Dari Lamandau...
Pada suatu ketika, di masa ketika SBY akan jadi presiden, saya diberikan penugasan.Â
Saya disuruh pergi ke Kabupaten Lamandau, di Kalimantan Tengah yang belum pernah saya kunjungi. Kabupaten ini memiliki luas wilayah sekitar 6.414,00 km serta merupakan pemekaran dari Kabupaten Kotawaringin Barat di tahun 2002.Â
Perjalanan darat dari Palangkaraya ke Lamandau menghabiskan waktu sekitar 11 jam dan jarak tempuh sejauh 517,6 kilometer. Perjalanan yang seringkali melintasi konsesi perkebunan sawit dengan bis berukuran sedang. Saya berangkat siang hari dan tiba besok paginya.
Ketika datang ke sini, di tahun 2004 itu, saya merupakan bagian dari jejaring yang bekerjasama dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk memantau Pemilihan Presiden. Tugasnya pun gampang-gampang susah.Â
Saya hanya perlu berkoordinasi dengan Bawaslu setempat untuk mengumpulkan data dan melaporkannya ke Jakarta. Semacam pengawasan akan laporan kecurangan real-time. Jadi, ketimbang tugasnya, saya jauh lebih peduli dengan pengalaman ke daerah baru dan duitnya, tentu saja.
Satu hal yang memudahkan tugas ini menjadi lebih cepat karena saya dibantu oleh jejaring jamaah Nahdlatul Ulama (NU) yang menetap di sini.Â
Ada seorang pemuda yang menjemput saya, mengantar ke penginapan, dan menemani ke sekretariat Bawaslu. Ia dulunya sekolah di Pulau Jawa dan kini bekerja di Lamandau.Â
Oleh anak muda ini, saya dihantar ke sesepuh NU yang sehari-hari mengurusi organisasi (jamiyah) dan jamaah. Seorang tua, guru sekaligus petani yang sedang melewati usia 50-an. Seorang tua yang mewakili apa yang disebut sebagai jelata sehari-hari.
Kunjungan kepada pada sesepuh ini adalah adab, bukan saja karena untuk menghormati mereka yang lebih tua atau dituakan. Namun lebih dari ini, sekaligus juga, ia mewariskan hubungan yang dipelihara oleh penghormatan dan solidaritas.
Singkat kisah, saya bertamu ke rumahnya yang sederhana. Tidak tersedia cukup banyak perabot. Tapi, yang masih teringat, di dindingnya tergantung logo hijau NU. Dan ia seorang transmigran atau dari keluarga transmigran.
Kami bercakap tak terlalu lama. Tapi dari percakapan ini, saya tahu beliau adalah seorang pengurus di tingkatan Ranting. Beliau juga bercerita kesulitan harian dalam merawat "tradisi orang-orang NU atau orang-orang pesantren" di sini sebagaimana di Jawa.
Tapi di sini adalah Lamandau, sebuah lokasi kebudayaan yang berbeda. Â Kompleksitasnya menuntut energi yang lebih besar.Â
"Amanah harus dijaga, sulit atau mudah, harus dilaksanakan," terangnya. Ada perhatian dari pengurus (di level yang lebih tinggi) atau tidak, tanggungjawab tidak bergantung dari sana.
Sebenarnya saya terenyuh dengan keteguhan hati orang tua ini. Yang semacam ini jelas bukan satu-satunya tapi dengan mendefinisikan amanah sebagai panggilan untuk beramal, ia memilih meletakkan itu semua kepada jenis kemuliaan tertentu.Â
Sampai hari ini, di tahun 2024, saya masih mengenang pertemuan singkat tersebut. Pertemuan dengan orang-orang NU di sudut yang jauh, penuh kesederhanaan, dan pengabdian...
Di antara Lamongan dan Jember...
Di sekitar tahun 2013 hingga 2014, ketika itu Indonesia sedang bersiap untuk Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.Â
Saya berada di sekitar Lumajang dan Jember, bolak-balik, karena membantu seorang kawan yang nyaleg DPR-RI dari Dapil Jatim IV. Kawan ini berikhtiar mengadu nasib dengan Anang Hermansyah, salah satunya. Â
Lumajang dan Jember adalah wilayah dengan ke-NU-an yang cukup kuat, sebagaimana wilayah Jawa Timur pada umumnya. Ada pesantren, ada pengurus NU dengan struktur yang rapi hingga ke desa-desa.Â
Struktur jamiyah yang rapi adalah pertanda formil dari ritus atau tradisi yang hidup. Itu berarti identitas yang terawat. Termasuk di dalamnya memiliki "posisi tawar politis" yang dihitung. Sebab itulah, di musim pemilu, para caleg berebut kendali kuasa ke sini. Dan terutama sekali ke para pimpinan pondok pesantren.
Karena kepentingan semacam ini juga, pada suatu malam sesudah Isya, kami duduk di pelataran rumah seorang Kiai muda. Kami duduk bersila, membentuk setengah lingkaran dan bercakap-cakap. Â
Kiai muda ini baru saja menggantikan abahnya yang wafat. Umurnya belum lagi 40, seperti umur saya. Wajahnya selalu tersenyum dan suka bercerita sebagaimana anak muda kalau sedang di tongkrongan. Tak lupa, asap rokok ikut mewarnai hawa malam.
Di tengah keasyikan ngobrol, datang seorang bapak. Mungkin 50-an, kulitnya legam (walau malam itu tak terlalu terang, saya bisa menduga begitu) dengan kemeja yang lusuh. Saya merasa ia adalah seorang petani atau buruh tani.Â
Bapak ini datang membawa anaknya yang baru saja lulus SMA. Dengan sikap hormat yang tulus, ia meminta restu kepada sang kiai muda ini bagi anaknya yang akan merantau ke Surabaya. Ia membawa juga sebotol berisi air.
Kiai muda kita ini kemudian memenuhi hajat si bapak. Kami turut mengaminkan. Sesudahnya, bapak dan anaknya ini mencium tangan sang kaki lalu berpamitan.Â
Saya sungguh-sungguh terenyuh dengan perilaku bapak itu. Orang-orang kecil, sederhana, dan mungkin sekali setiap harinya bertarung melawan kemelaratan namun dengan penghormatan yang tinggi kepada kiainya yang jauh lebih muda.Â
Orang-orang NU yang bertahan di jalan tradisionalismenya...
Dari Tuminting, Manado Utara...
Tubuhnya tak besar, tingginya mungkin sekitar 150-an cm saja. Badannya juga telah memasuki usia sepuh, dan ringkih. Tapi ia tetap duduk di kursi itu sembari menyaksikan orang-orang yang sedang mengantri untuk mengambil makan.Â
Malam itu, murid-muridnya, sedang berkumpul karena merayakan pertambahan usianya.
Dia adalah seorang kiai sepuh yang sangat dihornati orang-orang NU di Sulawesi Utara. Kiai Haji Hasyim Arsjad (biografi ringkasnya bisa dibaca di sini), namanya.
Saya memilih tidak masuk dalam antrian. lebih ingin mendekati kursinya, lantas jongkok dan bertanya beberapa hal. Sebelumnya saya sudah mendengar beberapa hal.Â
Misalnya, Kiai Hasyim adalah murid Guru Tua atau Al-Habib Idrus bin Salim Al-Jufri (1892-1969). Lebih dikenal dengan Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri, pendiri Al-Khairaat, Palu Sulawesi Tengah.
Alkhairaat berada di garis dakwah yang sama dengan Nahdlatul Ulama, serupa saudara muda. Alkhairaat berdiri 1930, sementara Nahdlatul Ulama 1926 Masehi.
Selanjutnya, Kiai Hasyim adalah salah satu sahabat Gus Dur yang  seringkali ditemuinya ketika berkunjung ke Sulawesi Utara.Â
Ada satu cerita yang menggambarkan kedekatan keduanya. Pada suatu waktu, Gus Dur sedang bersiap terbang di ruang VIP bandara Sam Ratulangi. Tiba-tiba saja, Gus Dur teringat pada Kiai Hasyim dan minta dipertemukan barang sebentar.Â
Para pengawalnya sibuk dan bingung. Dimana mencari sang kiai? Tak lama kemudian, seorang pemuda Ansor datang bersama kiai dengan membonceng sepeda motor. Singkat perjalanan, kedua sahabat ini bertemu dan ngobrol sebentar sebelum take-off.
"Apa yang diobrolin sama Gus Dur, Yai?" tanya saya.Â
"Gak ada. Gus Dur nanya kabar saya, keluarga gimana, anak-anak semua sehat? Begitu saja." Mereka ngobrol dalam bahasa Arab.
Oh ya, Kiai Hasyim adalah salah satu yang membela Gus Dur ketika kepemimpinannya di PBNU diganggu oleh rezim Soeharto. Sejak itu, mereka menjadi dekat layaknya dua sahabat.Â
Dari kisah-kisah di atas, yang paling meninggalkan bekas bagi saya adalah sikap Kiai Hasyim yang istiqomah sebagai pengajar.
Sesudah menjadi guru, diangkat sebagai ASN Kementrian Agama, mengurusi di KUA, mengurusi haji, menjadi Rais NU Wilayah dan Ketua MUI Sulawesi Utara, beliau kembali menjadi pengajar di masa pensiun hingga meninggal pada 2 September 2011 di Manado.Â
Menjelang akhir hayatnya, beliau masih setia membina majelis taklim di rumahnya. Dari majelis ibu-ibu, karyawan toko, hingga pemuda/aktivis NU. Tak banyak yang mampu seperti ini, setia sebagai pengajar dan hidup sederhana.
Saya pernah bertanya, "Mengapa kiai tidak ke politik?"
Bukankah kiai adalah sahabat Gus Dur? Rumah kiai juga menjadi tempat dimana Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Sulut dilahirkan?Â
Tidakkah kiai memiliki jaringan murid yang sudah menyebar kemana-mana? Bukankah banyak caleg yang setiap pemilu bolak-balik datang ke sini? Mengapa tidak?
"Saya kalau sama kekuasaan jadi kikuk, tak nyaman, lebih baik menjauh," katanya. Saya terus berdiam diri. Saya tahu pertimbangan beliau jauh lebih dalam lagi.Â
Intinya, saya bersyukur masih bertemu teladan yang dirindukan. Seorang guru, alim, merawat jamaah dan menjaga diri dari bujuk rayu kekuasaan duniawi. Al fatihaa.
Dan, di hari-hari terakhir seorang Presiden...
Cerita-cerita perjumpaan singkat di atas adalah penghormatan sekaligus kegelisahan. Hal mana dikarenakan di hari-hari terakhir dimana sebuah rezim politik seolah-olah ingin memberi imbal jasa bagi organisasi masyarakat dan keagamaan.
Imbal itu dalam bentuk perizinan untuk mengelola industri pertambangan. Regulasinya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.Â
Gayung seolah bersambut. "Ketika pemerintah memberi peluang ini, membuat kebijakan afirmasi ini, kami melihat sebagai peluang dan segera kami tangkap. Wong butuh, bagaimana lagi," kata Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf  (Antaranews.com)
Alasan yang lebih jauh lagi diterangkan olehnya. "Kita ketahui bahwa NU itu adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, sehingga bukan hajat agama saja yang dikelola, yang diurus, tapi hajat kemasyarakatan termasuk ekonomi, pertanian, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya."
Tidak ada yang bisa membantah fakta sosiologis-politik di atas. Fakta yang sekaligus (bisa dibaca tersirat) menandakan betapa NU tidak memiliki cukup sumberdaya atau sumber pembiayaan yang menjadi syarat bagi otonomi dan keswadayaan.Â
Tapi, mengelola tambang adalah opsi yang tepat? Sekalipun nantinya belum tentu diterima, karena syarat-syarat yang ketat, tidak adakah alternatif di luar tambang?
Mari kita lihat keberterimaan ini dalam berbagai keberatan yang dimunculkan masyarakat sipil.Â
Dengan alasan kelayakan bisnis. Organisasi keagamaan dengan badan usahanya, sudahkah kompeten mengurusi tambang layaknya korporasi? Apakah mereka memiliki standar pengelolaan seumpama organisasi bisnis, termasuk standar memitigasi dampak limbah, dll?Â
Atau alasan yang berdimensi legitimasi moral-profetis.Â
Organisasi atau kaum agamawan yang semestinya berfungsi menjaga kelestarian alam sebagai bagian dari laku keagamaan sekarang malah menjadi bagian dari yang menimbulkan kerusakan lingkungan, bagaimana kontradiksi semacam ini dimungkinkan?
Dan pula yang mengajukan alasan yang lebih politis. Dengan pemberian izin usaha tambang, negara sejatinya sedang melakukan kooptasi yang mencemaskan.Â
Negara membuat ormas keagamaan yang semestinya berdiri bersama korban-korban pembangunan mengalami kemandulan fungsi kritiknya. Ijin semacam ini mengaburkan batas. Lantas, untuk siapa mereka ada?Â
Akan tetapi, negara (selalu) memiliki alasan. "Dari pada setiap hari menenteng proposal, jauh lebih baik mengelola tambang." Kira-kira begini kata Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Menurut kamu, adakah yang semacam ini akan mendorong kemandirian?
Izin Usah Pertambangan (IUP) jelas tak sama dengan ijin pengelolaan kawasan hutan lewat skema Perhutanan Sosial.Â
Di sini, warga desa atau komunitas adat diberikan kesempatan untuk mengelola kawasan hutan yang ditujukan untuk pemenuhan kesejahteraan ekonomi dan pelestarian sumberdaya hayati.Â
Dua prinsip --sejahtera dan lestari--wajib selaras sejak dalam perencanaan. Di dalamnya, ada tata kelola hingga pengelolaan kawasan yang mesti ditaati dan disusun bersama-sama. Demikian juga mekanisme evaluasi.Â
Saya terus terkenang pada orang-orang NU yang jauh dari pusat itu, dari Lamandau, Lumajang-Jember, hingga Manado. Dengan hidup sederhana, bahkan mungkin melarat, dan tetap patuh merawat tradisinya hingga turun-temurun.Â
Mereka telah bertahan dengan siklus subsistensi dan resiliensinya sendiri-sendiri, yang seringkali tak tersentuh oleh para pejabat negara hingga organisasi.Â
Maka, sekali lagi, apakah niscaya dengan revenue dari pertambangan, hidup para jamaah itu akan lebih baik?
Bagaimana dengan daya rusak ekologi industri ekstraktif di tengah tantangan hingga tuntutan mitigasi perubahan iklim serta bencana?Â
 ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H