Sebenarnya surat tersebut adalah peringatan ketiga, artinya kepala anginku sudah di batas yang bisa diajak bicara. Dua surat sebelumnya hanya berakhir di tempat sampah tanpa pernah dibaca. Dan surat ketiga yang mengantarku berjuang melawan tikaman panas terik nasibnya jauh lebih tragis: dibakar tanpa pernah dibaca.
“Kamu sekarang ke lapangan, berdiri disana sampai bel pulang berdentang!”
Perintah yang tak lagi memberi ruang negoisasi berteriak marah serasa hendak memakanku tanpa sisa persis ketika lembar terakhir dari surat ketiga menjadi abu. Aku hanya menatap kosong kepada tubuh pemilik suara, tubuh kecil dengan rambut selalu licin, baju disetrika rapi dan sepatu selalu hitam mengkilap. Sungguh tubuh yang tertib dan disiplin sekaligus penjaga moral yang tangguh.
Aku tahu perintah itu bisa menyelamatkanku dari percakapan-percakapan membosankan di ruang konseling. Percakapan-percakapan yang salah satunya akan merasa sebagai penyelamat sedang yang lainnya tidak lebih dari jiwa muda tersesat.
Aku tidak pernah suka bercakap dalam posisi timpang begitu. Aku memang tak ingin siapa pun mengetahui bagaimana hidup sehari-hari di luar pagar sekolah.
Di bawah terik, tatapanku berangsur-angsur mulai kabur. Lapangan bola, ruang-ruang kelas dengan teras yang lengang, pepohonan akasia yang menjadi pagar hijau diantara keduanya perlahan makin terlihat samar. Aku seperti sedang memandang keduanya dari balik kaca yang tebal oleh kepungan embun, antara terjaga dan tidur. Langit biru dengan awan yang entah kemana makin pasti terlihat kuning lalu penuh menghitam. Mula-mula dalam lingkaran kecil, terus membesar dan membesar.
Kakiku makin lemas, tubuhku limbung. Semuanya kemudian gelap.
“Heei. Bangunlah.”
Sebuah tepukan lembut di pipiku yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus berusaha mengembalikan ke dunia sesudah sebelumnya gelap memenuhi cakrawala.
“Aku dimana?” hanya lirih tanya bercampur cemas muncul pertama kali.
“Kau sedang di kantin. Berbaringlah dulu, aku akan mengambil teh manis,” suara lembut yang tadi berusaha membangunkan bergegas namun aku memegang tangannya, menunda langkahnya.