Alasan yang lebih jauh lagi diterangkan olehnya. "Kita ketahui bahwa NU itu adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, sehingga bukan hajat agama saja yang dikelola, yang diurus, tapi hajat kemasyarakatan termasuk ekonomi, pertanian, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya."
Tidak ada yang bisa membantah fakta sosiologis-politik di atas. Fakta yang sekaligus (bisa dibaca tersirat) menandakan betapa NU tidak memiliki cukup sumberdaya atau sumber pembiayaan yang menjadi syarat bagi otonomi dan keswadayaan.Â
Tapi, mengelola tambang adalah opsi yang tepat? Sekalipun nantinya belum tentu diterima, karena syarat-syarat yang ketat, tidak adakah alternatif di luar tambang?
Mari kita lihat keberterimaan ini dalam berbagai keberatan yang dimunculkan masyarakat sipil.Â
Dengan alasan kelayakan bisnis. Organisasi keagamaan dengan badan usahanya, sudahkah kompeten mengurusi tambang layaknya korporasi? Apakah mereka memiliki standar pengelolaan seumpama organisasi bisnis, termasuk standar memitigasi dampak limbah, dll?Â
Atau alasan yang berdimensi legitimasi moral-profetis.Â
Organisasi atau kaum agamawan yang semestinya berfungsi menjaga kelestarian alam sebagai bagian dari laku keagamaan sekarang malah menjadi bagian dari yang menimbulkan kerusakan lingkungan, bagaimana kontradiksi semacam ini dimungkinkan?
Dan pula yang mengajukan alasan yang lebih politis. Dengan pemberian izin usaha tambang, negara sejatinya sedang melakukan kooptasi yang mencemaskan.Â
Negara membuat ormas keagamaan yang semestinya berdiri bersama korban-korban pembangunan mengalami kemandulan fungsi kritiknya. Ijin semacam ini mengaburkan batas. Lantas, untuk siapa mereka ada?Â
Akan tetapi, negara (selalu) memiliki alasan. "Dari pada setiap hari menenteng proposal, jauh lebih baik mengelola tambang." Kira-kira begini kata Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Menurut kamu, adakah yang semacam ini akan mendorong kemandirian?
Izin Usah Pertambangan (IUP) jelas tak sama dengan ijin pengelolaan kawasan hutan lewat skema Perhutanan Sosial.Â