“Bapa, ada telpon dari Bapa Aji.” Suara bocah itu mengagetkan Victor yang sedang duduk di halaman belakang rumahnya yang penuh taman bunga. Ia membalikan tatapnya. Tersenyum pada anak bungsunya.
“Halo, selamat merayakan Natal Sodaraku. Semoga cinta kasih dan damai selalu hidup di hati kita selalu. Aamiin.” suara Aji yang juga sudah mulai bercucu terdengar dari sana.
“Terimakasih saudara. Bagaimana kabar Maitua dan anak-anak?,” tanya Victor kemudian.
“Mereka baik semua. Mereka titip ucapan selamat juga. Sodara, bagaimana situasi Jayapura, saya baca di berita, kondisi keamanan sedang tidak kondusif beberapa bulan sebelum Desember. Ada semacam horor yang berjalan di sana. Betulkah?," tanya Aji dengan nada yang cemas.
“Yoo betul. Beberapa bulan lalu, kondisi keamanan buruk sekali. Ada beberapa pembunuhan misterius. Saya juga resah, pertikaian politik ini makin bergerak ke arah yang menghancurkan Sodara.” jawab Victor dengan nada yang sama cemasnya.
Sudah 10 tahun terakhir, Victor meninggalkan Serui karena surat tugas yang baru.
“Tapi saya berharap semoga Desember ini, dengan perayaan Natal, suasana damai itu segera terbangun, bukan sekedar slogan seremonial saja.” sambung Victor lagi.
“Aamiin. Saya dan keluarga selalu berdoa agar kondisi di Papua bisa kembali penuh damai dan persaudaraan Sodara, seperti masa kecil tong empat yang begitu bersaudara.”jawab Aji dengan nada yang penuh haru.
Percakapan itu terhenti sebentar.
Victor mengusap matanya yang basah. Beberapa saat lalu, dia baru saja tenggelam mengenang kesuksesan besar mereka di hari Natal ketika masih berusia bocah kelas 4 SD. Ia mengenang Petrus dan Fredy yang sudah lama berpulang karena kecelakaan maut di tengah laut ketika pulang dari mengambil durian di pulau seberang kota Serui.
“Semoga saja Sodara. Aamiin.” Jawab Victor sesudah emosinya mulai terkendali.