Azel seringkali risih diperlakukan begitu tapi, "Sudah begini aturannya, kak." Terang Nancy pada kesempatan pertama.
Siang yang gerah itu, Azel makan lalapan dengan pikiran yang stagnan. Paragraf-paragraf yang digarapnya masih rumpamg dimana-mana. Azel telah melihat benang merah tapi selalu tak mudah menyusunnya dalam narasi yang utuh.Â
Azal melewati makan siang dengan kalimat-kalimat yang patah di kepala.
Di masa Perang Pasifik, Jepang pernah membangun hunian di sini. Jepang ingin mengawasi pergerakan Sekutu.
***
Sabtu, pukul 6 pagi. Azel menyelesaikan 4 kilometer di sekitar Universitas Papua. Dengan begini, badannya mungkin bisa lebih segar. Pikirannya kembali bisa melepaskan diri dari penjara stagnasi. Deadline-nya tak lama lagi.
"Pagi, Bang. Yang lain belum datang?"Â
Azel menolehkan pandang ke pintu. "Pagi juga. Eh, belum ada. Bukannya Sabtu tra ma..?" Kalimat tanya yang tak Azel teruskan. Sesungguhnya ia bingung. Jangan-jangan yang datang adalah staf yayasan yang belum pernah dijumpainya. Tapi ini bukan hari kerja.Â
"Bang Azel, ya. Saya Liza. Anak magang di sini."
"Oh. Sori, hehehe." Azel cuma bisa nyengir. Bagaimana menghadapi seseorang, di sebuah pagi, yang mengetahui namamu tapi sembari mengenalkan siapa dirinya? Seorang perempuan muda dengan rambut keriting sebahu yang masih basah. Ceria.Â
Situs hunian peninggalan Jepan yang dijaga seorang Jerman...