Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Simulakra Mata Mantan

21 Februari 2017   08:45 Diperbarui: 25 Februari 2017   22:00 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya surat tersebut adalah peringatan ketiga, artinya kepala anginku sudah di batas yang bisa diajak bicara. Dua surat sebelumnya hanya berakhir di tempat sampah tanpa pernah dibaca. Dan surat ketiga yang mengantarku berjuang melawan  tikaman panas terik nasibnya jauh lebih tragis: dibakar tanpa pernah dibaca.

“Kamu sekarang ke lapangan, berdiri disana sampai bel pulang berdentang!”

Perintah yang tak lagi memberi ruang negoisasi berteriak marah serasa hendak memakanku tanpa sisa persis ketika lembar terakhir dari surat ketiga menjadi abu. Aku hanya menatap kosong kepada tubuh pemilik suara, tubuh kecil dengan rambut selalu licin, baju disetrika rapi dan sepatu selalu hitam mengkilap. Sungguh tubuh yang tertib dan disiplin sekaligus penjaga moral yang tangguh.

Aku tahu perintah itu bisa menyelamatkanku dari percakapan-percakapan membosankan di ruang konseling. Percakapan-percakapan yang salah satunya akan merasa sebagai penyelamat sedang yang lainnya tidak lebih dari jiwa muda tersesat.

Aku tidak pernah suka bercakap dalam posisi timpang begitu. Aku memang tak ingin siapa pun mengetahui bagaimana hidup sehari-hari di luar pagar sekolah.

Di bawah terik, tatapanku berangsur-angsur mulai kabur. Lapangan bola, ruang-ruang kelas dengan teras yang lengang, pepohonan akasia yang menjadi pagar hijau diantara keduanya perlahan makin terlihat samar. Aku seperti sedang memandang keduanya dari balik kaca yang tebal oleh kepungan embun, antara terjaga dan tidur. Langit biru dengan awan yang entah kemana makin pasti terlihat kuning lalu penuh menghitam. Mula-mula dalam lingkaran kecil, terus membesar dan membesar.

Kakiku makin lemas, tubuhku limbung. Semuanya kemudian gelap.

“Heei. Bangunlah.”

Sebuah tepukan lembut di pipiku yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus berusaha mengembalikan ke dunia sesudah sebelumnya gelap memenuhi cakrawala.

 “Aku dimana?” hanya lirih tanya bercampur cemas muncul pertama kali.

“Kau sedang di kantin. Berbaringlah dulu, aku akan mengambil teh manis,” suara lembut yang tadi berusaha membangunkan  bergegas namun aku memegang tangannya, menunda langkahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun