Struktur jamiyah yang rapi adalah pertanda formil dari ritus atau tradisi yang hidup. Itu berarti identitas yang terawat. Termasuk di dalamnya memiliki "posisi tawar politis" yang dihitung. Sebab itulah, di musim pemilu, para caleg berebut kendali kuasa ke sini. Dan terutama sekali ke para pimpinan pondok pesantren.
Karena kepentingan semacam ini juga, pada suatu malam sesudah Isya, kami duduk di pelataran rumah seorang Kiai muda. Kami duduk bersila, membentuk setengah lingkaran dan bercakap-cakap. Â
Kiai muda ini baru saja menggantikan abahnya yang wafat. Umurnya belum lagi 40, seperti umur saya. Wajahnya selalu tersenyum dan suka bercerita sebagaimana anak muda kalau sedang di tongkrongan. Tak lupa, asap rokok ikut mewarnai hawa malam.
Di tengah keasyikan ngobrol, datang seorang bapak. Mungkin 50-an, kulitnya legam (walau malam itu tak terlalu terang, saya bisa menduga begitu) dengan kemeja yang lusuh. Saya merasa ia adalah seorang petani atau buruh tani.Â
Bapak ini datang membawa anaknya yang baru saja lulus SMA. Dengan sikap hormat yang tulus, ia meminta restu kepada sang kiai muda ini bagi anaknya yang akan merantau ke Surabaya. Ia membawa juga sebotol berisi air.
Kiai muda kita ini kemudian memenuhi hajat si bapak. Kami turut mengaminkan. Sesudahnya, bapak dan anaknya ini mencium tangan sang kaki lalu berpamitan.Â
Saya sungguh-sungguh terenyuh dengan perilaku bapak itu. Orang-orang kecil, sederhana, dan mungkin sekali setiap harinya bertarung melawan kemelaratan namun dengan penghormatan yang tinggi kepada kiainya yang jauh lebih muda.Â
Orang-orang NU yang bertahan di jalan tradisionalismenya...
Dari Tuminting, Manado Utara...
Tubuhnya tak besar, tingginya mungkin sekitar 150-an cm saja. Badannya juga telah memasuki usia sepuh, dan ringkih. Tapi ia tetap duduk di kursi itu sembari menyaksikan orang-orang yang sedang mengantri untuk mengambil makan.Â
Malam itu, murid-muridnya, sedang berkumpul karena merayakan pertambahan usianya.