Pemberian Tahu
Bukan maksudku mau berbagi nasib.
Nasib adalah kesunyian masing-masing
Ku pilih kau dari yang banyak, tapi sebentar
Kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Aku pernah ingin benar padamu, di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali.
Kita berpeluk cium tiada jemu,
Rasa tak sanggup kau kulepaskan.
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku, aku memang tak bisa lama bersama.
Ini juga kutulis di kapal, di laut tak bernama.
(Chairil Anwar, 1946)Â
------------------------------
Senja sudah lama tak lagi indah. Tapi ia selalu soal batas.
Sisa-sisa air hujan masih membekas di atas rerumputan. Di meja, ada majalah Tempo dengan judul Di Bawah Lindungan Dahlan. Selain 5 biji jagung rebus dan secangkir kopi kemasan. Rumah itu lengang. Si Lelaki muda, penghuninya, entah dimana.
Beberapa hari terakhir ini, hujan hadir seperti nyanyian surgawi, mengunjungi telinga yang sesak oleh celoteh televisi. Celoteh yang datang dari keserakahan berburu rating, kerakusan menjaring iklan, dan, terseok-seok sebab tersandera syahwat politik. Lelaki itu, si penghuni, entah kemana.
Di rumah itu, air hujan lalu membawa kejenuhan kembali ke tanah. Lelaki itu, entah sedang dimana.
***
Tahun 2001. Langit Manado mendung. Setiap Desember selalu begitu. Tapi ada rombongan Santa Clauss di jalanan berbagi hadiah. Desember yang basah dan marak.
Sudah 6 semester Komen mengambil kuliah sosiologi. Kini waktunya mendalami mata kuliah keahlian. Dan untuk itu, Komen memilih sosiologi agama. Ia ingin tahu mengapa agama-agama mudah marah, bertikai dan menumpahkan darah sesama.
Tahun 1999, buku Beyond Belief, diterjemahkan penerbit Paramadina. Ada risalah tentang Civil Religion dalam pengalaman Amerika Serikat disana. Penulisnya Robert Bellah, murid langsung Talcott Parsons si Mahaguru Fungsionalisme, bercerita tentang satu ‘agama sintesis’, agama publik, yang menjadi titik temu ‘agama-agama langit’ itu dalam pengalaman masyarakat Amerika Serikat yang multi-rasial.
Komen pernah membacanya. Dan hari ini, dosen seorang pendeta Protestan yang energik, pengampu sosiologi agama hendak bercerita tentang risalah Bellah. Risalah tentang bagaimana Pancasila bisa menjadi Civil Religion untuk pengalaman negara-bangsa bernama Indonesia.
Di tahun yang sama, Amerika Serikat diserbu serangan terorisme. Dunia mengenangnya sebagai Tragedi 11 September. Juga di Bali, salah satu basis magnet pariwisata di muka bumi, bom bunuh diri membunuh ratusan orang, sebagian besar orang asing.
Tapi di ruang kuliah itu, mereka tak menghubungkan Civil Religion dengan terorisme, tak melihat tafsir Bellah terhadap radikalisme agama. Indonesia memang sedang suram sejak Soeharto jatuh. Pancasila seperti kehabisan nafas. Beberapa daerah dengan mayoritas Islam hendak menjalankan syariat Islam sebagai dasar hukum di tingkat lokal. Anak bangsa yang Kristiani resah. Hendak berpisah saja.
Pancasila seakan-akan telah menjadi kitab moral yang tak sesuai lagi dijadikan rujukan etis. Ia rumah bagi mereka yang terdidik dan mahir bersiasat. Bagi yang menderita miskin, ia adalah candu.
Setahun sebelumnya, presiden Abdurrahman Wahid mengijinkan rakyat Papua melaksanakan kongres. Banyak anak-anak suku dari pegunungan tumpah ke Jayapura. Disangkanya akan segera merdeka, lepas dari Indonesia. Jayapura di tahun itu mendadak ada banyak pemukiman-pemukiman baru yang dibentuk oleh orang-orang dari pegunungan. Pemukiman yang dibuat dari bahan seadanya. Yang penting merawat komunalisme, bukan sebatas kenyamanan istirahat. Sesudah kongres berakhir, mereka tak kembali ke kampungnya di lembah dan puncak-puncak nun jauh disana.
Ini era otonomi daerah. Dimana-mana, dari parlemen hingga pasar, kata otonomi seperti mantra. Orang-orang terhipnotis lalu mudah menjadi sektarian. Para intelektual dan politisi berwawasan tahu, ini era daerah menegoisasikan lagi batas-batas kepentingannya kepada Jakarta, pusat yang berpuluh tahun hidup bergelimang derita orang daerah. Semacam arus balik, decentering subject. Pancasila salah satu yang bisa terkubur oleh arus balik ini. Karena itu, ini masa yang rawan.
Pendeta protestan itu membahasa kondisi post Soeharto ini dengan cahaya muram refleksi sosiologi. Teman-teman kuliahnya yang lain juga muram karena jenuh karena pikiran yang kembara ke jadwal tayang studi 21. Hanya Komen yang bergairah melucuti mitos-mitos kebangsaan dan keadilan sosial dalam Pancasila ala Orde Negara Birokratis Rente.
‘Pancasila sudah habis Meneer. Ia hanyalah selubung bagi ekspansi nasionalisme Jawa yang lahir sunsang dalam Budi Utomo dan perlintasan bagi proyek developmentalisme Blok Barat!. Ia juga menjadi kerangka justifikasi bagi beroperasinya alat-alat represif Negara. Ia alat ideologis yang memperkosa bumi dan rakyat Papua juga Aceh berkali-kali. Inilah kutukan fungsionalisme yang harus dilucuti Meneer!’.
Pendeta cum sosiolog itu hanya terdiam. Di dalam hatinya ia cemas dan berdoa. Ia cemas Komen akan memilih jalan konfrontasi. Sosiologi telah menjadi senjata bagi kegelisahannya sebagai anak-anak Papua di perantauan.
Hujan deras, teluk Manado menumpahkan ombak yang marah karena pesisirnya ditimbun hingga ke jalanan. Ada kompleks pertokoan yang rusak. Tapi warga kota tak membicarakan Pancasila. Pembangunan pesisir sebagai pusat bisnis jalan sendiri, Pancasila berdialog sendiri. Di atas lahan reklamasi, Pancasila tak memiliki panggung. Paling tidak di benak Komen yang sering menghirup sisa-sisa hangat ketika matahari terbenam di dekat gunung Manado Tua.
Komen punya kekasih, nona Manado bermarga Sondakh. Bulan Desember begini kekasihnya sibuk dengan perayaan Natal. Ia aktifis Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kristen di kampus. Selalu bersemangat dan penuh perhatian. Selalu berusaha memahami Komen bahkan ketika kondisi pikiran sedang politis. Ketika Komen berulang kali menyebut referendum dan merdeka. Atau ketika Komen uring-uringan karena kiriman bulanan yang terlambat.
Tapi Komen sudah lama tidak ke gereja. Namun nona Sondakh tetap mencintainya.
***
2011. Komen sudah pulang ke Jayapura. Ke rumah dimana ia dilahirkan mula-mula, dalam perjumpaan yang menyakitkan antara nasionalisme Indonesia, pembangunan, militerisme dan kekecewaan suku-suku asli. Bahkan, dalam satu laporan, dikatakan manusia Papua, sebangsa Komen, sedang mengalami slow motion genocide, sedang musnah perlahan-lahan secara sistematik. Kekecewaan yang bisa berujung punah.
Tapi, Jayapura malah ramai dengan pertokoan. Dimana-mana ada ruko dibangun. Di Abepura, Padang Bulan hingga Sentani, ruko-ruko baru berdiri. Di Kotaraja dan kawasan Entrop juga dibangun. Matahari dan Studio XXI dibangun berhadapan dengan kantor Kepolisian Daerah di APO.
Dahulu, sebelum kuliah ke Manado, titik-titik keramaian Jayapura hanyalah di sekitar taman Imbi dan kawasan Gubernuran dok II. Di Abepura titik keramaian hanya tersedia mengikuti supermarket Mega, toko Sinar Aneka dan Toko Sumber Makmur. Di Waena hanya punya Topaz. Kini ruko bertambah demikian pesat, semisal bintik-bintik panu pada kulit yang gelap, mencolok sekali.
Keramaian yang tumbuh oleh sistem-sistem konsumtif, batin Komen seolah seorang sosiolog muda.
‘Mama, pinang satu tempat brapa?’, tanya Komen sambil berjongkok pada seorang Ibu dengan mulut yang terus mengunyah. Dengan menggelar tikar, Ibu ini menjaja pinang yang diletakkan di atas meja kecil dengan penerangan pelita.
‘Seribu saja anak’, sahut Ibu itu pelan sambil mengatur letak pinang yang lain. ‘Sa beli dua Mama e’, balas Komen sambil menyerahkan selembar dua ribuan lusuh.
Tak lama berselang, mulut Komen telah memerah. Di malam yang temaram, ia akan terlihat seperti habis meminum darah. Rahangnya terus bergerak, mata Komen kosong, tak berkata-kata melihat keramian di pusat pertokoan, dimana di depannya Mama tadi menjual pinang.
Pernah pula di satu pagi yang basah. Di sebuah kantor bank daerah, Komen melihat perempuan muda berjalan tanpa alas kaki. Dua anak kecil turut di belakangnya juga tanpa alas kaki. Mereka masih bagian dari anak suku yang datang dari pegunungan. Serakan air berwarna coklat dilaluinya tanpa peduli. Ia menuju ruang mesin ATM, bukan hendak menarik duit.
Mereka hanya singgah, berteduh dari hujan. Mungkin juga penasaran mengapa ada mesin bisa mengeluarkan uang. Tas noken tetap terpasang di kepala.
Komen diam saja, menelisik atas bawah lalu menerawang. Ada perih di sudut hatinya. Matanya sembab. Air hujan yang jatuh serasa lebih lambat dari biasanya.
Pikiran terdidiknya bergerak mencari-cari kritik sosiologi yang bisa memberi makna untuk rangkain situasi tadi. Komen lalu ingat pada kritik-kritik Dependency Theory, tentang negeri postcolonial yang tersandera pembagian kerja internasional yang timpang. Tentang Kapitalisme yang membelah dunia dalam pusat dan pinggiran. Tiba-tiba Komen ingat dosennya, sang Pendeta yang energik itu.
Adakah Pancasila menyapa, memeluk hangat juga menyemai harapan Mama-Mama penjual pinang yang menunggu pembeli di trotoar sebuah pertokoan untuk masa depan yang cerah bahagaia ?. Memberi kesetaraan pada kaki-kaki kecil yang bertelanjang kaki di jalanan dengan ekpansi warga pendatang ?.
Inikah kemajuan yang dimaksud pejabat pemerintah di laporan pembangunan dan pidato-pidato politik di setiap upacara ?. Inikah pengulangan misi pemberadapan (civilization) yang menjadi proyek sejarah Negara-bangsa bernama Indonesia sesudah tuan-tuan kolonial itu pulang ke rumahnya ?.
‘Tapi apa guna saya mematut diri di hadap teori-teori sosiologi sementara sepatu pembangunan tetap saja berjalan menendang keluar Mama-Mama itu ?’, ujar lirih Komen dari rahang yang kini penuh pinang dan kepul asap Dji Sam Soe.
‘Sosiologi seperti ini tak praksis, ia justru menjinakkan kritik, menyimpangkan emansipasi. Mesti memilih jalan Che Quevarra atau Zapatista!’, tegas Komen seiring hujan yang jatuh di langit Abepura.
‘Sayang, lagi ba apa doe ? jang kuat bagadang neh’, teks Manado Melayu ini masuk di inbox pada handphone nokianya.  Sms yang tiba-tiba dari nona Sondakh.
Hati Komen mendadak getir, seperti ditikam sejuta petir. Hangus.
Selama masa sulit perkuliahan di Manado, nona Sondakh-lah yang merawat kesehariannya. Yang menjaga tiang-tiang pengharapan di jiwanya tetap tegak dengan kasih mesra yang tulus tak berbatas.
Mereka punya niat hidup bersama. Tapi Komen terlanjur memilih jalan sendiri.
***
Braaak !!. Pintu rumah itu jebol oleh dobrakan tubuh manusia. Sepuluh orang berbadan kekar berseragam preman menerobos masuk. Rumah yang lengang itu mendadak berantakan.
‘Periksa seluruh isi rumah !’, seru salah satunya. Lalu menyebarlah mereka.
15 menit membongkar isi rumah, tak ada hal istimewa yang ditemui. Hanya ada majalah Tempo dan jagung rebus di meja. Tak ada catatan, peta, bendera, laptop atau senjata rakitan. Juga pakaian-pakaian. Sudah dikosongkan.
‘Jangan-jangan operasi ini su bocor Ndan ?!’, tanya salah satu diantara rombongan ini. ‘Sepertinya begitu’, ucap yang disebut Komandan itu datar. Ada sedikit kesal. Target keburu kabur. ‘Pasang police line, barangkali ada babuk yang terlewati waktu kita periksa tadi!’, perintahnya lekas.
Di halaman rumah, warga sekitar tumpah ruah. Penasaran. ‘Seperti ada penangkapan teroris saja’, ujar salah seorang diantara mereka. ‘Ada apa dengan Komen ?. Kenapa rumah kontrakannya diserbu polisi ?’, tanya seorang yang lain.
Majalah Tempo berjudul Di Bawah Naungan Dahlan itu terbuka oleh angin yang melintasi pintu yang rusak. Pada salah satu halaman di dalamnya, ada artikel yang digarisbawahi dengan tinta stabilo berwarna merah. Judul artikel itu DI BAWAH LINDUNGAN BINTANG KEJORA.
Komen sudah lama menjadi Target Operasi (TO) aparat keamanan. Bahkan sejak ia kuliah di Manado, ketika ia selalu mengisi forum-forum diskusi dan pelatihan aksi massa di asrama-asrama mahasiswa Papua. Komen tak pernah jeri walau ia tahu ada mata intel di ruang itu. Ia tak peduli, idealisme mudanya tak mengenal takut. Ia dipandang merangsang radikalisasi nasionalisme Papua. Ia bahaya. Ia tumbuhan yang tak boleh tumbuh, seperti salah satu bait puisi Wiji Thukul.
Besok media lokal memberitakan beberapa kost-kostan mahasiwa digerebek polisi. Ini untuk mengantisipasi kemungkinan ricuh dalam rangkaian perayaan peringatan Papua Merdeka sepanjang desember nanti, kata Kapolda. Kost-kostan yang digerebek dicurigai merupakan tempat tinggal pentolan gerakan yang konon hendak merancang aksi-aksi di pusat kota Jayapura.
***
Sayang, akhir desember ini jadi ka manado to?. Jadi datang balamar to ? Papi deng Mami so tunggu2. muaaach. Love U.
Teks sms. Nona Sondakh yang manis itu yang mengetiknya. Mengirim. Tertulis keterangan : pending.
Lalu terdengar pintu rumah diketuk.
‘Malam bae’, terdengar suara si pengetuk.
‘Malam Bae, ada apa ?’, suara lelaki separuh baya terdengar di muka pintu. Tiga orang polisi berseragam berdiri disana.
‘Maaf Pak. Butul ini rumah keluarga Sondakh- Sengkey?’, tanyanya lagi. ‘Butul, qyapa?’, tanya lelaki separuh baya yang adalah ayah Inggrid dalam heran.
‘Oh, Torang mau bakudapa dengan Inggrid.  Ada ?’, tanya salah satu diantara mereka.
Di hutan, Komen sudah jauh berlari. Ia sudah menembus perbatasan dengan Papua New Guinea.
Di kamarnya yang teduh, mata Inggrid sembab. Ia cemas dan takut. bersandar pada bantal, ia memeluk selembar kertas kusut ke dadanya. Kertas bertulis puisi Chairil Anwar berjudul Pemberian Tahu. Benda terakhir yang ditinggalkan Komen sebelum pulang ke Jayapura.
Ini mungkin Desember terakhir tentang Komen.
***
[Yogyakarta, Desember 2013]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H