memaksa kapitalisme merasionalisasi ulang dirinya. Sedang si tukang becak adalah bapaknya.