Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kelinci Percobaan

12 September 2016   22:59 Diperbarui: 13 September 2016   00:41 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[Cerita sebelumnya Bukan Sayembara Mika, Malam Pertama Emon, dan Pengabdian Cinta Emon]

***

Sesudah peristiwa romantis di bawah pohon nyiur, Emon sekarang makin gemar mencari puisi. Puisi Aku Ingin yang dibaca Mika ketika ia tergeletak kelelahan telah sukses membuat sikap galaknya berkurang. Kepala desa yang membantunya mencari puisi-puisi itu. Kepala desa makin bersemangat setelah Emon menceritakan efek puisi terhadap kemarahan perempuan. Puisi bisa meneduhkan, yakin Emon kepada kepala desa.

“Nih, puisi karya Chairil Anwar,  Pemberian Tahu, Mon,” kata kepala desa sambil menyerahkan selembar kertas putih,”Sudah saya print, tinggal kamu baca dan hafalkan saja,” terangnya.

Bapak kepala desa memang menjadi tempat curahatan lelah Emon selain Imam masjid.

Di mata Emon, mereka berdualah yang paling terlibat memasukannya ke dalam jalan hidup yang sekarang ini. Dari kepala desalah, Emon mendapat saran membacakan puisi manaka Mika sedang sensitif tingkat tinggi. Sedangkan dari Imam masjid, Emon mengendapkan petuah-petuah ruhani tentang kesabaran dan tanggung jawab sebagai calon bapak.

“Pak, satu saja puisinya?” tanya Emon, kurang puas.

“Lah, memang mau berapa banyak? Puisi Aku Ingin yang tempo hari, sudah kau hapalkan?”

“Yaaa, belum sih Pak. Hanya saja…maksud saya..kalau satu puisi gak mempan, alangkah baiknya ada tiga atau empat puisi,” jelas Emon.

Astagfirullah Emoon..kalau satu puisi kau bacakan Mika makin naik darah, terus apa alasannya membacakan yang kedua? Mau jadi sasaran ngambek berkepanjangan. Mau balik tidur di pos ronda? Eh, nyari puisi buat kamu itu gak gratis, harus ke warnet dulu.”
Kepala desa terus tertawa. Tapi Emon punya alasan.

“Ya, saya kan lihat situasinya juga Pak. Masa sudah hampir setahun saya yang hidup dengan Mika kok Bapak yang lebih paham membaca gerak-gerik tubuhnya. Hmmm.” serangan balik Emon. Dingin dan telak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun