[Sebelum membaca bagian ini, tolong selesaikan dahulu cerita Bukan Sayembara Mika dan Malam Pertama Emon]
"Sayaang...Sayaang.."
Tak ada balasan. Diulangnya lagi panggilan yang sama.
"Sayaang..Sayaang...kamu dimana?"
Masih sama. Suara Mika hanya menebus ruang kosong. Mika dikerubungi kesal di dasar hatinya. Suaranya meninggi.
"Emooooon..Kamu dimana sih?"
Panggilan sayang itu musnah. Udara menjadi gerah.Â
Buk.buk.buk. Langkah kaki bergegas. Tubuh yang tergopoh. Wajah penuh peluh Emon muncul juga di depan Mika. Tangannya masih dibaluti busa sambun.Â
"Ada apa Sayang?" tanya Emon. Lembut. Penuh kasih yang tenang.Â
Mika terlanjur merajuk. Alisnya berpaut. Bibirnya manyun.Â
"Huh."
Emon tahu, ini jurus ngambek andalan. Minta dibujuk seperti biasa. Emon yang masih penuh busa sabun lalu duduk di sisi ranjang. Sambil mengelus perut Mika yang membesar, ia bersenandung.
"Bibirku bergetar terus nyanyikan cinta walau aku tahu tak terdengar.."
"Huh."
Mika mendengus sembari menepis elusan tangan berbusa Emon.Â
"Jelek!"
Hmm, harus diganti lagunya nih, batin Emon.Â
"Kalau cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang.."
Maka lagu Iwan Fals digantinya dengan Iwan Fals yang lain.
"Udaah ah. Bikin tambah bad mood," protes Mika. Bibirnya masih manyun. Masih meminta dibujuk. Emon tahu, sebentar lagi merajuk ini segera menepi sendiri. Bukan karena dia sukses membujuk istrinya. Mika hanya tidak tahan merajuk pada lelaki yang hatinya diawetkan dingin pos ronda dan telinga dipenuhi tembang Iwan Fals. Kaku.
"Kamu memang gak pernah bisa romantis. Masa' untuk ibu hamil lagunya begitu?"
"Hihihi." Emon cengengesan.
"Kamu kenapa istriku? Manggil-manggil kaya kehilangan aku saja. Ada apa?"
"Halaah...garing. Aku sedang ingin makan mangga yang kayak di halaman Pak Imam. Sekarang."
"Aku masih nyuci daster dan pakaian dalammu. Di kompor juga nasi belum mateng. Bentar lagi bisa gak?" tawar Emon sambil menidurkan kepalanya di betis gemuk Mika yang hamil lima bulan. Lalu diciumnya pipi Mika yang makin tebal. Gemuk yang rata.
"Gak mau, sekarang!" balas Mika sambil mendorong tubuh Emon. Seperti sapi bunting yang kesal dipermainkan tuannya. Emon yang masih kurus seketika tersungkur di lantai.Â
"Siaaap Bos."
Emon terus menghilang dari ruang pandang Mika. Lari bergegas.
***
"Sayaang..."
Teriak Mika kembali menggelegar. Tak ada balasan.
"Emooooon, kamu dimana sih? Selalu deh..setiap dipanggil pasti lama nyahutnya..huuh."
Mika kesal lagi. Bibirnya manyun kembali. Alisnya berbaut, wajahnya meringut. Wajah ibu hamil yang kusut.
"Mikaa sayang."
"Ibuuu?"
Mika tersenyum gembira. Ibunya datang. Memang sudah setahun ini mereka tidak lagi serumah. Ayah Mika memberikan warisan rumah untuk anak dan menantunya. Selain juga sehektar kebun jati dan beberapa ayam petelur lengkap dengan kandangnya. Emon hanya tinggal merawat ayam-ayam itu dan menebang beberapa pohon yang sudah bisa dijual. Lumayan.
"Ibu sudah lama datang?
"Baru aja kok. Kamu dan bayimu sehat? Sering ngontrol ke bidan kan?" tanya Ibunya.
"Iyaa Bu..sering kok. Alhamdulillah sehat."
"Alhamdulillah..Emon kemana?"
"Gak tahu tuh, dari tadi dipanggil gak ada jawaban. Ngeselin aja."
Wajah Mika kembali merenggut. Ada kesal yang bertumpuk nih, batin ibunya.
"Ka, kamu bahagia?"
Mika diam saja. "Hampir, Bu."
"Lhoo, kok hampir?"
"Emon gak romantis. Masa sama bayinya yang dinyanyiin lagu-lagu Iwan Fals Bu?" gerutu Mika. Manja pada ibunya kumat.
Ibunya diam saja. Menyembunyikan senyum.
"Lantas?" tanyanya lagi.
"Dia juga sering telat kalau dipanggil. Aku kan sedang hamil besar Bu. Harus dirawat benar. Kalau keguguran, gimana?"
Ibunya masih terdiam. "Emang kamu mau nyuruh apa?"
"Aku pengen makan batagor pak Mamat. Yang jualan dekat kantor desa itu Bu. Enak banget. Ibu pernah nyoba belum?"
"Iyaa sudah, ibu yang beliin ya. Kamu jagain rumah."
"Jangan Bu, biar Emon aja. Mooon..Mooon," teriak Mika tapi ibunya sudah berlalu.
Sambil tidur malas di ranjangnya, Mika kini membayangkan dirinya melahirkan. Anaknya akan dinamai siapa? Emonika saja. Tak perlu pakai identitas marga. Biar gak patriarki minded, batin Mika mengenang pelajaran kuliahnya.Â
Tiba-tiba bau hangus menyeruak. "Apa yang hangus nih?" gumamnya.
"Moooon..Moooon..apa yang hangus? Kamu masak apa sih? Mooooon?" teriak Mika. Â
 Sama kayak sebelum ibunya datang, tak ada jawab.
Mika lalu bangun dan berjalan pelan membawa perutnya yang besar ke dapur. Bau hangus itu makin menyengat.Â
"Emooon, kamu dimana? Masak nasi kok ditinggal. Moon?"
Tak ada balasan. Huh, ini anak kemana sih, Mika menahan geram dalam hatinya.
Mika terus ke belakang sesudah memadamkan kompor. Menuju halaman yang dipenuhi dengan jemuran. Sebagian besar pakaian miliknya. Sejak berbadan dua, Mika sering berkeringat hebat. Sehari bisa berganti baju sampai empat kali. Ia menjadi istri yang malas juga makin manja. Emosinya tipis, mudah uring-uringan. Sensitifitasnya buruk sekali.
Tanpa banyak ba-bi-bu, ini tanda siaga. Emon kini mengambilalih semua pekerjaan rumah sembari tetap merawat ternaknya. Mika pernah mengajak pulang ke rumah ibunya tapi Emon menolak. Itu mengurangi kepantasan diriku sebagai suami, kata Emon saat itu.
"Emooon...kamu ngapain di situ?"
Suara Mika tertahan. Di depan sana, pada sebatang pohon nyiur rindang, Emon tertidur sambil duduk. Wajahnya pucat dan lelah. Tubuhnya juga lebih kurus. Rambutnya telah panjang, beberapa helai jatuh menjumpai pipinya yang makin tirus. Tanda kurang tidur yang sering dan kerja yang berlebih.
"Emoon, kamu sakit..?"
Emon masih nyenyak. Di telapak tangannya yang terkulai, sebuah kertas tertulis terkoyak di sana.
Mika mengambilnya. Membacanya pelan sekali:
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Emon yang kelelahan tertidur bersama puisi Sapardi. Emon ingin berhenti menyanyikan lagu Iwan Fals kepada Mika. Ia ingin membaca puisi, agar tak garing, demi tidak dibilang kaku. Demi istri yang dimenangkannya lewat sayembara celaka. Walau seribu lelah merenggut tubuh kurusnya.
Mika mendadak diserang rasa haru yang bersalah. Ia telah membuat Emon seperti robot yang bekerja dua puluh empat jam.Â
Ia memeluk kepala Emon. Memindahkan nyenyak wajah tirus lelah ke bahunya. Diciumnya rambut yang mulai panjang itu.Â
Mata Mika basah.
***Â
*). Maaf, seri Emon dan Mika masih berlanjut. Demi imajinasi dan gairah menulis, diputuskan seri ini belum tamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H