Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenangan Kecil Natal

21 Desember 2015   09:26 Diperbarui: 24 Desember 2018   18:55 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Desember. Pulau Serui, Papua. Dua dasawarsa sesudah pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat berlalu.

Matahari sedang remang, perlahan mulai tergelincir ke Barat. Di teras rumah dengan halaman penuh pasir putih, empat bocah SD : Aji, Victor, Petrus dan Fredy sedang sibuk menggunting lembaran kertas bekas, membentuknya menyerupai angka-angka. Tumpukan kaos bermacam warna tergeletak di hadapan mereka bertiga yang duduk membentuk segitiga.

“Ko mau pakai nomor berapa Ji?,” tanya Petrus, anak keturunan Biak bermarga Manufandu. Petrus sedang membentuk angka 4.

“Nomor 9 saja. supaya sama dengan kaka Dullah Kamare. Hahaha!” Aji menjawab sambil terbahak. Ia membayangkan diri seperti sang idola, yang selalu menjadi momok pertahanan setiap lawan ketika liga klub lokal dihelat.

“Kalau saya ikut kaka Yoseph Rumaikewi saja to.” Timpal Fredy, yang mengidolakan kakak sepupunya sendiri.

“Kalau saya, pakai nomor 10 saja, sama dengan kaka Daniel Kambuaya.” Kata Victor ikut mengajukan nomor yang dipilihnya. Fredy juga bermarga Rumaikewi sedang Victor bermarga Worabay, marga yang juga berasal dari Serui.

Guntingan angka-angka itu lalu disepuh dengan nasi dingin di setiap ujungnya dan ditempelkan pada bagian belakang kaos berwarna itu. Empat bocah sekelas rupanya sedang membuat kaos tim mereka sendiri menurut angka-angka yang digunakan idola mereka.

“Ji, baru sebentar sore ko ikut main ka tidak? Tong mau lawan anak-anak Tarau. Dong kuat juga.” tanya Victor sesudah angka terakhir mereka tempelkan.

“Adoh, saya tra bisa. Saya harus mengaji, nanti besok baru bisa. Baru abis itu mau ikut Mama ke arisan keluarga Kulonprogo nih.” jawab Aji dengan nada gundah.

“Nanti Frengky saja yang di depan dengan ko to.” sambung Aji lagi, lalu masuk ke dalam rumah, mengambil es lilin jualan ibunya.

Sambil mengunyah es lilin, mereka berempat lalu sibuk bercakap-cakap rencana taktik melawan musuhnya nanti sore. Di Serui, rombongan anak-anak sering bertemu di lapangan untuk saling bertanding. Sepakbola adalah sebuah wajah setiap sore hampir di setiap pemukiman yang memiliki tanah lapang sekali pun hanya untuk pertandingan kecil dengan 6-8 orang setiap tim.

“Anak-anak, kam sudah makan ka belum? Kalau belum, makan dulu. Tante lagi bikin papeda kuah ikan kuning tu.” suara berat itu menghentikan percakapan serius mereka.

“Betulkan Oom? Adooh, Aji, ko pelanggaran sekali. Masa tra ajak tong makan dari tadi.” jawab Petrus sambil menatap Aji yang cengengesan.

Empat bersahabat itu lalu mengikuti suara berat itu masuk ke dalam rumah. Makan papeda bersama.

***
Dua hari sebelum natal. Pada sebuah sore yang mendung.

Rumah panjang meniru model barak militer itu mulai sibuk berbenah. Beberapa bagian dindingnya sedang dicat. Halaman berukuran sedang yang sering menjadi lokasi bermain sepakbola bocah-bocah saban sore kini mulai ditata rapi. Sebentar lagi perayaan natal, semua warga rumah barak itu bersiap menyambutnya. Sebagian isi rumah barak itu dihuni oleh guru-guru yang merupakan keturunan suku asli dari Serui dan Biak. Beberapa dari Jawa dan Sumatera.

Fredy sedang menunggu tiga sahabatnya datang. Ia seperti gelisah. Dilihatnya langit, mendung tebal tak juga pergi dari langit. Lalu datang tiga bocah dengan membawa sepedanya masing-masing.

“Bah, kam lama sekali eh.” sambut Fredy dengan nada antara cemas dan kesal. Ketiga kawannya hanya tersenyum. Mereka lalu masuk ke dalam rumah, duduk di teras bersama Fredy.

Hanya Aji yang segera masuk ke dalam dan berteriak. “Tante...Tante..su bikin kue Natal ka belum?”

Seorang Mama Papua dengan rambut keritingnya yang mulai beruban berjalan dari arah dapur yang terletak di bagian belakang. Melihat Aji, ia tersenyum. Lalu dipeluknya bocah kecil itu.

“Tante tra bikin kue, nanti kaka Maria yang bawa kue kesini. Tapi Tante ada bakar sagu gula merah di belakang, ko suka?,” tawar Mama Papua itu untuk menenangkan hati bocah yang sudah seperti anaknya.

“Tante betulkah? Wooooi, kam tiga cepat kesini, ada sagu bakar gula merah nih.” teriak Aji memanggil tiga sahabatnya. Seolah saja ia adalah Fredy sedang Fredy adalah tamu. Sekejap, mereka berempat berlari ke belakang, menuju dapur lalu duduk melantai menunggu sagu gula merah favorit itu dihidangkan dengan teh manis.

Sesudah menyantap makanan favorit, empat bersahabat ini lalu berpindah ke bagian depan rumah. Mereka sedang menyiapkan satu rencana penting di hari natal nanti.

“Jadi bagaimana tong pu rencana?,” Petrus membuka percakapan serius mereka. Berempat mereka terdiam sejenak.

“Besok, semua pakai celana panjang yang banyak kantong. Jangan lupa bawa kantung plastik. Tong harus dapat banyak cocacola, fanta deng sprite banyak. Tahun lalu tong empat cuma dapat 15 kaleng. Tahun ini harus 20. Bisa ka tidak?,” Victor mulai membuka pembicaraan.

“Oke, sa setuju. Tahun ini harus dapat banyak. Tapi darimana?,” tanya Petrus.

“Tong pergi ke rumah kepala sekolah, baru ke guru-guru to....Ah, tapi kalau cuma dorang, tra mungkin, paling juga tong dikasih sirup sama bawa kue pulang.” Victor ragu dengan pendapatnya sendiri. minuman kaleng merek Cocacola, Fanta dan Sprite tahun-tahun itu memang minuman kalengan yang masih tergolong mewah.

“Tong bertamu ke Bupati pu rumah saja, bagaimana?” usul Fredy. “Tapi tra usah bawa kantung plastik. Tra usah cari minuman kaleng juga. Tahun ini tong harus bisa ketemu Bapa Bupati saja, pegang tangan baru bilang selamat Natal terus tong pulang. Bagimana?,” sambungnya lagi.

Mereka berempat lalu bertatap, tersenyum ceria, ide yang perlu dicoba. Empat bocah kelas 4 SD telah tenang hatinya tak sabar, mereka sudah punya rencana serius di hari natal.

Natal kali ini tidak ada perburuan minuman kaleng. Natal kali ini harus bertemu Bupati. Titik!

***
25 Desember.

Hujan gerimis menyertai langkah pagi kaum Kristiani menghadiri ibadah Natal di gereja. Kota Serui yag kecil itu menjadi tambah hening.

Di depan teras rumahnya, Aji duduk dengan resah tiada kira. Jika gerimis terus saja bertahan atau berubah menjadi hujan deras, maka rencana mereka bakal bubar berantakan.

Pukul 10.00 WIT. Petrus, Fredy dan Victor muncul dengan sepeda. Bertiga dengan celana panjang tanpa kantong. Dandan rapi mereka agak berantakan sebab memaksa diri menembus gerimis untuk menjemput sahabatnya demi menuntaskan rencana besar mereka di hari Natal.

“Aji, mari sudah. Jang sampai hujan deras lagi,” panggil Fredy sesudah masuk di halaman berpasir putih itu.

“Baaa, masuk dulu. Pegang tangan dulu to, saya kan belum bilang selamat natal buat kam tiga.” Jawab Aji yang memaksa tiga sahabatnya turun dari sepeda.

“Selamat Natal e.”sambut Aji sambil menjabat erat tangan tiga sahabatnya.

“Tante dengan Om kemana?,” tanya Victor sambil melihat ke dalam rumah.

“Dong su pergi ke nenek Rumkabu pu rumah, pergi bertamu to. Mari tong berangkat. Jangan sampai su banyak orang lagi.” ” jawab Aji.

Berempat dengan sepeda, mereka pergi menuju rumah dinas Bupati yang terletak di alun-alun kota. Sepeda mereka kayuh dengan cepat, tak menghiraukan genangan air yang kini menimbulkan bercak coklat di punggung mereka. Anak-anak yang sedang serius berencana sering bisa lebih sungguh dari orang dewasa.

Pukul 12.00. WIT

Di depan halaman rumah Bupati, mereka disambut salah satu penjaga.

“Om Satpam, tong mau ketemu Bapa Bupati. Masuk lewat mana?,” tanya Victor segera saja. Petugas keamanan itu sebentar tersentak, lalu tersenyum.

“Masuk dulu, parkir kam pu sepeda baru pergi ke sebelah kanan rumah e.” Jawab petugas itu sambil tersenyum. Ada rasa lucu melihat keseriusan empat bocah dengan celana panjang dan punggung kemeja yang kini penuh bercak becek genangan air. Ia membayangkan di dalam rumah utama yang terpisah beberapa meter, Bupati sedang sibuk menyambut tamu-tamu penting di kota ini.

Keempatnya langsung mengambil langkah bergegas menuju petunjuk arah dari Om penjaga. Fredy bahkan berlari kecil agar segera saja tiba duluan dan berharap menjadi orang pertama yang menjabat tangan Bupati.

Tiba di bagian kanan rumah dinas, mereka langsung terkejut. Ada banyak anak-anak seumuran yang juga sedang duduk dengan rombongannya disana. Kebanyakan sudah memegang minuman kaleng dan sedang mengunyah kue kering dari dalam toples kaca.

Mereka saling menatap. Bimbang, maju atau balik kanan.

“Baru, bagimana ini?,” tanya Petrus memeceh kebimbangan mereka.

“Tong tunggu saja sampai anak-anak itu dong pulang.”jawab Victor sambil melangkah maju. Rencana bertemu Bupati harus tetap terwujud sekali pun harus menunggu sampai malam. Tiga orang sahabatnya ikut melangkah maju, bergabung dengan ramai anak-anak itu.
Mereka berempat lalu duduk dan larut dalam keramaian anak-anak yang lain.

Pukul 14.30 WIT.

Rombongan anak-anak mulai berkurang pelan-pelan. Aji, Victor, Fredy dan Petrus terus saja duduk menunggu. Minuman kaleng pemberian asisten rumah tangga sudah habis sejak tadi. Perut rasanya juga sudah penuh dengan kue kering. Juga sedikit kembung.

Tak ada tanda-tanda Bupati akan menemui mereka. Mereka tetap menunggu, sembari berharap Bupati boleh menemui mereka walau sekedar berjabat tangan dan mengucapkan selamat merayakan Natal.

“Su mo sore ini, tong pulang saja kah?,” ajak Petrus yang mulai tak tahan dengan menunggu.

“Tidak, tong tunggu sampai malam.” Jawab Victor tegas. Ia masih memiliki keyakinan. Aji dan Fredy hanya diam. Sepertinya Victor memang benar. Ini rencana besar, jangan sampai gagal gara-gara menyerah menunggu.

Pukul 17.00 WIT.

“Su mo magrib nih. Pasti tong dapa cari kalau belum pulang.”ujar Aji gusar. Tapi menunggu berjam-jam, Bupati belum lagi menemui mereka. Kini terbayang wajah orang tua mereka yang sibuk mencari kemana anak-anak mereka bertamu di hari Natal.

“Kam tunggu di sini.” Jawab Victor yang lalu bergegas. Ia menuju rumah utama. Tiga sahabatnya hanya bisa diam, apalagi yang direncanakan Victor?

17.20, WIT.

Victor berlari-lari, wajahnya sumringah. “Woooi, kam cepat kesini, jangan tidur di situ, Bapa Bupati dia mau terima tong.”

Aji, Fredy dan Petrus terkejut dari tidur duduk mereka. Bapa Bupati mau terima mereka? Tidak mungkin. “Ah, ko yang betul saja.” balas Petrus kesal, terjaga mendadak dari lelapnya.

“Cepat sudaah !,” teriak Victor lebih keras. Sekejap saja mereka terus berlari kencang menuju rumah utama. Seorang asisten rumah tangga sudah menyambut mereka dengan senyum yang ceria.

Rencana akhirnya terwujud, mereka boleh menjabat tangan Bapa Bupati dan mengucapkan selamat Natal walau hanya 10 menit sebab Bupati harus gantian bertamu ke rumah pejabat yang lain.

“Victor, ko bikin apa sampe tong bisa ketemu Bapa Bupati?,” tanya Aji gembira.

“Ah, saya bilang saja to kalau tong su setengah hari ada tunggu Bapa Bupati, tong cuma mau pegang tangan saja, mau bilang selamat Natal. Tong tra mau ambil minuman kaleng. Bapa Bupati tra kasihan kah?,” Victor menjawab sambil tersenyum.

Mereka berempat lalu bergandeng bahu dan menuju sepedanya masing-masing. Geremis yang turun menyempurnakan basah di hati mereka yang sempat kering sebab menunggu bertemu orang nomor satu di kota kecil itu.

***
Desember, tahun 2011.

“Bapa, ada telpon dari Bapa Aji.” Suara bocah itu mengagetkan Victor yang sedang duduk di halaman belakang rumahnya yang penuh taman bunga. Ia membalikan tatapnya. Tersenyum pada anak bungsunya.

“Halo, selamat merayakan Natal Sodaraku. Semoga cinta kasih dan damai selalu hidup di hati kita selalu. Aamiin.” suara Aji yang juga sudah mulai bercucu terdengar dari sana.

“Terimakasih saudara. Bagaimana kabar Maitua dan anak-anak?,” tanya Victor kemudian.

“Mereka baik semua. Mereka titip ucapan selamat juga. Sodara, bagaimana situasi Jayapura, saya baca di berita, kondisi keamanan sedang tidak kondusif beberapa bulan sebelum Desember. Ada semacam horor yang berjalan di sana. Betulkah?," tanya Aji dengan nada yang cemas.

“Yoo betul. Beberapa bulan lalu, kondisi keamanan buruk sekali. Ada beberapa pembunuhan misterius. Saya juga resah, pertikaian politik ini makin bergerak ke arah yang menghancurkan Sodara.” jawab Victor dengan nada yang sama cemasnya.

Sudah 10 tahun terakhir, Victor meninggalkan Serui karena surat tugas yang baru.

“Tapi saya berharap semoga Desember ini, dengan perayaan Natal, suasana damai itu segera terbangun, bukan sekedar slogan seremonial saja.” sambung Victor lagi.

“Aamiin. Saya dan keluarga selalu berdoa agar kondisi di Papua bisa kembali penuh damai dan persaudaraan Sodara, seperti masa kecil tong empat yang begitu bersaudara.”jawab Aji dengan nada yang penuh haru.

Percakapan itu terhenti sebentar.

Victor mengusap matanya yang basah. Beberapa saat lalu, dia baru saja tenggelam mengenang kesuksesan besar mereka di hari Natal ketika masih berusia bocah kelas 4 SD. Ia mengenang Petrus dan Fredy yang sudah lama berpulang karena kecelakaan maut di tengah laut ketika pulang dari mengambil durian di pulau seberang kota Serui.

“Semoga saja Sodara. Aamiin.” Jawab Victor sesudah emosinya mulai terkendali.

“Sodara, saya mau jalan dulu dengan anak-anak nih. Mau ke rumah tetangga yang merayakan Natal juga. Titip salam buat Maitua dan anak-anak bagus di situ e. Kalau sempat, tolong ziarah ke Petrus dan Fredy pu makam.” pamit Aji yang kini telah merantau ke Palangkaraya.

“Selamat Sodara. Salam baik juga buat Maitua dan anak-anak bagus di situ. Ini tunggu Maitua rapikan dapur baru tong ziarah ke Petrus deng Fredy pu makam.” Jawab Victor sambil menutup teleponnya.

Victor lalu masuk ke dalam, menuju sebuah tape recorder tua yang terletak di kamar tidurnya. Ia memasang kaset dan memutar lagu lama yang turut mewarnai persaudaraan lintas anak suku dan agama sejak masa kecil. 

Ajarilah kami bahasa kasihmu agar kami dekat denganmu ya Tuhanku!

***

Catatan :

Tong = Kita

Dong = Mereka

Kam = Kalian

Ko = Kamu

Tra = Tidak

Pu = Punya

Maitua = Istri

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun