[Cerita sebelumnya Bukan Sayembara Mika, Malam Pertama Emon, dan Pengabdian Cinta Emon]
***
Sesudah peristiwa romantis di bawah pohon nyiur, Emon sekarang makin gemar mencari puisi. Puisi Aku Ingin yang dibaca Mika ketika ia tergeletak kelelahan telah sukses membuat sikap galaknya berkurang. Kepala desa yang membantunya mencari puisi-puisi itu. Kepala desa makin bersemangat setelah Emon menceritakan efek puisi terhadap kemarahan perempuan. Puisi bisa meneduhkan, yakin Emon kepada kepala desa.
“Nih, puisi karya Chairil Anwar, Pemberian Tahu, Mon,” kata kepala desa sambil menyerahkan selembar kertas putih,”Sudah saya print, tinggal kamu baca dan hafalkan saja,” terangnya.
Bapak kepala desa memang menjadi tempat curahatan lelah Emon selain Imam masjid.
Di mata Emon, mereka berdualah yang paling terlibat memasukannya ke dalam jalan hidup yang sekarang ini. Dari kepala desalah, Emon mendapat saran membacakan puisi manaka Mika sedang sensitif tingkat tinggi. Sedangkan dari Imam masjid, Emon mengendapkan petuah-petuah ruhani tentang kesabaran dan tanggung jawab sebagai calon bapak.
“Pak, satu saja puisinya?” tanya Emon, kurang puas.
“Lah, memang mau berapa banyak? Puisi Aku Ingin yang tempo hari, sudah kau hapalkan?”
“Yaaa, belum sih Pak. Hanya saja…maksud saya..kalau satu puisi gak mempan, alangkah baiknya ada tiga atau empat puisi,” jelas Emon.
“Astagfirullah Emoon..kalau satu puisi kau bacakan Mika makin naik darah, terus apa alasannya membacakan yang kedua? Mau jadi sasaran ngambek berkepanjangan. Mau balik tidur di pos ronda? Eh, nyari puisi buat kamu itu gak gratis, harus ke warnet dulu.”
Kepala desa terus tertawa. Tapi Emon punya alasan.
“Ya, saya kan lihat situasinya juga Pak. Masa sudah hampir setahun saya yang hidup dengan Mika kok Bapak yang lebih paham membaca gerak-gerik tubuhnya. Hmmm.” serangan balik Emon. Dingin dan telak.