Hujan deras, teluk Manado menumpahkan ombak yang marah karena pesisirnya ditimbun hingga ke jalanan. Ada kompleks pertokoan yang rusak. Tapi warga kota tak membicarakan Pancasila. Pembangunan pesisir sebagai pusat bisnis jalan sendiri, Pancasila berdialog sendiri. Di atas lahan reklamasi, Pancasila tak memiliki panggung. Paling tidak di benak Komen yang sering menghirup sisa-sisa hangat ketika matahari terbenam di dekat gunung Manado Tua.
Komen punya kekasih, nona Manado bermarga Sondakh. Bulan Desember begini kekasihnya sibuk dengan perayaan Natal. Ia aktifis Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kristen di kampus. Selalu bersemangat dan penuh perhatian. Selalu berusaha memahami Komen bahkan ketika kondisi pikiran sedang politis. Ketika Komen berulang kali menyebut referendum dan merdeka. Atau ketika Komen uring-uringan karena kiriman bulanan yang terlambat.
Tapi Komen sudah lama tidak ke gereja. Namun nona Sondakh tetap mencintainya.
***
2011. Komen sudah pulang ke Jayapura. Ke rumah dimana ia dilahirkan mula-mula, dalam perjumpaan yang menyakitkan antara nasionalisme Indonesia, pembangunan, militerisme dan kekecewaan suku-suku asli. Bahkan, dalam satu laporan, dikatakan manusia Papua, sebangsa Komen, sedang mengalami slow motion genocide, sedang musnah perlahan-lahan secara sistematik. Kekecewaan yang bisa berujung punah.
Tapi, Jayapura malah ramai dengan pertokoan. Dimana-mana ada ruko dibangun. Di Abepura, Padang Bulan hingga Sentani, ruko-ruko baru berdiri. Di Kotaraja dan kawasan Entrop juga dibangun. Matahari dan Studio XXI dibangun berhadapan dengan kantor Kepolisian Daerah di APO.
Dahulu, sebelum kuliah ke Manado, titik-titik keramaian Jayapura hanyalah di sekitar taman Imbi dan kawasan Gubernuran dok II. Di Abepura titik keramaian hanya tersedia mengikuti supermarket Mega, toko Sinar Aneka dan Toko Sumber Makmur. Di Waena hanya punya Topaz. Kini ruko bertambah demikian pesat, semisal bintik-bintik panu pada kulit yang gelap, mencolok sekali.
Keramaian yang tumbuh oleh sistem-sistem konsumtif, batin Komen seolah seorang sosiolog muda.
‘Mama, pinang satu tempat brapa?’, tanya Komen sambil berjongkok pada seorang Ibu dengan mulut yang terus mengunyah. Dengan menggelar tikar, Ibu ini menjaja pinang yang diletakkan di atas meja kecil dengan penerangan pelita.
‘Seribu saja anak’, sahut Ibu itu pelan sambil mengatur letak pinang yang lain. ‘Sa beli dua Mama e’, balas Komen sambil menyerahkan selembar dua ribuan lusuh.
Tak lama berselang, mulut Komen telah memerah. Di malam yang temaram, ia akan terlihat seperti habis meminum darah. Rahangnya terus bergerak, mata Komen kosong, tak berkata-kata melihat keramian di pusat pertokoan, dimana di depannya Mama tadi menjual pinang.