Dia adalah seorang kiai sepuh yang sangat dihornati orang-orang NU di Sulawesi Utara. Kiai Haji Hasyim Arsjad (biografi ringkasnya bisa dibaca di sini), namanya.
Saya memilih tidak masuk dalam antrian. lebih ingin mendekati kursinya, lantas jongkok dan bertanya beberapa hal. Sebelumnya saya sudah mendengar beberapa hal.Â
Misalnya, Kiai Hasyim adalah murid Guru Tua atau Al-Habib Idrus bin Salim Al-Jufri (1892-1969). Lebih dikenal dengan Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri, pendiri Al-Khairaat, Palu Sulawesi Tengah.
Alkhairaat berada di garis dakwah yang sama dengan Nahdlatul Ulama, serupa saudara muda. Alkhairaat berdiri 1930, sementara Nahdlatul Ulama 1926 Masehi.
Selanjutnya, Kiai Hasyim adalah salah satu sahabat Gus Dur yang  seringkali ditemuinya ketika berkunjung ke Sulawesi Utara.Â
Ada satu cerita yang menggambarkan kedekatan keduanya. Pada suatu waktu, Gus Dur sedang bersiap terbang di ruang VIP bandara Sam Ratulangi. Tiba-tiba saja, Gus Dur teringat pada Kiai Hasyim dan minta dipertemukan barang sebentar.Â
Para pengawalnya sibuk dan bingung. Dimana mencari sang kiai? Tak lama kemudian, seorang pemuda Ansor datang bersama kiai dengan membonceng sepeda motor. Singkat perjalanan, kedua sahabat ini bertemu dan ngobrol sebentar sebelum take-off.
"Apa yang diobrolin sama Gus Dur, Yai?" tanya saya.Â
"Gak ada. Gus Dur nanya kabar saya, keluarga gimana, anak-anak semua sehat? Begitu saja." Mereka ngobrol dalam bahasa Arab.
Oh ya, Kiai Hasyim adalah salah satu yang membela Gus Dur ketika kepemimpinannya di PBNU diganggu oleh rezim Soeharto. Sejak itu, mereka menjadi dekat layaknya dua sahabat.Â
Dari kisah-kisah di atas, yang paling meninggalkan bekas bagi saya adalah sikap Kiai Hasyim yang istiqomah sebagai pengajar.