"Moooon..Moooon..apa yang hangus? Kamu masak apa sih? Mooooon?" teriak Mika. Â
 Sama kayak sebelum ibunya datang, tak ada jawab.
Mika lalu bangun dan berjalan pelan membawa perutnya yang besar ke dapur. Bau hangus itu makin menyengat.Â
"Emooon, kamu dimana? Masak nasi kok ditinggal. Moon?"
Tak ada balasan. Huh, ini anak kemana sih, Mika menahan geram dalam hatinya.
Mika terus ke belakang sesudah memadamkan kompor. Menuju halaman yang dipenuhi dengan jemuran. Sebagian besar pakaian miliknya. Sejak berbadan dua, Mika sering berkeringat hebat. Sehari bisa berganti baju sampai empat kali. Ia menjadi istri yang malas juga makin manja. Emosinya tipis, mudah uring-uringan. Sensitifitasnya buruk sekali.
Tanpa banyak ba-bi-bu, ini tanda siaga. Emon kini mengambilalih semua pekerjaan rumah sembari tetap merawat ternaknya. Mika pernah mengajak pulang ke rumah ibunya tapi Emon menolak. Itu mengurangi kepantasan diriku sebagai suami, kata Emon saat itu.
"Emooon...kamu ngapain di situ?"
Suara Mika tertahan. Di depan sana, pada sebatang pohon nyiur rindang, Emon tertidur sambil duduk. Wajahnya pucat dan lelah. Tubuhnya juga lebih kurus. Rambutnya telah panjang, beberapa helai jatuh menjumpai pipinya yang makin tirus. Tanda kurang tidur yang sering dan kerja yang berlebih.
"Emoon, kamu sakit..?"
Emon masih nyenyak. Di telapak tangannya yang terkulai, sebuah kertas tertulis terkoyak di sana.