Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Delete Contact

16 Februari 2015   15:33 Diperbarui: 9 Juni 2017   11:26 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah 6 semester Komen mengambil kuliah sosiologi. Kini waktunya mendalami mata kuliah keahlian. Dan untuk itu, Komen memilih sosiologi agama. Ia ingin tahu mengapa agama-agama mudah marah, bertikai dan menumpahkan darah sesama.

Tahun 1999, buku Beyond Belief, diterjemahkan penerbit Paramadina. Ada risalah tentang Civil Religion dalam pengalaman Amerika Serikat disana. Penulisnya Robert Bellah, murid langsung Talcott Parsons si Mahaguru Fungsionalisme, bercerita tentang satu ‘agama sintesis’, agama publik, yang menjadi titik temu ‘agama-agama langit’ itu dalam pengalaman masyarakat Amerika Serikat yang multi-rasial.

Komen pernah membacanya. Dan hari ini, dosen seorang pendeta Protestan yang energik, pengampu sosiologi agama hendak bercerita tentang risalah Bellah. Risalah tentang bagaimana Pancasila bisa menjadi Civil Religion untuk pengalaman negara-bangsa bernama Indonesia.

Di tahun yang sama, Amerika Serikat diserbu serangan terorisme. Dunia mengenangnya sebagai Tragedi 11 September. Juga di Bali, salah satu basis magnet pariwisata di muka bumi, bom bunuh diri membunuh ratusan orang, sebagian besar orang asing.

Tapi di ruang kuliah itu, mereka tak menghubungkan Civil Religion dengan terorisme, tak melihat tafsir Bellah terhadap radikalisme agama. Indonesia memang sedang suram sejak Soeharto jatuh. Pancasila seperti kehabisan nafas. Beberapa daerah dengan mayoritas Islam hendak menjalankan syariat Islam sebagai dasar hukum di tingkat lokal. Anak bangsa yang Kristiani resah. Hendak berpisah saja.

Pancasila seakan-akan telah menjadi kitab moral yang tak sesuai lagi dijadikan rujukan etis. Ia rumah bagi mereka yang terdidik dan mahir bersiasat. Bagi yang menderita miskin, ia adalah candu.

Setahun sebelumnya, presiden Abdurrahman Wahid mengijinkan rakyat Papua melaksanakan kongres. Banyak anak-anak suku dari pegunungan tumpah ke Jayapura. Disangkanya akan segera merdeka, lepas dari Indonesia. Jayapura di tahun itu mendadak ada banyak pemukiman-pemukiman baru yang dibentuk oleh orang-orang dari pegunungan. Pemukiman yang dibuat dari bahan seadanya. Yang penting merawat komunalisme, bukan sebatas kenyamanan istirahat. Sesudah kongres berakhir, mereka tak kembali ke kampungnya di lembah dan puncak-puncak nun jauh disana.

Ini era otonomi daerah. Dimana-mana, dari parlemen hingga pasar, kata otonomi seperti mantra. Orang-orang terhipnotis lalu mudah menjadi sektarian. Para intelektual dan politisi berwawasan tahu, ini era daerah menegoisasikan lagi batas-batas kepentingannya kepada Jakarta, pusat yang berpuluh tahun hidup bergelimang derita orang daerah. Semacam arus balik, decentering subject. Pancasila salah satu yang bisa terkubur oleh arus balik ini. Karena itu, ini masa yang rawan.

Pendeta protestan itu membahasa kondisi post Soeharto ini dengan cahaya muram refleksi sosiologi. Teman-teman kuliahnya yang lain juga muram karena jenuh karena pikiran yang kembara ke jadwal tayang studi 21. Hanya Komen yang bergairah melucuti mitos-mitos kebangsaan dan keadilan sosial dalam Pancasila ala Orde Negara Birokratis Rente.

‘Pancasila sudah habis Meneer. Ia hanyalah selubung bagi ekspansi nasionalisme Jawa yang lahir sunsang dalam Budi Utomo dan perlintasan bagi proyek developmentalisme Blok Barat!. Ia juga menjadi kerangka justifikasi bagi beroperasinya alat-alat represif Negara. Ia alat ideologis yang memperkosa bumi dan rakyat Papua juga Aceh berkali-kali. Inilah kutukan fungsionalisme yang harus dilucuti Meneer!’.

Pendeta cum sosiolog itu hanya terdiam. Di dalam hatinya ia cemas dan berdoa. Ia cemas Komen akan memilih jalan konfrontasi. Sosiologi telah menjadi senjata bagi kegelisahannya sebagai anak-anak Papua di perantauan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun